Pembelajar di Maiyah. Suluk Kebudayaan Cinta. Kangen Desa. Bukan Orang Baik. Bajingan. Pensiunan Aktivis. Menulis Buku. Mendirikan SURAU.
Mas Miftah Salah? Ekspetasi Kita yang Ketinggian
Sabtu, 7 Desember 2024 07:57 WIB
Seolah-olah apa yang menjadi pendapat mayoritas sama dengan mutlaknya kebenaran. Padahal, kita pasti sudah mengalami, bahwa salah menilai alias tidak objektif pada seseorang atau kejadian, suatu waktu dapat merugikan diri kita sendiri bahkan kelak bisa jadi juga merugikan orang lain.
Saya rasa gak ada yang gak tahu dengan kejadian ini. Pun gak update-nya seseorang dengan informasi baru di media sosial, paling tidak ia akan diberi tahu oleh orang lain, terutama oleh yang ada di sekitarnya. Berita kejadian tersebut dalam hitungan jam menyebar dengan cepat bak tsunami air yang melahap daratan yang berada dihadapannya. Begitu pula dengan komentar masyarakatnya.
Mulanya, seperti masyarakat pada umumnya, saya merespon kejadian yang beredar lewat video di medsos tersebut dengan emosi dan sangkaan yang negatif. Sesekali saya ikut nimbrung berkomentar buruk pada postingan teman-teman. Meskipun beberapa kali saya mencoba mencari sisi lain dari kejadian tersebut, tetapi tidak juga mengurungkan anggapan saya diawal.
Betapapun harus diakui, mungkin dari 10 orang, terdapat delapan orang yang menghujat, satu orang menyalahkan, dan satu orang lagi yang membela meskipun tetap menyayangkan kejadian tersebut. Artinya, persangkaan buruk telah menjadi arus utama dalam kejadian ini. Seolah-olah apa yang menjadi pendapat mayoritas sama dengan mutlaknya kebenaran.
Padahal, kita pasti sudah mengalami, bahwa salah menilai alias tidak objektif pada seseorang atau kejadian, suatu waktu dapat merugikan diri kita sendiri bahkan kelak bisa jadi juga merugikan orang lain.
Kita tidak adil kepada Mas Miftah
Saya mengamati sendiri bahwa tidak ada yang benar-benar berbeda dari mas Miftah yang dulu dengan yang sekarang. Sejak yang saya ketahui ketika ia mulai populer karena ceramah di diskotik, menjadi gurunya Dedi Corbuzier, hingga saat ini menjadi pejabat istana negara. Saya melihat mas Miftah sekarang tetaplah mas Miftah yang dulu pertama kali saya temukan.
Ia adalah seorang public speaker dan content creator yang gemar menghibur masyarakat dengan gayanya yang slengean. Ya, bagi saya deen kui mung cah slengean yang jago ngomong, begitu memang faktanya. Ini gak tahu benar atau salah, kalo melihat mas Miftah itu kok mengingatkan saya kepada bang Vicky Prasetyo yang dijuluki Sang Gladiator itu.
Hanya saja, karena punya tempat belajar ala-ala santri dan seringkali dalam pidatonya menggunakan bahasa arab, mas Miftah dianggap seorang mubaligh yang memiliki tingkat kealiman tertentu oleh masyarakat pada umumnya, sehingga tak jarang yang menyebut namanya dengan panggilan “gus”.
Sependek pengetahuan saya, gus itu berasal dari kata “cah bagus”, adalah panggilan kepada anak laki-laki keturunan kiai di dalam lingkungan pesantren. Kemudian penyebutan gus tersebut menjadi berkelanjutan karena diikuti oleh istiqomahnya yang bersangkutan dalam pengajaran ilmu dan menjaga kealimannya.
Saya pikir juga begitu, gelar gus itu bukan saja didapatkan secara gratis dari warisan orang tua, melainkan juga suatu upaya terus-menerus untuk dipertahankan kesuciannya dalam perilaku sehari-hari. Memang berat betul menyandang status gus tersebut. Maka dengan definisi inilah seharusnya kita dapat bersikap objektif dan tidak menjadi serampangan dalam memberikan gelar “gus” kepada seseorang.
Dalam kasus mas Miftah, adalah salah masyarakat sendiri kenapa seorang entertainment buru-buru diberi gelar “gus”. Apa yang mau diharapkan dari seseorang yang memang begitu itu adanya. Mengejek tukang es, membikin malu orang di depan umum dan mengolok-olok orang kecil, bukan hanya sekali ini dilakukannya. Tapi masih saja masyarakat mengundangnya untuk berceramah, kan?
Sering lewat beranda medsos saya bagaimana sikap dia saat berceramah. Atau bisa dicari sendiri, pasti ketemu jejak perjalanannya. Sejak dulu hingga sekarang benar-benar gak ada yang berubah, kok. Status sosialnya saja yang kini mungkin berubah. Karena kini ia adalah seorang pejabat istana. Jabatan itu diperoleh dari kelakuan anehnya saat pemilu yang pernah juga tak kalah ramenya dengan kejadian sekarang.
Jadi sejak awal, memang dia bukanlah alim-ulama seperti yang disangkakan. Ia hanya mas-mas biasa pada umumnya yang ingin bisa terkenal dan kaya sebagaimana diam-diam kita menyimpan keinginan itu juga.
Oleh sebab itu, kita sebagai masyarakat harus bersikap adil, dong, jangan sampai orang seperti itu kita bebani dengan panggilan gus. Panggilan “mas" mungkin jauh lebih menghormatinya.
Kemarin mas Miftah melakukan kesalahan, tapi hari ini belum tentu sama, esok apalagi.
Ada satu kebiasaan kita, dimana tak bisa benar tanpa menyalahkan. Kalo sudah memegang benar, yang selainnya pasti salah. Sebagaimana seharusnya dapat bercermin dari kejadian yang dialami mas miftah, orang indonesia kedepan pasti akan selalu menyalahkan mas miftah.
Masyarakat kita sangat kuat ingatannya terhadap kesalahan, tapi sangat pelupa dengan kebaikan. Padahal kan hidup tidak hitam putih sebagaimana benar dan salah. Hidup itu warna-warni. Benar itu berlapis-lapis, salah pun demikian, sesuai konteksnya. “Di wilayah hukum, memang harus jelas benar dan salahnya. Tetapi di wilayah budaya, ada faktor kebijaksanaan. Di wilayah poilitik, ada kewajiban untuk mempersatukan”. (Emha Ainun Nadjib, 2017).
Apakah saat kita melakukan kesalahan terus kita tidak berpikir untuk intropeksi diri? Tidak kan.
Kita pasti akan menyadari kesalahan dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Demikian pun dengan mas miftah. Dan sebagai sesama manusia, kita tetap harus memberikan ruang untuknya memperbaiki diri. Sebagaimana kita pun ingin diperlakukan ketika berbuat salah.

Media daring: surauindonesia.wordpress.com
2 Pengikut

Saatnya Orang Batak yang Jadi Presiden; Jika Putus Asa Mending Tumbuhkan Harapan
Senin, 2 Juni 2025 16:02 WIB
Pemerintah Pentingkan Chairlift Ketimbang Bangun Jembatan di Daerah Terpencil
Sabtu, 31 Mei 2025 11:29 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler