Asrianto Asgaf adalah lulusan Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Esa Unggul Jakarta dan sarjana (S1) di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Mbojo Bima.\xd \xd Dan kini sedang mengajar di Universitas Pamulang dengan mata kuliah Komunikasi dan Pendidikan Kewarganegaraan. \xd Selama berkuliah aktif diorganisasi internal dan eksternal, internal kampus, BEM STISIP, HMJ HIMAKOM, KSR-PMI dan Eksternalnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). adapun karya dalam menyelesaikan studi S1 dengan penelitian SKRIPSI (Gaya komunikasi Politik Indah Damayanti Putri di Pilkada Kabupaten Bima 2020) Skripsinya dikembangkan lagi lewat penelitian TESIS S2 dengan yang serupa (Gaya komunikasi Politik Aktor Non Partai. Studi Kasus: Kepemimpinan Anies Baswedan).
Multivokal dalam Dinamika Komunikasi Politik
13 jam lalu
***
***
Pagi tadi, saya membersamai mahasiswa di kelas V.756 dalam sesi presentasi mata kuliah Komunikasi Politik. Suasana kelas begitu hidup, mahasiswa bergantian memaparkan tugas kelompok dan berduskusi dengan antusias.
Dari paparan yang muncul, terpantik mencuri perhatian saya yaitu teori Two-Step Flow of Communication yang dimana dalam dinamika komunikasi politik kita saat ini tidak lagi berpusat atau bersifat top-down, di mana pesan dikuasai oleh elite politik atau media arus utama, kini menjadi lebih cair dan horizontal. Kini, setiap individu berpotensi menjadi produsen sekaligus distributor pesan politik, menciptakan keragaman narasi yang membentuk opini publik secara dinamis yaitu (multivokalitas). Kata ini lahir dari refleksi diskusi kelas atas keragaman suara pesan-pesan politik yang dijumpai di media sosial, mulai dari perdebatan soal kebijakan publik, viralnya konten politik di TikTok, hingga peran influencer yang tiba-tiba tampil sebagai komentator isu nasional.
Diskusi tersebut menjadi ruang kontemplasi. untuk menyoroti bahwa politik kini tidak lagi dimonopoli oleh elite partai atau media arus utama tertentu. Dengan gawai di tangan, setiap orang bisa menjadi produsen narasi politik. Kita yang melihat fenomena ini sebagai tanda kemajuan demokrasi karena membuka partisipasi luas, tetapi ada pula yang menilainya sebagai ancaman karena menimbulkan kebisingan, polarisasi, dan manipulasi. Dari dinamika inilah, saya menangkap dua wajah multivokalitas: kegelisahan atas risikonya, sekaligus optimisme atas peluang yang dibawanya.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari transformasi komunikasi politik Indonesia yang hari ini ditandai oleh keberagaman aktor, narasi, dan strategi komunikasi. Multivokalitas bukan sekadar gejala kebisingan politik, melainkan cermin dari demokrasi yang tengah bertransformasi ke arah yang lebih terbuka, meski sekaligus lebih rapuh. Persis seperti atmosfer kelas pagi itu, suara mahasiswa yang beragam, kadang bertentangan, kadang saling menguatkan, tetapi pada akhirnya semuanya berkontribusi pada pemahaman yang lebih utuh tentang komunikasi politik kontemporer.
Opinion Leader dalam Lanskap Multivokal
Dalam konteks ini, teori klasik komunikasi, Two-Step Flow of Communication yang dikembangkan Paul Lazarsfeld dan Elihu Katz, tetap relevan. Teori ini menjelaskan bahwa informasi politik tidak mengalir langsung dari media ke publik, tetapi melalui opinion leader pemimpin opini yang dipercaya untuk menafsirkan, menyaring, dan menyampaikan ulang pesan.
Di era digital, wajah opinion leader berubah. Mereka tidak hanya berasal dari politisi senior, akademisi, atau tokoh masyarakat formal, melainkan juga dari selebritas TikTok, YouTuber, influencer, bahkan jurnalis warga. Mereka memiliki kemampuan membangun resonansi emosional dan kedekatan simbolik dengan audiens, sehingga suara mereka sering kali lebih berpengaruh daripada pesan politik formal.
Fenomena ini semakin kentara pasca-Pilpres 2024. Sejumlah figur politik baru muncul bukan karena rekam jejak panjang atau kapasitas intelektual, tetapi karena kepiawaian mereka memanfaatkan algoritma. Dengan gaya komunikasi nyeleneh, teatrikal, atau penuh ekspresi, mereka mampu mencuri perhatian publik luas. Akibatnya, isu-isu fundamental seperti ekonomi berkelanjutan, kebijakan energi, atau arah pembangunan sering kali tenggelam di balik konten yang lebih mudah viral.

Penulis Indonesia
0 Pengikut

Multivokal dalam Dinamika Komunikasi Politik
13 jam lalu
Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto: Politik Equilibrium Prabowo Subianto
Kamis, 7 Agustus 2025 06:32 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler