Sengkarut Keadilan dalam Mitos Yunani dan Nusantara
Jumat, 13 Desember 2024 02:09 WIB
Mitos Yunani dan Nusantara memberikan analogi tentang rumitnya mewujudkan keadilan hukum. Hal ini tercermin dari kisah Dewa Zeus, Nyi Roro Kidul, dan Si Pitung.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, ketidakadilan sering kali menjadi bagian dari struktur yang sulit diterobos, mirip dengan sebuah jaringan mafia peradilan yang mengatur roda keadilan. Dalam mitologi Yunani, gambaran mafia peradilan ini dapat ditemukan melalui kisah-kisah yang berkisar pada para dewa-dewi yang tidak hanya mengatur nasib manusia, tetapi juga mempermainkan takdir dengan kekuatan tak terlihat.
Sementara itu, di Nusantara, meskipun tidak ada konsep mafia peradilan dalam pengertian modern, mitos-mitos lokal memiliki kesamaan. Di dalamnya menggambarkan bagaimana kekuasaan dan ketidakadilan dapat terjalin erat dalam sistem yang tampaknya adil.
Mitos Yunani
Salah satu contoh terbaik untuk menggambarkan bagaimana hukum dan keadilan dapat dimanipulasi oleh kekuatan tak terlihat adalah kisah Zeus, Themis, dan Nemesis dalam mitologi Yunani. Zeus, raja para dewa, adalah sosok yang memberi dan mengambil keadilan, meskipun tindakannya sering dipengaruhi oleh kehendaknya yang tidak selalu adil.
Dalam beberapa kisah, kita melihat bagaimana Zeus memutus hukuman yang sangat keras kepada Prometheus karena memberikan api kepada manusia. Namun, tindakan ini bukanlah tindakan yang sepenuhnya didorong oleh keadilan, melainkan lebih kepada ego dan kekuasaan seorang dewa terhadap makhluk hidup lainnya.
Di sisi lain, Themis, dewi keadilan, adalah simbol dari kebijaksanaan yang memberikan keputusan adil. Namun, bahkan Themis pun tak dapat sepenuhnya menghindari pengaruh dari dewa-dewa yang lebih kuat seperti Zeus, yang sering kali menggunakan posisi dan kekuasaannya untuk mengubah jalannya hukum demi kepentingannya sendiri.
Kemudian ada Nemesis, dewi pembalasan, yang memperlihatkan bahwa meskipun keadilan terkadang tampak adil, namun ia juga bisa dipengaruhi oleh balas dendam dan ketidaksetaraan yang terjadi dalam hubungan antara dewa-dewa dan manusia. Kekuatan yang dikendalikan oleh para dewa ini mencerminkan bagaimana sistem hukum bisa menjadi tak seimbang ketika kekuasaan yang lebih besar mengatur segalanya.
Maka, seperti mafia peradilan modern yang memiliki kemampuan untuk membengkokkan hukum demi kepentingan pribadi, para dewa Yunani juga menunjukkan bahwa keadilan bukanlah hal yang pasti. Tetapi, lebih kepada hasil dari pertarungan kekuatan yang tak terlihat.
Mitos Nusantara
Di Nusantara, meskipun tidak ada konsep mafia peradilan yang serupa dengan yang kita kenal dalam dunia modern, mitos-mitos lokal memperlihatkan bagaimana ketidakadilan dalam hukum sering kali ditutupi oleh kekuatan yang lebih besar. Salah satu contoh yang menonjol adalah kisah Nyai Roro Kidul, Ratu Laut Selatan, yang memiliki kekuatan luar biasa untuk memberikan dan mengambil nasib manusia.
Nyai Roro Kidul sering kali dipandang sebagai sosok yang bisa mengendalikan kehidupan dan kematian mereka yang melanggar peraturan atau yang datang ke laut Selatan. Namun, dalam beberapa versi cerita, kekuasaan Ratu Laut Selatan ini tidak selalu digunakan untuk keadilan, melainkan sering dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau bahkan balas dendam terhadap mereka yang berani melawan.
Dalam hal ini, kisah Nyai Roro Kidul menggambarkan bagaimana kekuasaan bisa digunakan untuk mempermainkan takdir manusia. Ini mirip dengan bagaimana mafia peradilan bisa menundukkan hukum untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Kisah Si Pitung, pahlawan rakyat Betawi, juga menjadi simbol ketidakadilan yang ada dalam struktur hukum. Si Pitung adalah seorang perampok yang membela rakyat kecil melawan ketidakadilan yang diterima mereka dari pemerintah kolonial. Meskipun dianggap sebagai pahlawan oleh rakyat, Si Pitung tidak pernah benar-benar terhindar dari hukum, yang kemudian dikhianati oleh penguasa dan akhirnya dihukum mati.
Kisahnya mengingatkan kita pada bagaimana sistem peradilan bisa dibengkokkan demi menjaga status quo kekuasaan yang ada. Sama seperti para dewa dalam mitologi Yunani yang memanipulasi hukum demi kekuasaan mereka, para penguasa dalam cerita Si Pitung memperlihatkan bagaimana hukum sering kali tidak berpihak pada yang lemah.
Sementara itu, dalam kisah Nyi Blorong, dewi ular yang memiliki kekuatan untuk memberikan kemakmuran kepada mereka yang datang kepadanya, ada konsep jual beli takdir yang juga mencerminkan mafia peradilan. Nyi Blorong memberi kekayaan atau keselamatan kepada orang-orang dengan harga yang sangat tinggi—yaitu, jiwa atau darah seseorang.
Ini adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan besar dalam mitologi Nusantara bisa memanipulasi keadilan dengan mengorbankan mereka yang tidak memiliki pilihan lain. Sama halnya dengan mafia peradilan yang memanipulasi proses hukum untuk menguntungkan pihak tertentu, kisah Nyi Blorong mengingatkan kita pada harga yang harus dibayar ketika kekuasaan tidak lagi berbasis pada keadilan, melainkan pada transaksi yang merugikan pihak yang lebih lemah.
Perspektif Kontemporer
Kisah-kisah ini, baik dalam mitologi Yunani maupun Nusantara, memberikan gambaran tentang bagaimana kekuasaan yang tidak terkendali dapat membentuk sistem hukum yang penuh ketidakadilan. Dalam masyarakat modern, kita bisa melihat paralelisme yang kuat dengan fenomena mafia peradilan—sebuah sistem yang mengatur keadilan bukan berdasarkan prinsip hukum yang adil, tetapi lebih kepada kepentingan politik, ekonomi, atau kekuasaan yang tersembunyi di baliknya.
Dalam dunia nyata, mafia peradilan sering kali mencakup praktik-praktik seperti korupsi, pengaruh yang tidak sah, atau bahkan manipulasi keputusan hukum demi keuntungan pribadi atau kelompok. Begitulah realitanya.
Sama seperti para dewa Yunani yang menggunakan kekuasaan mereka untuk menentukan nasib manusia, dan seperti para penguasa dalam mitos Nusantara yang memanipulasi hukum demi kepentingan mereka, mafia peradilan juga memperlihatkan bahwa kekuasaan tidak selalu digunakan untuk menegakkan keadilan. Sebaliknya, hukum bisa menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan dan menindas mereka yang lebih lemah.
Mewujudkan Trias Politika
Kisah-kisah dalam mitologi Yunani dan Nusantara menunjukkan betapa kompleksnya hubungan antara kekuasaan, hukum, dan keadilan. Dalam kedua tradisi tersebut, kita menemukan bahwa keadilan sering kali hanya ada di permukaan, sementara di bawahnya, ada permainan kekuasaan yang menentukan siapa yang akan mendapatkan hak mereka dan siapa yang akan ditindas.
Dengan memahami mitos-mitos ini, kita dapat lebih menyadari betapa pentingnya untuk selalu memeriksa dan mengawasi sistem hukum agar keadilan tidak jatuh ke tangan mereka yang berkuasa. Trias politika—sebagai pilar demokrasi—harus benar-benar diwujudkan secara independen, tanpa celah bagi “perselingkuhan” antarcabang kekuasaan yang dapat melahirkan “anak haram” berupa putusan peradilan yang mencederai rasa keadilan masyarakat.
Hanya dengan begitu, atau setidaknya, hukum dapat kembali menjadi benteng keadilan, bukan alat legitimasi bagi kekuasaan.

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
4 Pengikut

Di Bawah Hujan Sore Hari
1 hari lalu
Menyambut (Isu) Pergantian Kapolri
1 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler