Seorang Mahasiswa Ekonomi Syariah di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Tertarik dalam bidang Ekonomi, IT, dan Keagamaan Islam. Masih menekuni Android Software Development dan ilmu keagamaan di pondok pesantren.
Kenaikan PPN 12 Persen untuk Barang Mewah: Solusi atau Tantangan Baru?
Jumat, 13 Desember 2024 02:15 WIB
Kebijakan ini bertujuan menciptakan keadilan fiskal, namun menghadirkan tantangan baru, baik untuk konsumen maupun pelaku usaha.
***
Pemerintah Indonesia telah mengumumkan kebijakan peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, yang akan diterapkan secara selektif hanya untuk barang-barang mewah. Sebelumnya, Indonesia menggunakan sistem PPN tunggal (single rate) sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Penerapan tarif multitarif ini menjadi preseden pertama dalam sejarah perpajakan Indonesia.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), perubahan ini berpotensi membingungkan masyarakat dan pelaku usaha. Faktur pajak di toko ritel menjadi lebih rumit karena mencakup dua tarif PPN yang berbeda. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco menyebut bahwa barang seperti mobil mewah, apartemen mewah, dan rumah mewah akan dikenai tarif 12 persen. Namun, pelaksanaan kebijakan ini membutuhkan revisi pada Pasal 4 UU HPP, yang memerlukan waktu, sementara implementasi kebijakan direncanakan kurang dari satu bulan lagi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang kepastian hukum dalam penerapannya.
Barang mewah biasanya memiliki elastisitas permintaan lebih tinggi dibandingkan barang kebutuhan pokok. Konsumen barang pokok cenderung tidak terpengaruh secara signifikan oleh perubahan harga, sedangkan permintaan barang mewah cenderung menurun saat harga meningkat dan meningkat tajam ketika harga turun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan penerimaan PPN dan PPnBM terus meningkat dari Rp687,6 triliun pada 2022 menjadi Rp811,4 triliun pada 2024. Kenaikan ini menunjukkan bahwa konsumsi barang mewah tetap stabil meskipun tarif PPN sebelumnya telah dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen. (Pratama, 2023; Badan Pusat Statistik, 2024).
Berikut adalah simulasi sederhana untuk rumah mewah senilai Rp20 miliar:
Harga Pokok | Nilai PPN 11% | Nilai PPN 12% | Harga Setelah Pajak 12% |
Rp. 20.000.000.000,00 | Rp. 2.200.000.000,00 |
Rp. 2.400.000.000,00 |
Rp. 22.400.000.000,00 |
Kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen akan menambah Rp200 juta pada harga total rumah. Kenaikan ini setara dengan 1% dari harga rumah sebelum pajak, atau 0,91% dari harga rumah setelah dikenai PPN 11% (Rp22,2 miliar).
Perspektif Ekonomi Makro dan Tantangan Kebijakan
Berdasarkan teori Keynesian, kebijakan fiskal seperti pajak memiliki dampak langsung terhadap permintaan agregat. Kenaikan tarif PPN untuk barang mewah dapat menekan konsumsi barang tersebut, yang berpotensi menurunkan permintaan agregat. Namun, dari perspektif teori penawaran, kenaikan tarif pajak juga dapat mengurangi insentif produksi dan investasi di sektor barang mewah, yang memengaruhi produsen dan pekerja di sektor ini.
Meskipun begitu, data sebelumnya menunjukkan bahwa konsumsi barang mewah cenderung stabil meskipun terjadi kenaikan tarif pajak sebelumnya. Hal ini mengindikasikan daya beli konsumen barang mewah yang relatif kuat dan kurang sensitif terhadap kenaikan harga. Oleh karena itu, dampak negatif terhadap permintaan agregat atau sektor produksi mungkin tidak terlalu signifikan, asalkan kebijakan ini diiringi dengan perencanaan dan komunikasi yang baik.
Salah satu tujuan utama kebijakan ini adalah menciptakan keadilan pajak dengan membebankan tarif lebih tinggi kepada kelompok masyarakat yang mampu membeli barang mewah. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan vertikal dalam perpajakan. Namun, pemerintah perlu memperjelas definisi barang mewah untuk menghindari kebingungan, seperti yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal HIMPINDO, Haryanto Pratantara. Misalnya, apakah tas dan sepatu mahal juga termasuk dalam kategori barang mewah? Ketidakjelasan definisi ini dapat beresiko mempersulit pelaku usaha dalam menyusun strategi bisnis mereka.
Kebijakan ini memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih progresif. Namun, tanpa persiapan matang dan komunikasi efektif, kebijakan ini dapat menciptakan tantangan baru bagi perekonomian nasional.

Mahasiswa Ekonomi Syariah UIN Gus Dur
1 Pengikut

Kebijakan Multitarif PPN Sebuah Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Keadilan Pajak di Indonesia
Senin, 16 Desember 2024 16:03 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler