Praktisi ISO Management System and Compliance

Mengapa Guru Honorer Masih Terlunta-lunta di Ujung Tahun Anggaran?

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
guru honorer
Iklan

Guru honorer masih menunggu SK di akhir tahun anggaran. Ini fakta pahit yang terus berulang. Simak mengapa terjadi?

Oleh Bambang RIYADI  

Di bulan November, ketika anggaran daerah mulai dikunci dan laporan keuangan disiapkan, ada satu kelompok yang biasanya bernapas lega: aparatur sipil negara. Tapi tidak bagi jutaan guru honorer di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi mereka, ujung tahun anggaran bukan waktu harapan — melainkan masa cemas. Karena setiap Desember tiba, pertanyaan yang sama kembali menghantui: Apakah tahun ini saya diangkat?

Padahal, mereka sudah mengabdi puluhan tahun. Ada yang mengajar sejak zaman Orde Baru, menyaksikan lima presiden berganti, tapi tetap duduk di bangku honorer — tanpa gaji tetap, tanpa tunjangan pensiun, tanpa kepastian hukum.

Data yang Mencengangkan

Berdasarkan data Kemendikbudristek per Agustus 2024, masih ada 712.648 guru honorer non-ASN di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, hanya sekitar 318.000 yang telah diangkat menjadi PPPK dalam tiga gelombang seleksi sejak 2021.

Artinya, lebih dari setengah guru honorer belum tersentuh kebijakan afirmatif, meski pemerintah telah menggelontorkan triliunan rupiah untuk program PPPK.

Yang lebih ironis: banyak guru yang lulus passing grade tapi tidak mendapat SK karena keterbatasan pagu anggaran daerah. Fenomena ini kerap disebut sebagai “guru siluman” — eksistensinya diakui, tapi statusnya tak pernah sah.

“Saya Lulus, Tapi Tak Diangkat”

Ibu Yati, guru SD di Kabupaten Flores Timur, NTT, adalah salah satunya. Ia lulus tes PPPK pada 2023 dengan skor melebihi ambang batas. Namun hingga kini, SK-nya tak kunjung datang.

“Katanya anggaran kabupaten tidak mencukupi. Padahal saya sudah ngajar 28 tahun. Anak-anak murid saya bahkan sudah ada yang jadi dokter,” katanya, suaranya bergetar.

Cerita serupa terjadi di Aceh, Kalimantan, Papua, dan Jawa Tengah. Di banyak daerah, keputusan pengangkatan ditunda atau dibatalkan karena Pemda mengalihkan anggaran ke proyek infrastruktur atau politik menjelang Pemilu 2024.

Isu Hangat: Janji Politik vs Realitas Lapangan

Isu kesejahteraan guru sempat ramai di debat capres dan kampanye politik. Banyak calon pemimpin berjanji akan “menyelesaikan nasib guru honorer”. Tapi pasca-Pemilu, isu ini tenggelam.

Padahal, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah jelas menyatakan bahwa guru harus memiliki sertifikasi, penghasilan layak, dan perlindungan hukum. Namun implementasinya masih timpang.

Komisi X DPR RI sempat mendorong percepatan pengangkatan guru honorer melalui skema affirmasi tanpa tes. Namun usulan itu mentah di tengah polemik integritas dan kapasitas.

Dampaknya bagi Dunia Pendidikan

Akibat ketidakpastian ini, banyak guru honorer yang memilih mundur dari dunia pendidikan. Sebuah survei dari Ikatan Guru Indonesia (IGI) 2024 menunjukkan, 1 dari 5 guru honorer berencana beralih profesi jika tidak diangkat dalam dua tahun ke depan.

“Saya mau ngajar, tapi bagaimana bisa fokus kalau tiap bulan mikir bayar kontrakan?” tanya Andi, guru SMP di Sulawesi Selatan, yang kini bekerja paruh waktu sebagai ojek online.

Ini bukan sekadar soal upah. Ini soal harga diri profesi. Ketika negara gagal memberi jaminan dasar kepada para pencetak generasi emas, maka sistem pendidikan kita berada di ambang krisis moral.

---

Solusi yang Perlu Dipercepat

Untuk mengakhiri keterlambatan struktural ini, setidaknya tiga langkah strategis harus diambil:

1. Pusat tanggung jawab anggaran pengangkatan guru PPPK, terutama di daerah defisit.
2. Skema afirmasi bertahap bagi guru honorer senior (minimal 10–20 tahun mengabdi).
3. Audit transparan pagu dan realisasi anggaran pendidikan di tiap kabupaten/kota.

Negara tidak boleh terus-terusan menjadikan guru sebagai variabel penyesuaian anggaran. Mereka adalah pilar utama bangsa — bukan pos belanja yang bisa dipotong saat krisis.

Penutup: Saatnya Guru Tak Lagi Menunggu

Setiap akhir tahun, kita menyambut anggaran baru. Tapi bagi ribuan guru honorer, itu hanyalah siklus yang berulang: harap-harap cemas, lalu kecewa.

Jika Indonesia ingin serius soal Merdeka Belajar, maka harus dimulai dari memerdekakan nasib guru honorer. Bukan hanya dari segi metode mengajar, tapi juga dari belenggu ketidakadilan ekonomi dan birokrasi.

Karena tidak mungkin kita membangun masa depan bangsa di atas pundak orang-orang yang hidupnya tak pasti.

Dan kali ini, jangan biarkan akhir tahun anggaran berlalu tanpa kepastian.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler