saya seorang tenaga pengajar di SMP Negeri 22 Bandar Lampung. saat ini menjadi Ketua MGMP PAI Kota Bandar Lampung, Pengurus APKS PGRI Propinsi Lampung. Pengurus Forum Guru Motivator Penggerak Literasi (FGMP;) Lampung. \xd Guru Penggerak angkatan 7 dan Pengajar Praktik angkatan 11 kota bandar Lampung.\xd saya aktif menulis di berbagai media elektronik daerah/nasional
Algoritma KDM. Menciptakan Makna Jadikan Jabar Istimewa
Senin, 9 Juni 2025 21:31 WIB
Salah satu ciri khas algoritma KDM adalah keberanian. Ia tak ragu mengkritik struktur birokrasi yang kerap abai pada penderitaan rakyat
Oleh: Herimirhan
Jawa Barat adalah provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, kaya akan budaya, dan diberkahi bentang alam yang memukau. Namun, semua potensi itu tidak akan bermakna tanpa sentuhan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat.
Di tengah pusaran birokrasi yang kerap lamban dan elitis, sosok Kang Dedi Mulyadi (KDM) hadir sebagai anomali yang membangkitkan harapan. Ia tidak hanya memimpin dengan tangan, tetapi juga dengan hati. Ia tidak sekadar membangun jalan, tetapi juga membangun rasa.
Apa yang dilakukan KDM dalam membenahi persoalan sosial, budaya, dan lingkungan di Jawa Barat tidak lepas dari algoritma Kang Dedi Mulyadi (KDM) yakni pola kerja sistematis yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan, keberanian moral, dan pendekatan kultural.
Dalam dunia digital, algoritma dipahami sebagai sistem yang menuntun hasil. Maka dalam konteks KDM, algoritma ini adalah cara kerja khas yang menghasilkan perubahan sosial yang terasa nyata dan membumi. Hal ini didasarkan Pertama. Politik Berpihak, Bukan Berjarak.
KDM memilih jalur politik yang tidak elitis. Ia menjemput suara rakyat dari akar rumput, bukan dari balik meja. Saat banyak pemimpin memagari diri dengan protokoler ketat, ia justru memilih menyatu dengan masyarakat. Ia datang ke desa-desa, menyapa petani, menengok orang tua jompo, hingga menolong anak-anak yang kesulitan sekolah.
Di balik semua itu, KDM sedang menanam benih kepercayaan: bahwa negara tidak boleh hadir hanya saat kampanye, tapi harus senantiasa ada bersama rakyat. Kehadiran fisik KDM dalam menyelesaikan persoalan menjadi terapi sosial bagi warga yang selama ini merasa jauh dari penguasa. Ia tidak segan duduk bersila di lantai, mendengarkan curhat warga hingga larut malam, atau menyaksikan sendiri bagaimana rumah warga ambruk karena tidak mampu memperbaikinya. Inilah bentuk kepemimpinan partisipatif yang jarang dimiliki pemimpin modern.
Kedua. Narasi sebagai Infrastruktur Kesadaran
Berbeda dengan gaya populis yang sekadar memburu simpati sesaat, KDM membangun narasi yang otentik. Video-videonya di media sosial bukan hasil skenario, tapi dokumentasi langsung dari realitas. Ia menghadirkan kisah-kisah haru tentang kemiskinan, ketimpangan, sekaligus potret ketangguhan masyarakat kecil. Ini menjadi algoritma naratif yang membentuk kesadaran kolektif: bahwa pembangunan bukan hanya soal beton dan aspal, tapi juga tentang martabat manusia.
Dengan cara ini, masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tapi ikut terlibat dalam proses transformasi. Media sosial menjadi jembatan antara ruang kekuasaan dan suara hati rakyat. Lewat narasi yang dibungkus nilai-nilai empati, KDM menciptakan resonansi moral yang menggema jauh melampaui batas wilayah administratif.
Ketiga. Kebudayaan Sebagai Sumbu Pembangunan
Jawa Barat adalah bumi Sunda yang sarat nilai-nilai budaya. KDM memahami bahwa pembangunan tanpa roh budaya akan melahirkan masyarakat yang tercerabut dari akarnya. Karena itu, ia selalu membawa simbol-simbol kebudayaan dalam setiap aktivitasnya. Dari busana adat, bahasa Sunda, hingga dukungan terhadap seni tradisional, semua menjadi bagian dari algoritma yang menghidupkan kembali identitas kolektif masyarakat.
Dalam pandangan KDM, budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan bahan bakar moral untuk melangkah ke masa depan. Ia menjadikan budaya sebagai modal sosial yang mampu memperkuat kohesi masyarakat, menumbuhkan rasa bangga, serta membangun generasi yang tidak kehilangan arah di tengah gempuran modernitas.
Keempat. Melawan Birokrasi yang Kaku
Salah satu ciri khas algoritma KDM adalah keberanian. Ia tak ragu mengkritik struktur birokrasi yang kerap abai pada penderitaan rakyat. Ia pernah secara terbuka menegur aparat yang lamban merespons keluhan warga. Ia juga membongkar bangunan ilegal yang merampas ruang publik. Keberanian ini bukan semata demi pencitraan, tapi sebagai bentuk konsistensi dalam membela kepentingan masyarakat kecil.
KDM menempatkan integritas dan akuntabilitas sebagai standar utama dalam kepemimpinan. Bagi KDM, pejabat publik bukanlah “tuan”, melainkan pelayan. Inilah pembalikan paradigma yang menjadikan masyarakat sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan.
Kelima. Lingkungan Hidup Bukan Komoditas
Di saat banyak pejabat sibuk mengurus proyek mercusuar, KDM konsisten menjadikan lingkungan sebagai prioritas. Ia menanam pohon di lahan-lahan kritis, membersihkan sungai, serta menolak pembangunan yang merusak alam. Ia tahu, masa depan Jawa Barat tidak akan lestari tanpa ekosistem yang sehat. Bagi KDM, pembangunan sejati adalah yang selaras dengan alam, bukan yang merusak demi statistik pertumbuhan.
Program-program lingkungan yang dijalankannya tidak hanya bersifat karitatif, tetapi juga edukatif. Ia mengajak masyarakat untuk ikut serta menjaga alam dengan pendekatan budaya—seperti menanam pohon dalam upacara adat atau membersihkan sungai dalam festival lokal. Inilah bentuk sinergi antara lingkungan, budaya, dan partisipasi publik.
Keenam. Keteladanan yang Menular
Di era di mana banyak pemimpin tampil gemerlap namun jauh dari rakyat, KDM justru memancarkan keteladanan yang menular. Kesederhanaannya, sikap egaliter, dan konsistensi antara ucapan dan tindakan menjadi inspirasi banyak pihak. Keteladanan ini adalah “algoritma moral” yang menjadikan kepercayaan publik terus tumbuh.
Ia tidak membangun jarak dengan rakyat, melainkan ruang untuk menyapa. Ia tidak membangun menara gading, melainkan jembatan empati. Di tengah krisis kepercayaan terhadap politik, KDM menunjukkan bahwa integritas bukanlah utopia.
Ketujuh. Jabar Istimewa Bukan Retorika
Dengan algoritma semacam ini, pantas jika banyak warga menyebut Jawa Barat di tangan KDM sebagai “istimewa.” Istimewa bukan karena glamor, tapi karena penuh kehangatan. Bukan karena fasilitas mewah, tapi karena manusia dihargai. Jawa Barat tidak lagi dilihat sebagai sekadar provinsi besar, tapi rumah yang nyaman untuk semua kalangan.
KDM telah membuktikan bahwa kepemimpinan bisa mengubah wajah daerah. Bahwa keberpihakan bukan ilusi. Bahwa budaya, lingkungan, dan kemanusiaan bisa menjadi tulang punggung pembangunan. Dan bahwa algoritma yang bekerja bukanlah algoritma manipulasi, tapi algoritma kasih sayang dan keberanian.
Pada akhirnya. Jika banyak pemimpin sibuk menciptakan citra, KDM justru sibuk menciptakan makna. Jika yang lain membangun kekuasaan, ia membangun kedekatan. Dan jika yang lain terjebak dalam algoritma digital tanpa nurani, KDM menghadirkan algoritma yang berpihak, bernilai, dan membumi. Maka wajar jika masyarakat menyebutnya sebagai pemimpin istimewa—karena dalam algoritmanya, Jawa Barat benar-benar terasa sebagai rumah yang ramah, bukan sekadar wilayah administratif. Sebuah rumah yang memanusiakan, menumbuhkan, dan memuliakan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler