Kuntoro Boga Andri. Alumnus IPB 1998, gelar Magister (2004) dan Doktor (2007) dari Saga dan Kagoshima University, Jepang. Peneliti Utama LIPI (2017) dan pernah sebagai Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2016-2018), Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (2018), sebelumnya Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan (2018-2024), dan Kepala Pusat BSIP Perkebunan (2024-2025). Sejak 25 Maret 2025 menjabat Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementan.

Menjaga Tanah, Menjaga Masa Depan

Selasa, 24 Juni 2025 13:51 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Tanah adat
Iklan

Kita membutuhkan pergeseran paradigma dari eksploitasi menuju regenerasi dan orientasi keberlanjutan.

Setiap tanggal 17 Juni, dunia memperingati Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia, sebuah momen yang seharusnya tidak dipandang sekadar seremoni, melainkan sebagai panggilan serius untuk menghadapi dua krisis lingkungan yang saling berkelindan, yaitu merosotnya kualitas lahan pertanian dan meningkatnya kekeringan akibat perubahan iklim. Indonesia, sebagai negara agraris dengan populasi terbesar keempat di dunia, menghadapi ancaman nyata dari kedua krisis ini, yang jika tidak ditangani secara sistematis dapat melemahkan fondasi ketahanan pangan nasional. 

Momentum ini harus menjadi refleksi sekaligus titik balik bahwa ketahanan pangan tidak akan pernah kokoh di atas tanah yang sakit dan sumber air yang mengering. Kita membutuhkan pergeseran paradigm, dari eksploitasi menuju regenerasi, dari orientasi jangka pendek menuju ketangguhan jangka panjang, dan dari pembangunan yang tidak ramah, menjadi pembangunan yang memulihkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Fondasi Pangan Ada di Tanah yang Sehat

Setiap butir beras di piring dan sayur mayur di pasar tumbuh dari fondasi paling krusial, yaitu kesehatan tanah. Tema Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia 2025, “Restore the land. Unlock the opportunities” menggugah kesadaran global akan pentingnya investasi berkelanjutan dalam pengelolaan lahan guna melindungi masa depan bumi dan kesejahteraan manusia. Di Indonesia, paradoks besar terjadi, kebutuhan pangan terus meningkat, namun lahan subur menyusut akibat degradasi dan tekanan perubahan iklim. Bila tidak ada perubahan paradigma dari eksploitasi menuju regenerasi, ancaman terhadap ketahanan pangan nasional akan semakin serius.

Data KLHK menunjukkan jutaan hektar lahan kritis kini rentan erosi, kehilangan bahan organik, bahkan terserang salinisasi. Di pulau-pulau besar seperti Jawa, Bali, dan Sumatera, alih fungsi lahan sawah ke non-pertanian berlangsung cepat. BPS mencatat penyusutan luas baku sawah yang signifikan dalam dua dekade terakhir. Pararel dengan itu, BMKG memperingatkan bahwa musim kemarau akan semakin panjang dan kekeringan lebih sering, bahkan terjadi di wilayah yang selama ini dianggap aman. Dampaknya nyata berupa pasokan air irigasi berkurang, kelembapan tanah menurun, tanaman makin rentan, kombinasi ini menjadi pukulan ganda terhadap produktivitas pertanian nasional.

Menjaga produksi pertanian jangka panjang tidak cukup dengan optimalisasi sesaat. Pendekatan regeneratif harus menjadi jawaban, yaitu memperkuat struktur tanah, meningkatkan bahan organik, dan memulihkan kesuburan melalui praktik konservasi berkelanjutan. Selain itu, sistem pengelolaan air yang cerdas, termasuk pengembangan embung, panen air hujan, dan irigasi presisi. Sementara itu, perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), insentif ekonomi, dan penegakan RTRW adalah kunci memastikan keberlanjutan strategi ini. Bila kelestarian lahan dan produksi pangan dipandang sebagai dua sisi mata uang yang sama, maka investasi hari ini adalah amanat bagi pangan anak cucu nanti.

Rantai Simbiosis: Tanah, Air, dan Hasil Panen

Hubungan antara kesehatan tanah, air, dan produksi pertanian sangat erat. Tanah yang sehat berfungsi layaknya spons alami, menyerap, menyimpan, dan melepaskan air secara perlahan. Ia menjadi pelindung pertama saat musim kering melanda. Selain itu, tanah yang kaya bahan organik mendukung kehidupan mikroorganisme yang berperan penting dalam siklus hara dan kesehatan tanaman.

Sebaliknya, tanah yang terdegradasi kehilangan fungsi dasarnya, tidak mampu menahan air hujan, sehingga air menjadi limpasan yang menimbulkan banjir saat musim hujan dan menyebabkan kekeringan saat kemarau. Kandungan hara merosot, struktur tanah rusak, dan tanaman pun tumbuh dengan kualitas rendah meski diberi input tinggi. Praktik pertanian intensif seperti olah tanah berlebihan, penggunaan pupuk kimia yang tak seimbang, serta monokultur jangka panjang memperparah kondisi ini. Maka, mempertahankan produksi pertanian dengan merusak tanah ibarat menggali lubang sendiri bagi ketahanan pangan di masa depan.

Tekanan Ekonomi, Tantangan Kebijakan

Menjaga produktivitas lahan tak bisa dilepaskan dari kerangka kebijakan dan realitas ekonomi di lapangan. Dorongan ekonomi untuk konversi lahan, terutama menuju komoditas berorientasi ekspor seperti sawit, seringkali lebih menggoda dibandingkan mempertahankan lahan pangan. Di banyak daerah, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum mampu menjadi benteng pertahanan yang efektif bagi perlindungan Lahan Pertanian. Alih-alih dilindungi, lahan pertanian kerap dikorbankan demi pembangunan infrastruktur dan kawasan industri.

Di sisi petani kecil, tekanan untuk bertahan hidup sehari-hari kerap mengorbankan prinsip keberlanjutan. Penggunaan pupuk kimia berlebih, pembakaran lahan, hingga pembukaan lahan baru tanpa konservasi menjadi pilihan pragmatis. Keterbatasan akses terhadap teknologi ramah lingkungan, benih adaptif, dan pendampingan teknis makin memperburuk situasi. Kelembagaan petani, seperti P3A, masih memerlukan banyak penguatan untuk memastikan pengelolaan air dan sumber daya agraria berlangsung adil dan efisien.

Solusi Regeneratif

Solusi terhadap degradasi lahan dan kekeringan tidak cukup dengan cara konvensional; yang dibutuhkan adalah strategi regeneratif yang aktif memulihkan fungsi tanah dan air sebagai fondasi produktivitas pertanian. Pertanian regeneratif menjadi kunci utama, melibatkan praktik seperti minimal tillage untuk menjaga struktur tanah, kandungan organik, dan kehidupan mikroba, serta mengurangi erosi. Rotasi tanaman dan polikultur membantu memutus siklus hama dan penyakit sekaligus memperbaiki kesuburan tanah secara alami. Penggunaan pupuk organik dan hayati, seperti kompos, pupuk kandang fermentasi, dan biourine yang memperkaya hara serta meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air. Penanaman cover crops dan pengembangan agroforestri yang mengintegrasikan tanaman pangan dengan pohon-pohon bernilai juga menciptakan keseimbangan ekosistem, memperkaya keanekaragaman hayati, dan membentuk mikroiklim yang lebih sejuk serta stabil.

Pengelolaan air cerdas adalah elemen penting dalam membangun ketahanan terhadap kekeringan. Pembangunan embung, long storage, dan pemanenan air hujan pada skala rumah tangga maupun kelompok tani sangat vital untuk menyediakan cadangan air saat musim kemarau tiba. Penelitian menunjukkan infrastruktur seperti embung, dam parit, dan long storage bisa meningkatkan indeks pertanaman dan produktivitas lahan tadah hujan hingga signifikan. Teknologi irigasi presisi, seperti sistem tetes dan sprinkler terbukti meningkatkan efisiensi penggunaan air, mengurangi evaporasi, dan meminimalkan pemborosan air. Sementara di tingkat lanskap, rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) diperlukan untuk memulihkan fungsi hidrologis, menjaga cadangan air tanah, dan menahan sedimentasi yang merusak lahan pertanian.

Keberhasilan strategi regeneratif sangat bergantung pada dukungan sistemik. LP2B harus diperkuat melalui penegakan hukum tata ruang dan pemberian insentif kepada petani yang tetap bertahan dengan praktik ramah lingkungan. Pemberdayaan petani menjadi ujung tombak: pelatihan intensif tentang pertanian iklim-adaptif, akses benih tahan kekeringan, pupuk organik, serta pendampingan teknis berkelanjutan sangat diperlukan. Riset terapan yang berfokus pada inovasi lokal, dari varietas adaptif hingga teknologi pengelolaan tanah dan air efisien juga perlu ditingkatkan. Kolaborasi lintas sektor wajib diperkuat: regulasi dan insentif dari pemerintah, prinsip keberlanjutan dalam rantai pasok dunia usaha, inovasi oleh lembaga riset, fasilitasi oleh kelembagaan petani, dan peran konsumen dalam memilih produk pangan lestari. 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kuntoro Boga Andri

Praktisi

25 Pengikut

img-content

Menjemput Kejayaan Baru Rempah

Kamis, 3 Juli 2025 10:41 WIB
img-content

Menjaga Tanah, Menjaga Masa Depan

Selasa, 24 Juni 2025 13:51 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler