Di ujung Sumatera Utara, wirausaha asal Toba, Intan Damanik, mengubah andaliman, yang dulu hanya dijual segar, menjadi teh rempah kemasan. Teh andaliman seberat 24 gram itu kini dijual seharga Rp 28.000, padahal petani hanya menjual andaliman segar Rp 30.000–70.000 per kilogram. Modernisasi sederhana seperti pengering dan kemasan menyulap bahan lokal menjadi produk bernilai tinggi yang diminati pasar, bahkan sempat menarik perhatian Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat itu. Inovasi semacam ini membuktikan bahwa hilirisasi skala kecil mampu melipatgandakan nilai, sekaligus membuka peluang penguatan ekonomi akar rumput.
Pada ranah kelembagaan, koperasi petani di Sumatera Barat juga mencatat keberhasilan serupa. KSU Bangkit Mandiri mengelola gambir petani menjadi ekstrak katekin dengan mutu 40–90 persen, yang diekspor ke India dan Jepang. Pendampingan dari pemerintah melalui program Koperasi Modern memperluas jangkauan inovasi, mulai dari kemasan bubuk hingga rantai suplai nilai tambah lokal. Kolektivitas dan dukungan kelembagaan terbukti menjadi katalis penting dalam membawa rempah ke fase hilirisasi.
Hambatan Produksi dan Teknis yang Mengganjal Pertumbuhan
Namun, di balik geliat inovasi, tantangan produksi dan teknologi masih mengganjal. Lampung, lumbung lada nasional, kini hanya menghasilkan 0,7 kuintal per hektare akibat penyakit Busuk Pangkal Batang dan bibit tak unggul. Volume rendah ini berdampak langsung pada nilai ekspor: pengembangan produk oleoresin lada, yang memiliki harga jual tinggi, tersendat karena pasokan bahan baku kurang stabil. Upaya intensifikasi seperti tumpang sari lada dan kopi sudah digalakkan oleh provinsi, tetapi skalanya masih terbatas dan belum optimal.
Di sektor budidaya, modal teknologi juga masih minim. Banyak petani rempah hanya mengandalkan metode konvensional: pengeringan alami atau pengemasan sederhana, padahal mutu rempah semakin dituntut bersih, higienis, dan minim aflatoksin. Padahal, aflatoksin bisa menjadi penyebab penolakan ekspor di pasar Eropa atau AS. Di tingkat ini, ketiadaan transfer pengetahuan teknologi pascapanen menjadi penghambat nyata hilirisasi skala besar.
Peluang Ekspor dan Strategi Ke Depan
Sementara itu, permintaan global terhadap rempah olahan terus meningkat. Proyeksi pasar menunjukkan nilai bumbu jadi bisa mencapai sekitar USD 25 miliar pada 2029. Belum lagi tren gaya hidup sehat dan kuliner etnik memperluas segmen konsumsi rempah seperti jahe, kunyit, dan cengkeh. Indonesia, meski masih memegang pangsa hanya 2,7 persen dari perdagangan rempah dunia, berpotensi menggenjot ekspor bumbu olahan melalui hilirisasi.
Untuk memperkuat daya saing, hitam putih Lampung sudah memiliki sertifikasi Indikasi Geografis sejak 2015, yang dapat dijadikan modal branding premium. Namun, promosi dan penetrasi pasar premium global belum maksimal. Selain itu, sinergi antar komoditas (misalnya lada, cengkeh, pala) dapat memaksimalkan operasional pabrik ekstraksi minyak (oleoresin) sepanjang tahun. Ini adalah strategi strategis menyiasati fluktuasi pasokan rempah musiman.
Upaya diplomasi dagang seperti penghapusan tarif melalui IA‑CEPA dan perjanjian bilateral lainnya menjadi pintu masuk bagi produk olahan seperti bumbu rendang, pasta soto, atau kecap siap saji untuk menembus supermarket global. Sementara itu, riset bersama perguruan tinggi dan lembaga penelitian harus ditingkatkan, untuk mengembangkan produk bernilai tambah seperti ekstrak kunyit organik dan oleoresin cengkeh sebagai bahan baku farmasi dan kosmetik.
Hilirisasi rempah Nusantara bukan sekadar retorika, tapi transformasi jangka panjang yang menghidupkan ekonomi akar rumput, meningkatkan nilai ekspor, dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai pusat rempah dunia. Modal kita sudah kuat: inovasi lokal, dukungan kelembagaan, varietas unggul, dan peluang global. Selanjutnya, diperlukan kebijakan yang konsisten, infrastruktur logistik memadai, dan sinergi antara pemerintah, peneliti, swasta, dan petani. Bila semua bergerak serentak, rempah Nusantara tidak hanya harum di piring dunia, tetapi juga membawa kesejahteraan bagi rakyat di hulu.