Teknologi Makin Canggih, Apa Kabar Keamanan Digital?
Senin, 11 Agustus 2025 16:25 WIB
Liberalisme secara domino menimbulkan hilangnya batas batas kebenaran dan keburukan.
***
Awal Bulan Juli, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) resmi meluncurkan Peraturan Pemerinta (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP TUNAS) (www.menpan.go.id, 10/7).
Peraturan itu lahir dengan harapan mampu melindungi kesehatan dan kesejahteraan selama menggunakan media sosial serta tetap memberikan ruang kepada anak untuk menggunakan media sosial sebagai kecanggihan teknologi di era modern.
Hakikatnya, teknologi seperti dua mata pisau. Satu sisi memberikan manfaat, disisi lain memberikan ancaman serius bagi anak baik secara mental maupun intelektual. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri bahwa sumber kekerasan terhadap perempuan dan anak, dipicu oleh media sosial (tempo.com, 11/7). Data dari National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC), menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat keempat secara global dan peringkat kedia di kawasan ASEAN pada kasus pornografi anak di ruang digital.
Tingginya tingkat kejahatan yang menggunakan teknologi serta maraknya penyebaran konten negatif pada media sosial hakikatnya adalah efek dari adanya kebebasan atau liberalism di tengah masyarakat. Liberalisme secara domino menimbulkan hilangnya batas batas kebenaran dan keburukan, diabaikannya moral dan norma masyarakat, tumpulnya kemampuan berpikir kritis, meruncingnya hawa nafsu, hukum yang berdiri diatas ketidakpastian, serta normalisasi penyimpangan di tengah kehidupan masyarakat. Sehingga, konsep ini akan menjelman menjadi lingkaran setan yang saling mengikat satu sama lain. Setidaknya efek domino dari liberalisme pada arus kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi dapat dijelaskan pada beberapa hal berikut:
Lingkaran Setan Kebebasan
Konsep liberalisme yang pada dasarnya lahir dari sekulerisme atau pemisahan agama dengan kehidupan memberikan ruang kepada setiap individu untuk bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri. Hal ini diakomodir baik oleh individu, masyarakat, serta diterapkan oleh pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan yang ada. Konsep ini tampak nyata pada aspek Pendidikan, ketika kurikulum pendidikan yang ada hanya fokus pada tingginya nilai intelektualitas tanpa adanya pendidikan yang membantu siswa memahami relasi antara keimanan dan penyelesaian masalah kehidupan. Akibatnya, terbentuk manusia yang menyelesaikan permasalahan hidup tanpa landasan baik buruk dan benar salah. Manusia akan cenderung mengambil solusi yang menguntungkan secara materi semata tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Termasuk ketika menggunakan media sosial ataupun teknologi informasi lainnya.
Kebebasan berekspresi manusia yang tidak pernah diberikan batasan saat menempuh pendidikan, membuat interaksi di tengah masyarakat menjadi sangat bebas. Kebebasan berekspresi ini mulai dari ide yang ingin dimiliki hingga aktivitas yang dilakukan. Salah satunya masyarakat bebas menunjukkan konten dewasa pada kehidupan nyata ataupun pada laman sosial media. Sebab, hakikat masyarakat saat ini adalah menjujung kebebasan. Padahal secara moral konten tersebut tidak sepantasnya diekspos pada media sosial ataupun disebarluaskan. Kebebasan yang terjadi di lingkungan masyarakat, akan menjadi salah satu pembentuk kepribadian anak serta masyarakat dunia maya itu senditi. Akibat dari bebasnya informasi yang masuk ke media sosial. Sehingga wajar jika kecanggihan teknolohi justru menyebabkan kejahatan, kekerasan, hingga kerusakan generasi yang semakin meningkat. Hal ini diperparah dengan minusnya peran negara dalam memblokir konten negative. Padahal negara hakikatnya memiliki kemampuan untuk membatasi hingga mengeliminir sumber konten negative yang merusak. Hanya saja, ketika negara telah berkomitmen untuk memberikan kebebasan berekpresi pada setiap warga negara, hal ini akan menjadi kontradiktif.
Oleh karena itu pola pikir yang berlandaskan pada “kebebasan” ini harus dieleminasi dari benak individu, masyarakat, bahkan juga penguasa dalam hal ini negara agar dapat membangun perlindungan yang utuh kepada masyarakat. Pola pikir ini harus digantikan dengan pola pikir yang mampu menetramkan hati manusia dan sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sehingga dapat memberikan solusi yang konprehensif.
Di Bawah Naungan Islam
Pola pikir yang mampu memenuhi kebutuhan fitrah manusia dan juga menetramkan hati manusia, pada dasarnya bukan berasal dari manusia itu sendiri. Akan tetapi berasal dari Dzat yang memahami manusia secara konorehensif. Dzat ini ialah Allah Subhanahu Wataala sebagai Al Khaliq dan Al Mudabbir bagi seluruh makhluk dan alam semesta.
Teknologi dalam Islam hakikatnya adalah alat yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subahanahu Wataala. Sehingga dalam pemanfatannya akan disesuaikan dengan aturan syariat Islam itu sendiri. Paradigma ini akan dipahami oleh setiap individu sebab Islam mengarahkan sistem pendidikannya bukan hanya mencetak generasi yang menguasai teknologi. Akan tetapi juga mencetak generasi yang memiliki syaksiyah Islamiyah atau kepribadian Islam. Syaksiyah Islamiyah adalah kombinasi dari pola pikir dan pola sikap Islam, hal ini akan menjadi guide bagi seseorang dalam menentukan standart baik buruk dan benar salah dalam memanfaatkan teknologi. Seperti tidak boleh menonton, menyebarkan, dan mendistribusikan konten 18+ pada media sosial.
Selain itu, sistem sosial masyarakat yang saling terikat oleh pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama, akan menjalankan kontroling pada aktivitas media sosial. Apabila ditemukan ada individu yang menggunakan teknologi tidak sesuai syariat maka akan diingatkan. Apabila pelanggaran penggunaan teknologi media online tersebut terjadi secara massif maka akan diadukan kepada pengadilan negara. Sistem hukum Islam akan memberikan hukuman yang mampu membuat jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain agar enggan melakukan kemaksiatan. Hukum dalam Islam akan digali dari sumber hukum yang shahih yaitu Al Qur’an dan Hadist, dengan empat penunjukan dalil yaitu Al Qur’an, Hadist, Ijma’ sahabat, dan qiyas. Sehingga tidak ada hukum yang berlandaskan kepentingan. Pada kitab Nidzamul Islam karangan Syekh Taqiyyudin An Nabhani, dijelaskan bahwa pihak yang boleh menggali hukum adalah seluruh kaum Muslimin yang memiliki kemampuan sebagai seorang mujtahid. Artinya, hukum Islam tidak digali oleh sembarang orang tetapi oleh individu yang memiliki pemahaman yang benar tentang dalil Islam, memiliki ketaqwaan yang tinggi, serta menguasai bahasa arab dengan sangat baik. Seluruh sistem tersebut hadir dalam sebuah Negara Islam atau Khilafah Islamiyah yang dijanjikan oleh Rasulullah hadir setelah penguasa yang dictator serta dzalim berkuasa.

Penulis
0 Pengikut

Ketika Gen Z Bicara Perubahan
7 jam lalu
Simpul Ikatan Masyarakat
Senin, 11 Agustus 2025 16:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler