Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno
Soekarno Tidak Sebaik yang Kita Kira dan Soeharto Tidak Seburuk yang Kita Kira
Selasa, 19 Agustus 2025 10:09 WIB
Mengapa kita sering menilai Soekarno terlalu baik dan Soeharto terlalu buruk? Sebagian jawabannya ada pada bagaimana sejarah ditulis.
Oleh : Lutfillah Ulin Nuha
Sejarah Indonesia kerap digambarkan dalam potret hitam putih. Soekarno sering ditampilkan sebagai pahlawan tanpa cela, sang orator yang membakar semangat bangsa, proklamator yang mengusir penjajah, dan simbol keberanian menghadapi Barat. Sebaliknya, Soeharto sering diposisikan sebagai diktator dingin yang memerintah dengan tangan besi, meredam kritik dengan represi, dan menutup ruang demokrasi.
Namun, jika kita menilik lebih jernih, sejarah tidak sesederhana itu. Ia penuh paradoks, kontradiksi, dan interpretasi yang bisa berubah seiring waktu. Kalimat “Soekarno tidak sebaik yang kita kira, dan Soeharto tidak seburuk yang kita kira” mengajak kita meninjau ulang narasi besar yang diwariskan, agar kita tidak terjebak pada glorifikasi berlebihan maupun demonisasi mutlak.
Soekarno: Mimpi Besar yang Tak Selesai
Soekarno adalah figur monumental. Ia memimpin bangsa di masa paling sulit, merumuskan dasar negara, dan membawa Indonesia ke panggung dunia. Namun di balik semua itu, terdapat sisi lain yang sering dilupakan.
1. Retorika yang lebih kuat dari realisasi
Pidato-pidato Soekarno adalah mahakarya retorika politik. Dari “Indonesia menggugat” hingga “To Build the World Anew”, kata-katanya mampu mengguncang dunia. Tetapi, di level implementasi, banyak programnya yang macet. Ekonomi Indonesia di era akhir pemerintahannya justru terpuruk dengan inflasi tinggi, infrastruktur macet, dan produksi pertanian menurun.
2. Demokrasi Terpimpin yang justru membelenggu
Alih-alih memperkuat demokrasi, Soekarno justru mengonsolidasikan kekuasaan dengan membubarkan partai-partai yang dianggap mengganggu stabilitas. Ia mendirikan Demokrasi Terpimpin, yang dalam praktiknya lebih dekat dengan sentralisasi kekuasaan. Otoritas politik banyak terpusat di tangannya, bahkan keputusan-keputusan besar pun sering lebih berdasarkan intuisi personal ketimbang musyawarah kolektif.
3. Dekat dengan PKI dan manuver berbahaya
Soekarno dikenal dengan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Ide ini dimaksudkan untuk mempersatukan tiga kekuatan besar bangsa. Namun, kedekatannya dengan PKI menjadi bumerang. Ketegangan politik meningkat, kecurigaan antar kelompok semakin dalam, hingga akhirnya meledak dalam tragedi 1965. Walau Soekarno tidak bisa dituding sebagai dalang, banyak yang menilai kebijakannya membuka ruang bagi konflik tersebut.
4. Kehidupan pribadi yang kontroversial
Sebagai manusia, Soekarno tidak luput dari kontroversi. Kehidupan pribadinya, termasuk soal poligami, gaya hidup mewah, serta kecenderungan romantis yang berlebihan, sering dipandang tidak sesuai dengan kondisi rakyat yang kala itu hidup miskin.
Dengan demikian, gambaran Soekarno sebagai “pahlawan sempurna” sejatinya terlalu menyederhanakan. Ia punya jasa yang luar biasa, tetapi juga kelemahan yang berdampak besar bagi perjalanan bangsa.
Soeharto, Diktator Pembangun Bangsa
Soeharto naik ke panggung politik dalam situasi yang kacau. Setelah tragedi 1965, Indonesia berada di ambang perang saudara. Krisis politik, ekonomi, dan sosial hampir memecah bangsa. Dari titik inilah ia memimpin dengan cara yang sangat berbeda dari Soekarno.
1. Membangun stabilitas nasional
Soeharto memahami bahwa bangsa yang baru pulih dari trauma butuh stabilitas. Ia membangun sistem politik yang terkontrol melalui Golkar, militer, dan birokrasi. Demokrasi dipangkas, namun kestabilan politik terjaga. Meski menuai kritik, sistem ini memungkinkan pembangunan berjalan tanpa gejolak besar.
2. Pertumbuhan ekonomi dan swasembada pangan
Era Orde Baru identik dengan pembangunan ekonomi. Soeharto berhasil membawa Indonesia mencapai pertumbuhan tinggi selama beberapa dekade. Program transmigrasi, revolusi hijau, dan pembangunan infrastruktur pertanian menjadikan Indonesia sempat swasembada beras. Banyak rakyat yang merasakan perbaikan nyata dari segi kesejahteraan.
3. Pembangunan infrastruktur dan pendidikan
Jalan raya, bendungan, sekolah, dan puskesmas bermunculan di berbagai daerah. Program wajib belajar dan perluasan sekolah dasar membuat angka melek huruf meningkat pesat. Inilah warisan Orde Baru yang masih terasa hingga kini.
4. Represi dan pelanggaran HAM
Namun, semua itu datang dengan harga mahal. Soeharto membungkam oposisi, membatasi kebebasan pers, dan menggunakan militer untuk meredam protes. Peristiwa seperti tragedi Tanjung Priok, penculikan aktivis, dan operasi militer di Timor Timur menjadi noda hitam yang tak bisa dihapus.
Soeharto bukan sekadar diktator kejam seperti yang sering digambarkan. Ia juga seorang manajer pembangunan yang efektif. Namun, efektivitas itu dibarengi dengan represi yang membekas dalam ingatan bangsa.
Membaca Ulang Narasi Hitam Putih
Mengapa kita sering menilai Soekarno terlalu baik dan Soeharto terlalu buruk? Sebagian jawabannya ada pada bagaimana sejarah ditulis.
- Era Orde Baru: Soekarno ditampilkan sebagai pemimpin yang gagal, penyebab krisis, dan terlalu dekat dengan komunis. Sebaliknya, Soeharto digambarkan sebagai penyelamat bangsa.
- Era Reformasi: Narasi berbalik. Soekarno dipulihkan sebagai bapak bangsa, tokoh heroik yang dizalimi. Sementara Soeharto dilukiskan sebagai tiran yang memperpanjang penderitaan rakyat.
Dua-duanya adalah narasi politik, bukan semata fakta. Karena itu, penting bagi kita membaca sejarah dengan lebih kritis, agar tidak terjebak dalam glorifikasi atau demonisasi.
Refleksi Filosofis
Jika dilihat dari sudut pandang filsafat politik, Soekarno dan Soeharto mewakili dua wajah kekuasaan: idealism vs pragmatism.
Soekarno adalah pemimpin visioner. Ia membawa gagasan besar, mengobarkan mimpi, dan menempatkan Indonesia di mata dunia. Tetapi, idealismenya sering melupakan aspek praktis.
Soeharto adalah pemimpin pragmatis. Ia tidak banyak bicara tentang mimpi besar, tetapi fokus pada keteraturan dan pembangunan. Namun, pragmatisme itu membuatnya rela mengorbankan kebebasan.
Filsuf Hannah Arendt pernah menyinggung bahwa kekuasaan sejatinya bukan hanya soal dominasi, tetapi tentang kemampuan menjaga ruang publik agar manusia bisa hidup bersama dalam kebebasan. Jika memakai kacamata ini, Soekarno gagal karena terlalu terjebak pada karisma personal, sementara Soeharto gagal karena menutup ruang publik dengan kontrol militeristik.
Namun, di sisi lain, keduanya sama-sama berhasil dalam aspek tertentu: Soekarno membangun identitas kebangsaan, Soeharto membangun fondasi material.
Relevansi Bagi Generasi Kini
Mengapa kita perlu mengingat bahwa Soekarno tidak sebaik yang kita kira dan Soeharto tidak seburuk yang kita kira? Karena bangsa yang dewasa adalah bangsa yang mampu menilai sejarah dengan jujur, bukan dengan romantisme atau kebencian.
Generasi kini perlu belajar:
- Dari Soekarno: pentingnya mimpi besar, idealisme, dan keberanian menantang dunia.
- Dari Soeharto: pentingnya sistem, manajemen, dan pembangunan yang terukur.
Keduanya harus dilihat secara seimbang. Dengan begitu, kita tidak akan jatuh pada sikap menyembah tokoh atau sebaliknya menutup mata dari jasanya.
Penutup
Sejarah adalah cermin yang retak. Dari retakan itu, kita melihat bayangan yang tidak utuh, terkadang terdistorsi. Soekarno bukan malaikat, dan Soeharto bukan setan. Keduanya manusia dengan segala kelebihan dan kelemahannya.
Mungkin benar kata pepatah: “Sejarah ditulis oleh pemenang.” Tetapi kita, generasi setelahnya, punya tugas untuk membaca ulang, meraba kebenaran di balik narasi, dan menempatkan keduanya secara proporsional.
Soekarno memberi bangsa ini mimpi, Soeharto memberi bangsa ini struktur. Tugas kita sekarang adalah melanjutkan perjalanan dengan mengambil yang terbaik dari keduanya, sekaligus belajar dari kesalahan mereka.
Dengan begitu, kita tidak lagi terjebak dalam glorifikasi maupun demonisasi, tetapi mampu berdiri sebagai bangsa yang dewasa dalam membaca sejarahnya sendiri.

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing
8 Pengikut

Malang, Kota Pendidikan yang Tak Pernah Kehilangan Toko Buku
Jumat, 19 September 2025 07:11 WIB
Oase Pengetahuan di Tengah Krisis Membaca
Rabu, 17 September 2025 18:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler