Ketika Transaksi Berpindah ke Dunia Maya, Kejujuran Pajak Diuji
4 jam lalu
Perkembangan teknologi digital telah mengubah pola transaksi masyarakat dari sistem konvensional menjadi berbasis daring.
***
Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia berinteraksi, termasuk dalam hal bertransaksi. Kini, jual beli tidak lagi terjadi di pasar tradisional, tetapi di ruang-ruang virtual seperti marketplace, media sosial, dan aplikasi digital. Fenomena ini memang membuka peluang ekonomi baru, tetapi juga menghadirkan tantangan serius bagi sistem perpajakan nasional, terutama dalam hal penegakan hukum dan kesadaran masyarakat untuk taat pajak.
Dalam sistem hukum Indonesia, kewajiban pajak tidak hanya berlaku bagi perusahaan besar, tetapi juga individu yang memperoleh penghasilan, termasuk dari kegiatan online. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi elektronik. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak pelaku usaha digital yang belum memahami, atau bahkan sengaja menghindari, kewajiban perpajakan mereka.
Masalah utamanya bukan hanya terletak pada kurangnya regulasi, melainkan pada minimnya kesadaran dan kejujuran pajak. Banyak penjual online yang beralasan bahwa usaha mereka masih kecil, sehingga belum perlu melapor atau membayar pajak. Padahal, prinsip dasar hukum pajak adalah setiap penghasilan merupakan objek pajak. Ketika transaksi berpindah ke dunia maya, pengawasan menjadi lebih sulit, dan di sinilah kejujuran setiap wajib pajak benar-benar diuji.
Di sisi lain, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah berupaya menyesuaikan diri dengan era digital. Langkah seperti penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital luar negeri, serta kerja sama dengan berbagai platform e-commerce untuk pemotongan pajak otomatis, merupakan wujud modernisasi sistem perpajakan. Namun, penegakan hukum tanpa dibarengi kesadaran publik hanya akan menghasilkan kepatuhan semu—taat karena takut sanksi, bukan karena sadar kewajiban.
Menurut saya, tantangan terbesar dalam pajak digital bukan sekadar menemukan cara memungutnya, melainkan menumbuhkan kepercayaan dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap negara. Pajak seharusnya dipandang bukan sebagai beban, tetapi sebagai bentuk partisipasi warga negara dalam membangun negeri. Ketika masyarakat merasa hasil pajaknya benar-benar kembali untuk kesejahteraan publik, maka kepatuhan akan muncul secara alami tanpa paksaan.
Penegakan hukum pajak di era e-commerce harus berjalan seimbang antara penegakan yang tegas dan pendekatan yang persuasif. Regulasi yang baik tidak akan berarti jika tidak diiringi kejujuran para pelaku usaha dan kesadaran bahwa kontribusi kecil dari setiap individu akan membangun kekuatan besar bagi bangsa. Dunia digital boleh tanpa batas, tetapi tanggung jawab pajak tetap harus berlandaskan nilai keadilan dan integritas.

Mahasiswa Universitas Pamulang
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler