Sudah 11 Ribu Siswa Keracunan MBG: Pemerintah Main-main dengan Nyawa Rakyat

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Siswa SMP PGRI Cianjur diduga korban keracunan makanan makan bergizi gratis menjalani perawatan di ruang instalasi gawat darurat RSUD Sayang, Cianjur, Jawa Barat, 22 April 2025. Tempo/Deden Abdul Aziz
Iklan

Sebaran kasusnya yang meluas di berbagai pulau membuktikan bahwa ini adalah kegagalan sistemis berskala nasional,

Oleh: Azizah Isnaini, Mahasiswa Administrasi Publik Univeritas Sriwijaya

Siswa menunjukkan paket makan siang dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 25 Palembang, Sumatera Selatan, Senin (6/1/2025).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi penurunan angka stunting kini justru menjadi sumber kekhawatiran baru. didukung anggaran tahun pertama yang mencapai Rp71 triliun (USD 4,2 miliar) dengan proyeksi melonjak hingga Rp335 triliun (USD 20 miliar) pada 2029. Pernyataan genting ini semakin diperparah oleh ironi tata kelola yang ada, bahwa sistem peringatan dini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang seharusnya memantau wabah penyakit menular, malah digunakan untuk mendeteksi kasus keracunan massal akibat program itu sendiri.

Berdasarkan laporan terbaru Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), tercatat 1.084 korban baru keracunan MBG dalam periode 6-12 Oktober 2025, menjadikan total korban sejak awal tahun mencapai 11.566 anak. Data Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives menunjukkan tren kasus keracunan yang sangat mengkhawatirkan: dari hanya 99 kasus di Januari, kini telah melonjak drastis hingga 2.711 kasus pada September 2025.

Sebaran kasusnya yang meluas di berbagai pulau membuktikan bahwa ini adalah kegagalan sistemis berskala nasional, bukan sekadar insiden lokal. Dari ribuan korban, 76% adalah anak balita, kelompok yang justru menjadi sasaran utama. Ironisnya, alih-alih menerima asupan gizi pencegah stunting, kelompok usia rentan ini justru mengalami keracunan massal, sebuah risiko kesehatan akut yang jauh lebih fatal daripada kekurangan gizi kronis.

Kegagalan Mendasar: Menjalankan Program Tanpa Landasan Hukum yang Mengikat

Pemerintah mungkin akan berdalih bahwa keterlambatan Perpres ini bertujuan untuk memberikan 'fleksibilitas' pada tahap awal implementasi atau karena menghadapi 'kerumitan birokrasi' antar-kementerian. Argumen ini pada tingkat tertentu dapat dipahami. Namun, argumen semacam itu runtuh di hadapan 11.566 nyawa anak yang menjadi korban. Fleksibilitas tanpa aturan main yang jelas bukanlah strategi, melainkan sebuah kelalaian yang disengaja.

Tidak ada kerumitan birokrasi yang bisa membenarkan pengabaian standar keselamatan pangan untuk program senilai triliunan rupiah. Oleh karena itu, pertanyaan kritisnya bukan lagi pada niat, melainkan pada akibat kebijakan dari yang sudah terjadi: seberapa besar harga yang harus ditanggung rakyat untuk 'kelonggaran' yang diberikan oleh ketiadaan Perpres ini?

Klaim keberhasilan yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto soal "menyelamatkan minimal Rp300 triliun rupiah" terasa hampa di hadapan fakta 11.566 korban. Terlebih lagi, klaim kuantitas ini dipertanyakan tajam dari sisi kualitas menu di lapangan. Lina (42), ibu rumah tangga di Makassar, mengungkap keraguannya dengan lugas: "Contoh saja anak saya diberi menu burger, yang lebih sering disebut junk food. Kadang juga (menu MBG) hanya dengan lauk telur dan tempe... Nah kalau begini menu di rumah juga begini, bahkan lebih variatif malah."

Kegagalan ini membuktikan bahwa program MBG telah mengutamakan kepentingan politik di atas keselamatan rakyat. Terdapat tiga akar masalah utama yang menjadikan niat baik ini berbalik menjadi bencana.

Kebobrokan Struktural Tiga Dimensi

Meskipun BGN telah memiliki mandat resmi, JPPI menilai Badan Gizi Nasional ini gagal total menjalankan prinsip dasar tata kelola. Kegagalan ini terlihat nyata dari minimnya transparansi, nihilnya akuntabilitas, dan penolakan terhadap partisipasi publik.

  1. Ketergesaan Regulasi Mengorbankan Standar Mutu

Akar masalah pertama terletak pada aspek regulasi. Ketergesaan ini, yang terkesan mengutamakan kecepatan implementasi demi janji politik, justru mengorbankan kualitas dan keselamatan masyarakat. Memang, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024 telah terbit pada Agustus. Namun, Perpres ini baru mengatur soal kelembagaan BGN saja, bukan aturan wajib tentang mutu dan pelaksanaan di lapangan seperti standar kebersihan, rantai pasok, atau sertifikasi pemasok. Tanpa regulasi operasional yang memadai dan mengikat, kualitas pelaksanaannya berjalan dengan standar yang berbeda-beda dan tak terarah. Inilah yang menjelaskan betapa jauhnya jarak antara janji gizi tinggi dan kenyataan makanan basi di piring anak sekolah.

  1. Lemahnya Koordinasi, Sumber Inkonsistensi di Lapangan

Mustahil mengharapkan konsistensi kualitas di seluruh Indonesia jika kementerian-kementerian terkait gagal menyepakati dan memberlakukan Prosedur Operasional Baku Nasional yang mengikat. Kekosongan kepemimpinan dari pemerintah pusat ini menciptakan efek domino yang fatal di daerah. Tanpa panduan teknis yang jelas, setiap pemerintah daerah dipaksa berimprovisasi. Kondisi ini diperparah oleh kapasitas pemda yang tidak merata, potensi penyelewengan dalam pengadaan lokal, serta tantangan rantai pasok di wilayah geografis yang sulit. Akibatnya, mustahil mengharapkan kualitas yang seragam ketika pemerintah pusat sendiri gagal menciptakan sistem yang solid untuk diikuti. Tanpa integrasi alur kerja ini, setiap daerah akhirnya menciptakan aturannya sendiri, yang membuka celah fatal bagi makanan basi dan keracunan massal.

  1. Krisis Akuntabilitas dan Kriminalisasi Partisipasi Publik

Pola respons pemerintah cenderung membela diri, alih-alih membuka ruang evaluasi publik. Lebih buruk lagi, respons tersebut seringkali mengarah pada pengabaian sistematis terhadap temuan substantif, di mana laporan kritis dari masyarakat sipil dianggap sebagai 'gangguan', bukan masukan yang membangun. Sebagaimana diungkap JPPI, tiga masalah fundamental MBG justru tidak mendapat respons serius: pertama, ketiadaan pedoman teknis yang jelas; kedua, ketiadaan standar gizi dan keamanan pangan yang baku; ketiga, mekanisme pengawasan yang tidak independen. Mekanisme pengaduan yang disediakan pemerintah pun seringkali hanya menjadi formalitas belaka, karena laporan yang masuk,  termasuk temuan menu tidak layak dan keracunan massal yang jarang ditindaklanjuti secara transparan, apalagi menghasilkan koreksi kebijakan. Alih-alih menindak tiga masalah fundamental ini, perhatian justru dialihkan untuk merespons dengan pernyataan pembelaan. Praktik ini memperdalam krisis akuntabilitas, menciptakan siklus di mana kesalahan tidak terkoreksi dan celah penyimpangan tetap terbuka lebar. Merupakan sebuah kelalaian struktural yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan 11.566 korban.

Jalan Keluar: Keselamatan Rakyat Adalah Prinsip Utama, Sistem Harus Dibongkar Total

JPPI menilai, keracunan MBG bukan hanya kelalaian, melainkan krisis tanggung jawab publik yang fatal. Untuk menyelamatkan program yang didanai triliunan ini, pemerintah harus meninggalkan pola penyangkalan mereka dan menjalankan koreksi total yang didasarkan pada logika administrasi yang bersih, bukan politik.

Langkah pertama adalah mencabut pembiaran regulasi. Perpres yang akan terbit nanti harus berfungsi sebagai mandat peraturan yang harus memulai proses pembersihan total terhadap malfungsi kebijakan ini, dengan secara jujur mengurai dan menjawab semua kesalahan fatal yang sudah terjadi. Aturan tersebut harus merinci secara paksa cara pengawasan rantai pasok yang ketat secara menyeluruh. Ini berarti wajib melakukan pengecekan lapangan secara tiba-tiba dari pemasok bahan baku hingga ke piring saji, bukan sekadar melihat syarat-syarat di atas kertas. Ini adalah kunci utama memotong risiko makanan basi dan menjamin makanan layak konsumsi. Langkah ini harus segera dibarengi dengan penetapan standar minimal gizi dan kebersihan yang sama di seluruh Indonesia, hal ini merupakan kewajiban mendasar yang selama ini diabaikan.

Yang paling krusial, aturan baru ini wajib mengikat Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan, dan kementerian/lembaga terkait dalam satu alur komando operasional yang terintegrasi, menghancurkan tumpang tindih kewenangan yang selama ini menjadi sumber kekacauan dan memaksa semua pihak bekerja sama. Selanjutnya, SOP Keamanan Pangan tunggal harus disahkan oleh BPOM, dengan memaksa semua penyedia wajib memiliki sertifikasi keahlian keamanan pangan yang dapat dicabut sewaktu-waktu. Standar tunggal ini harus menghancurkan celah inkonsistensi yang selama ini dieksploitasi di daerah dan memastikan hanya penyedia yang teruji kualitasnya yang boleh mengelola program.

Langkah kedua adalah membuka jendela akuntabilitas melalui penyelidikan menyeluruh yang partisipatif. Penyelidikan Menyeluruh oleh BPK harus segera diperintahkan. Ini adalah tuntutan yang tidak bisa dinegosiasikan. Penyelidikan ini harus membongkar dugaan korupsi dan memastikan uang rakyat tidak disalahgunakan. Bersamaan dengan itu, pemerintah harus mengakui "MBG Watch" dan JPPI sebagai mitra strategis, bukan musuh politik. Pelibatan kelompok profesi gizi dan masyarakat sipil dalam tim pengawas independen di daerah adalah cara paling efektif untuk membangun kembali kepercayaan publik. Untuk itu, mereka harus diberikan akses data penuh dan otoritas untuk menuntut pertanggungjawaban, karena mereka berfungsi sebagai mata dan telinga yang jujur di lapangan.

Program MBG adalah pelajaran mahal. Niat baik saja tidak cukup. Kegagalan moral atas keselamatan 11.566 rakyat ini harus diakhiri dengan pertanggungjawaban politik dan hukum yang tuntas. Ini adalah tuntutan akuntabilitas publik yang sesungguhnya. Jika tidak, kita yang akan menanggung beban moral dan biaya nyawa generasi penerus.

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler