Literasi Kesehatan Mental

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Literasi Kesehatan Mental
Iklan

Remaja merupakan fase kehidupan yang penuh dinamika, sekaligus sarat dengan kompleksitas yang membentuk arah perkembangan manusia di masa depan.

***

Wacana ini ditulis oleh Dwi Keisya Kurnia, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

 

Remaja merupakan fase kehidupan yang penuh dinamika, sekaligus sarat dengan kompleksitas yang membentuk arah perkembangan manusia di masa depan. Pada rentang usia belasan hingga awal dua puluhan, individu dihadapkan pada pencarian identitas diri, upaya memahami lingkungan sosial, serta tekanan yang datang dari tuntutan akademik hingga eksposur media sosial. Tidak mengherankan apabila periode ini kerap disebut sebagai masa rawan, bukan semata karena kecenderungan perilaku yang dianggap nakal, melainkan karena derasnya perubahan internal yang menuntut adaptasi mental dan emosional yang tidak sederhana.

 

World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja sebagai individu berusia 15 hingga 24 tahun. Pada tahapan inilah seseorang mengalami transisi besar, baik fisik, mental, maupun sosial. Transformasi ini sering kali memunculkan rasa cemas, kebingungan, hingga ketidakmampuan memahami emosi pribadi. Dalam konteks inilah literasi kesehatan mental menjadi kunci, sebab tanpa pemahaman yang memadai, remaja kerap kehilangan arah dalam menghadapi gejolak diri.

 

Fenomena ironis yang muncul pada era modern adalah semakin terbukanya akses informasi, tetapi justru disertai dengan penurunan pemahaman yang mendalam, termasuk dalam isu kesehatan. Literasi kesehatan mental dapat dipahami sebagai kemampuan mengenali tanda-tanda gangguan mental, memahami langkah-langkah penanganannya, serta mengetahui kapan harus mencari pertolongan profesional. Sama halnya seperti edukasi mengenai pola makan bergizi atau pentingnya aktivitas fisik, kesadaran menjaga kesehatan mental semestinya menjadi bagian dari pendidikan dasar yang dibangun sejak dini.

 

Namun, realitasnya tidak semua remaja memperoleh akses pengetahuan semacam ini. Akibatnya, banyak yang merasa asing terhadap perasaan cemas, murung berkepanjangan, atau kehilangan motivasi hidup. Sebagian memilih menyembunyikan perasaan karena khawatir dicap lemah atau kurang percaya diri. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sekitar 6,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan, jumlah yang setara dengan lebih dari 11 juta jiwa. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata yang menuntut perhatian serius, terutama karena banyak di antaranya adalah remaja.

 

Kurangnya literasi kerap melahirkan kesalahpahaman, salah satunya melalui fenomena self-diagnosis. Tidak jarang remaja menyimpulkan dirinya depresi hanya karena mengenali gejala dari konten singkat di TikTok, atau menyebut dirinya mengalami anxiety hanya karena sering overthinking, tanpa pernah berkonsultasi dengan tenaga profesional. Meski keterbukaan terhadap perasaan adalah hal yang positif, tanpa pemahaman yang memadai informasi tersebut berpotensi menjerumuskan mereka dalam kesalahan persepsi yang membahayakan. Alih-alih mencari bantuan tepat, mereka justru terjebak dalam pola pikir keliru yang dapat memperburuk kondisi.

 

Mendorong minat remaja terhadap literasi kesehatan mental menjadi langkah strategis. Pemahaman yang baik akan membantu mereka membedakan antara kesedihan sesaat akibat kegagalan ujian dengan gejala klinis depresi. Mereka juga dapat lebih cepat menentukan jalur bantuan, baik melalui guru bimbingan konseling, konselor, maupun psikolog. Selain itu, remaja yang melek kesehatan mental cenderung lebih peka terhadap orang lain, tidak mudah menghakimi, serta mampu hadir sebagai pendengar yang suportif, sesuatu yang kerap lebih dibutuhkan dibanding solusi instan.

 

Tanggung jawab menumbuhkan literasi kesehatan mental tidak bisa dibebankan hanya pada satu pihak. Sekolah dapat memainkan peran vital melalui integrasi isu kesehatan mental dalam kurikulum maupun seminar tematik, dengan guru yang dilatih agar mampu mengenali gejala gangguan pada siswa. Keluarga pun memiliki kontribusi fundamental, karena remaja sering merasa kesepian bahkan di rumah sendiri. Orang tua yang mau mendengarkan tanpa menghakimi dapat menjadi sandaran yang menyelamatkan anak-anak mereka.

 

Media sosial, sebagai ruang yang paling dekat dengan kehidupan remaja, juga harus diberdayakan secara bertanggung jawab. Konten kreator dan influencer memiliki peran penting untuk menyampaikan edukasi kesehatan mental yang faktual dan berbasis ilmu, bukan sekadar untuk kepentingan viral. Dengan demikian, arus informasi dapat diarahkan menjadi sarana pemberdayaan, bukan justru sumber kesalahpahaman.

 

Dari seluruh pemaparan tersebut, jelas bahwa literasi kesehatan mental bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Remaja yang memiliki pemahaman memadai tidak hanya mampu menjaga kesehatan emosionalnya, tetapi juga tumbuh sebagai generasi yang lebih tangguh, peka, dan siap menghadapi tantangan zaman yang penuh tekanan. Kesehatan mental berdiri sejajar dengan kesehatan fisik sebagai hak dasar setiap individu, dan memperjuangkannya berarti memastikan masa depan yang lebih sehat, baik secara pribadi maupun kolektif.

 

Corresponding Author: Dwi Keisya Kurnia (email: [email protected])

Bagikan Artikel Ini
img-content
Dwi Keisya Kurnia

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler