Praktisi ISO Management System and Compliance

Gen Z Bukan Apolitis, Tapi Anti-Politik yang Palsu

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gen Z lebih suka kerja freelance
Iklan

Gen Z menolak politik palsu, bangun gerakan transnasional berbasis keadilan dan kesadaran kolektif.

***

Pada 2 April 2025, tagar #TolakRUUKorupsi mendadak meledak di jagat Twitter Indonesia. Bukan karena kampanye dari partai politik atau orasi panjang di depan gedung DPR, melainkan dari sebuah video TikTok berdurasi 58 detik yang dibuat oleh seorang mahasiswi hukum di Malang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam videonya, ia menjelaskan dengan tenang—tapi tajam—mengapa rancangan undang-undang baru justru bisa membuka celah korupsi sistemik. Video itu ditonton lebih dari 3 juta kali dalam 48 jam. Aksi jalanan pun digelar di 12 kota besar, diprakarsai bukan oleh organisasi mahasiswa tradisional, melainkan oleh jejaring akun anonim di X (dulu Twitter) dan grup Discord.

Peristiwa ini bukan anomali. Ia adalah bagian dari pola yang semakin nyata: Generasi Z tidak apolitis—mereka sedang mengganti skrip politik yang usang.

Lama kita diberi narasi bahwa anak muda masa kini acuh tak acuh terhadap urusan negara. Survei tentang rendahnya minat Gen Z terhadap partai politik, debat capres, atau pemilu sering dikutip sebagai bukti “kemandulan politik” generasi muda. Namun, klaim itu keliru karena masih menggunakan kacamata generasi sebelumnya: politik = partai, pemilu, jabatan, dan struktur formal. Padahal, bagi Gen Z, politik telah bergeser maknanya. Ia bukan lagi soal kursi kekuasaan, tapi soal keadilan, etika, dan partisipasi kolektif.

Mereka tidak menolak politik, tapi mereka menolak politik yang palsu: pencitraan tanpa substansi, janji yang tak pernah ditepati, dan sistem yang terus menguntungkan elite sambil mengabaikan rakyat kecil. Mereka tidak percaya pada retorika “perubahan” yang hanya diucapkan setiap lima tahun sekali. Mereka ingin bukti, bukan pidato.

Dan ketika sistem konvensional gagal merespons, mereka menciptakan saluran sendiri.

Dari Hong Kong hingga Chile, dari Kenya sampai Nepal, gerakan sosial yang dipimpin Gen Z menunjukkan pola serupa: cair, transnasional, dan didorong oleh kreativitas digital. Di Myanmar pasca-kudeta, kaum muda menggunakan meme dan lagu pop untuk melawan represi. Di Kenya, protes terhadap RUU Keuangan 2023 menjadi gerakan global lewat crowdfunding dan solidaritas daring. Di Nepal, penutupan akses media sosial malah memicu gelombang perlawanan yang memaksa pejabat mundur. Semua gerakan ini tidak dimulai dari ruang rapat partai, tapi dari layar ponsel.

Indonesia tidak terkecuali. Aksi-aksi massa pada 2020, 2022, dan 2025 menunjukkan transformasi wajah protes: orasi formal digantikan oleh instalasi seni jalanan, musik independen, dan konten viral. Narasi perlawanan tidak lagi datang dari podium, tapi dari akun-akun mikro yang mampu menggerakkan imajinasi kolektif. Yang mengejutkan, banyak dari mereka tidak menyebut diri aktivis—mereka hanya merasa “harus bersuara”.

Karl Mannheim pernah menyatakan bahwa generasi dibentuk oleh pengalaman sejarah yang mereka alami secara kolektif. Bagi Gen Z, pengalaman itu adalah dunia yang simultan terhubung dan rentan: dunia yang bisa mereka lihat seluruhnya lewat layar, tetapi juga dunia yang penuh krisis—iklim, ekonomi, kesehatan, dan demokrasi. Mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa masalah di satu negara bisa menjadi masalah di negara lain. Maka, ketika mereka memprotes kebijakan lokal, mereka sering menarik referensi dari gerakan global. Solidaritas mereka tidak dibatasi oleh bendera, tapi oleh nilai.

Manuel Castells menyebut fenomena ini sebagai networked social movements—gerakan sosial yang tidak berbasis pada institusi tetap, melainkan pada jaringan digital. Mereka fleksibel, sulit dilacak, dan cepat berevolusi. Tidak ada komando pusat, tidak ada hierarki, tapi justru kuat karena setiap individu bisa menjadi penggerak.

Namun, tentu ada tantangan. Gerakan model ini kerap dituding sporadis, tidak punya strategi jangka panjang, dan mudah redup seiring pergeseran perhatian. Ketiadaan struktur formal membuat mereka sulit bernegosiasi untuk perubahan kebijakan konkret. Energi besar bisa menggoyang kekuasaan, tapi belum tentu mampu membentuk regulasi baru.

Tetapi, menilai keberhasilan gerakan Gen Z hanya dari output kebijakan adalah reduktif. Tujuan mereka bukan selalu merebut kursi kekuasaan, melainkan membangun kesadaran kolektif. Mereka ingin menunjukkan bahwa diam bukan pilihan, bahwa suara kecil bisa bergema, dan bahwa politik bisa dilakukan tanpa harus menjadi bagian dari mesin yang rusak.

Gen Z tidak menawarkan revolusi instan. Mereka menawarkan sesuatu yang lebih mendasar: pemulihan hak untuk bermimpi tentang dunia yang lebih adil.

Maka, daripada menyalahkan mereka karena tidak datang ke kampanye atau tidak gabung partai, lebih baik kita bertanya: apa yang salah dengan politik kita sehingga anak-anak muda harus menciptakan jalan sendiri?

Karena jika demokrasi ingin tetap hidup, ia harus belajar bernapas dengan cara baru. Dan saat ini, napas itu paling kencang terdengar dari balik layar ponsel anak-anak muda yang menolak diam.

Bambang Riyadi, Praktisi ISO Manajemen Sistem dan Compliance

Bagikan Artikel Ini
img-content
Bambang Riyadi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler