Penangkapan Buku
5 jam lalu
Penyitaan buku adalah upaya sistematik memusnahkan kemampuan berpikir serta memberangus pemikiran manusia itu.
***
Disita! Buku menjadi barang bukti atas tuduhan kerusuhan di akhir Agustus lalu. Apa salah buku? Sejatinya pemikiran yang dituangkan melalui buku, memantik pengetahuan baru.
Kegiatan membaca buku menjadi penggugah bernalar, meningkatkan kemampuan literasi. Bukan hanya mengisi ruang kognisi, juga membutuhkan pemahaman yang utuh untuk menjadikan buku sebagai sumber kesadaran.
Berdasarkan temuan UNESCO minat membaca di Indonesia baru 1 per mil, jelas sangat rendah. Tingkat literasi bertingkat mulai dari deskriptif hingga evaluatif, titik tertingginya adalah menciptakan kemampuan berpikir kritis yang dilekatkan pada realitas sosial, sebagaimana konsep Paulo Freire.
Pemikiran tidak dapat dibelenggu, justru perlu dibebaskan untuk mendapatkan rentang perspektif yang luas, dan buku memiliki peran tersebut. Bahkan salah satu babak peradaban manusia ditandai dengan penemuan mesin cetak perbukuan, era Gutenberg.
Berkembangnya pemikiran itu pula yang membuat RA Kartini mampu melampaui zamannya. Koleksi korespondensi suratnya dibukukan, berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Secara ironi, buku-buku tidak terlihat mengisi rak pajang rumah para petinggi negeri ini. Kemewahan itu seolah ditunjukan dengan berbagai barang-barang berharga, bukan isi kepala, maka mudah dipahami kualitas bernegara yang dihasilkan.
Maka penangkapan atau bahkan penghancuran buku, menurut Fernando Baez, sesungguhnya merupakan upaya sistematik dalam memusnahkan kemampuan berpikir serta memberangus pemikiran manusia itu sendiri, dikerdilkan.
Tanpa buku sebagai pemandu, kita hanya akan merasa sok tahu. Gagal untuk naik pada level kebijaksanaan ala Socrates yang menyebut, “aku tahu bahwa aku tidak tahu”.
Kerangka berpikir yang filosofis tidak terbentuk, kita kehilangan kemampuan untuk memahami substansi, hanya mampu sampai pada lapis permukaan persoalan -epidermis. Padahal untuk dapat menangkap esensi perlu kemampuan nalar radikal -berpikir mendalam.
Akar masalah dari munculnya kerusuhan pada Agustus lalu, disusul dengan menempatkan buku sebagai barang bukti adalah bentuk dari kesesatan berpikir -logical fallacy. Respons dari kemarahan publik, tidak ditindaklanjuti dengan melihat stimulus penyebabnya.
Koreksi kebijakan masih terbatas dalam upaya menenangkan sementara. Tema besar ketidakpuasan publik, seperti kesenjangan dan ketidakadilan masih belum benar-benar tersentuh. Inefisiensi dengan sangat mudah terlihat, dengan perluasan struktur kekuasaan, pembagian kursi dan posisi, hingga rangkap jabatan.
Dari pepatah kita mengetahui bahwa buku menjadi “jendela dunia” dan dari bagaimana kita bersikap atas penangkapan buku kita memahami betapa sempitnya pemahaman kita akan signifikansi peran buku. Semoga diperbaiki.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Penangkapan Buku
5 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler