Apakah MBG Dilanjutkan?
4 jam lalu
Dari piring makanan bergizi yang diberikan hari ini, kita menyiapkan generasi yang tangguh, sehat, dan siap menghadapi masa depan.
Oleh: Fadly Halim Hutasuhut (Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) resmi berjalan sejak Januari 2025 dan langsung bersentuhan dengan tantangan nyata: tata kelola yang belum rapi, indikasi penyimpangan, kualitas menu yang tidak konsisten, hingga kasus keracunan massal di beberapa daerah.
Menarik untuk dikaji, apakah Program MBG ini dapat membawa kebermanfaatan. Apakah ada praktik baik dari negara lain yang dapat dijadikan acuan? pertanyaan Bisakah MBG terus berjalan dan membaik agar setiap anak Indonesia mendapat makanan bergizi yang memperkuat tubuh, membentuk karakter, dan membuka masa depan?
Untuk menjawabnya, kita bisa berkaca pada kyūshoku—program makan siang sekolah di Jepang—yang lebih dari satu abad menyatukan gizi, pendidikan karakter, dan kesehatan dalam satu sistem yang disiplin dan berkelanjutan.
Kyūshoku Lebih dari Sekadar Makan Siang
Di Jepang, makan siang di sekolah adalah bagian kurikulum kehidupan. Menu disusun ahli gizi; terdiri dari karbohidrat, lauk, sayur, susu/buah, dan menyesuaikan kebutuhan tumbuh kembang.
Siswa ikut terlibat: menyiapkan, menyajikan, mengantre tertib, membersihkan. Dari situ, mereka belajar kebersamaan, tanggung jawab, disiplin, dan menghargai makanan.
Skema pembiayaannya berbagi peran: pemerintah memberi subsidi, orang tua berkontribusi biaya terjangkau. Hasilnya inklusif, stabil, dan bertahan lintas generasi.
Intinya: kyūshoku adalah investasi jangka panjang yang menggabungkan edukasi, gizi, dan pembinaan sosial, bukan proyek sesaat.
Tantangan yang Harus Diakui
Berjalan di negara kepulauan yang luas seperti Indonesia, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bertekad menjangkau berbagai kelompok sasaran, yaitu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), ibu hamil dan ibu menyusui, serta balita. Skala besar program ini membuka peluang besar untuk memperbaiki status gizi nasional, namun juga menghadirkan risiko jika tidak didukung oleh sistem yang kuat.
Tantangan utamanya meliputi tata kelola dan pengawasan yang rumit karena rantai pasok yang panjang dengan vendor beragam sehingga memungkinkan potensi moral hazard. Standar menu dan keamanan pangan masih perlu konsistensi karena beberapa insiden keracunan telah menjadi peringatan penting. Sumber daya manusia lapangan, khususnya pengelola dapur dan penyaji makanan, membutuhkan pelatihan rutin mengenai higienitas, prinsip HACCP dasar, serta manajemen logistik makanan dingin dan panas. Transparansi dalam pengelolaan dana yang besar juga diperlukan melalui pelacakan terbuka dan audit berkala.
Koordinasi yang sinergis antar pemangku kepentingan dari pusat hingga daerah, sekolah, puskesmas, komunitas, dan pelaku UMKM harus berjalan dalam satu ritme. Kabar baiknya, jangkauan penerima program telah sangat masif dengan antusiasme publik yang tinggi, menandakan fondasi program telah ada, dan yang dibutuhkan sekarang adalah penyempurnaan sistem yang berkelanjutan.
Lima Pilar Perbaikan Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia bisa dirangkum sebagai berikut:
Pertama, Standar Menu Nasional yang fleksibel dengan Adaptasi Lokal. Pemerintah menetapkan food-based guidelines yang mengatur porsi, Angka Kecukupan Gizi (AKG), serta kandungan protein hewani dan nabati, sayur dan buah, serta fortifikasi yang wajib dipenuhi menu. Dalam pelaksanaannya, diizinkan adanya variasi bahan pangan lokal seperti ikan laut, tempe, jagung, dan sagu supaya menu sesuai dengan budaya setempat dan harga terjangkau.
Kedua, Keamanan Pangan yang menjadi prioritas utama. Prosedur operasi standar (SOP) higiene dan pengelolaan rantai dingin/panas diterapkan dengan sederhana namun disiplin. Pengujian organoleptik harian, kontrol holding time dan titik kritis suhu wajib dijalankan, disertai pelatihan rutin untuk pengelola makanan. Catatan produksi dalam bentuk batch log wajib disimpan sebagai dokumentasi.
Ketiga, Model “Sekolah-UMKM-Puskesmas” yang saling mendukung. Sekolah berperan sebagai titik distribusi makanan sekaligus tempat edukasi dan pengawasan harian. UMKM lokal menjadi dapur pengolah atau penyedia bahan makanan sekaligus penggerak ekonomi setempat. Puskesmas bertugas melakukan pemantauan gizi, inspeksi sanitasi, dan pelacakan kejadian luar biasa (KLB) terkait kesehatan.
Keempat, Transparansi Digital dan Partisipasi Publik. Tersedia dashboard publik yang menampilkan menu mingguan, daftar vendor, harga satuan, laporan penyerapan anggaran, dan feedback dari masyarakat. Kanal pengaduan 24/7 melalui WhatsApp atau super-app terintegrasi dengan proses tindak lanjut. Audit acak secara independen dilaksanakan setiap kuartal.
Kelima, MBG sebagai Bagian Pendidikan Karakter. Jam makan dijadikan sesi belajar mengenai antri, cuci tangan, berbagi peran, dan kebersihan pascamenyantap. Siswa dilibatkan sebagai food ambassadors agar gizi terpenuhi disertai pembentukan karakter disiplin dan peduli.
Untuk mewujudkan perbaikan tersebut secara cepat dan realistis, rencana aksi selama enam bulan ke depan dibagi menjadi tiga fase. Pada bulan 1–2, standar menu nasional dibekukan dengan opsi substitusi lokal, pelatihan modul higiene dan HACCP mikro bagi pengelola dapur dilaksanakan, dan dashboard transparansi serta kanal aduan diluncurkan.
Bulan 3–4 diisi dengan uji coba model Sekolah–UMKM–Puskesmas di lima kabupaten/kota per pulau serta audit acak vendor dan stress test distribusi. Pada bulan 5–6, evaluasi berbasis data (keluhan, KLB, biaya, gizi) dilakukan, wilayah uji coba yang lolos standar dikembangkan, dan laporan kuartalan diterbitkan untuk pelaporan keberhasilan dan rencana perbaikan.
Dalam mengukur dampak, indikator yang dipilih harus terukur dan bermakna, tidak sekadar menghabiskan anggaran. Indikator tersebut meliputi aspek kesehatan dan gizi seperti berat badan dan tinggi badan (z-score), anemia, dan kehadiran sekolah; keamanan pangan dengan target jumlah insiden KLB nol dan waktu respons kurang dari 24 jam; biaya dan efisiensi berupa biaya per porsi serta perbandingan porsi terhidang dengan target; partisipasi dan pendidikan karakter dengan kepatuhan cuci tangan, keterlibatan siswa dan orang tua, serta kebersihan setelah makan; serta transparansi melalui jumlah aduan, kecepatan penyelesaian, dan temuan audit.
Lima pilar dan rencana aksi ini menjadi kerangka penting untuk menuntaskan permasalahan gizi sekaligus memperkuat implementasi Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia secara berkelanjutan dan efektif. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia bertekad menjangkau kelompok sasaran luas mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), ibu hamil dan menyusui, serta balita.
Skala besar program ini membuka peluang signifikan untuk perbaikan gizi nasional, namun juga menghadirkan berbagai risiko yang harus didukung dengan sistem yang kuat dan terstruktur. Tantangan yang ada meliputi tata kelola dan pengawasan yang kompleks dengan rantai pasok panjang dan vendor beragam, yang dapat menimbulkan potensi moral hazard.
Standar menu dan keamanan pangan mengalami ketidakkonsistenan, dengan insiden keracunan yang menjadi sinyal penting untuk perbaikan. Sumber daya manusia di lapangan, khususnya pengelola dapur dan penyaji makanan, membutuhkan pelatihan rutin terkait higiene, prinsip HACCP dasar, dan pengelolaan logistik dingin/panas.
Transparansi pengelolaan dana yang besar menjadi keharusan melalui pelacakan terbuka dan audit berkala. Koordinasi multi-pihak antara pusat, daerah, sekolah, puskesmas, komunitas, dan UMKM harus berjalan dalam satu ritme yang kohesif. Kabar baiknya, jangkauan penerima program sudah sangat masif dengan antusiasme publik tinggi, menandakan fondasi program sudah terbentuk, sedangkan yang diperlukan sekarang adalah penyempurnaan sistem yang berkelanjutan.
Sebagai upaya perbaikan, lima pilar utama disusun berdasarkan pembelajaran dari Jepang namun disesuaikan dengan konteks Indonesia. Pertama, Standar Menu Nasional dengan Adaptasi Lokal, yang menetapkan pedoman berbasis pangan (food-based guidelines) wajib terkait porsi, AKG, dan kandungan protein hewani/nabati, sayur/buah, serta fortifikasi, namun tetap memberi ruang untuk variasi bahan pangan lokal seperti ikan laut, tempe, jagung, dan sagu agar ramah budaya dan harga.
Kedua, Keamanan Pangan yang tak dapat ditawar dengan penerapan SOP higiene dan rantai dingin/panas sederhana tapi disiplin, termasuk uji organoleptik harian, kontrol suhu kritis, dan pelatihan rutin, serta rekaman batch log wajib. Ketiga, Model “Sekolah-UMKM-Puskesmas” dimana sekolah menjadi titik distribusi, edukasi, dan pengawasan harian; UMKM lokal menjadi dapur pengolah dan penyedia bahan sekaligus memperkuat ekonomi setempat; dan puskesmas berperan dalam pemantauan gizi, inspeksi sanitasi, dan pelacakan kejadian luar biasa.
Keempat, Transparansi Digital & Partisipasi Publik melalui dashboard publik yang menampilkan menu mingguan, vendor, harga satuan, laporan penyerapan anggaran, dan feedback warga; kanal pengaduan 24/7 terintegrasi; serta audit independen setiap kuartal. Kelima, MBG sebagai Bagian Pendidikan Karakter dengan menjadikan jam makan sebagai sesi belajar tentang antri, cuci tangan, serta peran kebersihan, dengan melibatkan siswa sebagai food ambassadors, guna memenuhi gizi sekaligus membentuk karakter anak.
Rencana aksi enam bulan ke depan dijadwalkan dalam tiga tahap: bulan 1–2 fokus pada pembekuan standar menu nasional minimal, pelatihan pengelola dapur, dan peluncuran dashboard serta kanal aduan; bulan 3–4 melaksanakan uji coba model Sekolah–UMKM–Puskesmas di beberapa kabupaten/kota dan melakukan audit vendor serta stress test distribusi; bulan 5–6 melakukan evaluasi berbasis data dan memperluas wilayah uji coba yang lolos standar serta menerbitkan laporan kuartalan mengenai keberhasilan, kendala, dan rencana perbaikan.
Pengukuran dampak program harus menggunakan indikator yang bermakna dan terukur, termasuk aspek kesehatan dan gizi (misalnya z-score berat dan tinggi badan, anemia, kehadiran sekolah), keamanan pangan (jumlah insiden/KLB dengan target nol dan waktu respons insiden kurang dari 24 jam), biaya dan efisiensi (biaya per porsi dan perbandingan porsi terhidang dengan target), partisipasi dan karakter (kepatuhan cuci tangan, keterlibatan siswa dan orang tua, kebersihan setelah makan), serta transparansi (jumlah aduan, waktu penyelesaian, dan temuan audit).
Dengan lima pilar perbaikan dan rencana aksi terukur tersebut, Program Makan Bergizi Gratis Indonesia dapat berjalan lebih efektif, berkelanjutan, serta memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia bangsa.
Penutup: Dari Piring ke Peradaban
MBG bukan sekadar program makan; ini pondasi peradaban—membangun tubuh, akal budi, dan kebiasaan baik generasi penerus. Tantangannya besar, tapi bukan alasan untuk mundur. Dengan standar yang jelas, pengawasan yang tegas, transparansi yang terbuka, dan partisipasi yang luas, Indonesia bisa melampaui fase “uji coba” menuju program gizi sekolah yang bermutu, aman, dan membentuk karakter.
Kini, pertanyaannya bukan lagi “apakah MBG dilanjutkan,” melainkan bagaimana kita bersama memastikan ia berhasil—agar setiap anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing.
Mari semua terlibat secara aktif dalam kesuksesan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini: orang tua ikut memantau menu dan kebersihan makanan yang diterima, guru menjadikan waktu makan sebagai momen latihan karakter seperti antri dan kebersihan, UMKM menjaga mutu produksi dan penyajian agar berkualitas, puskesmas mendampingi terkait gizi dan keamanan pangan, sementara pemerintah membuka data yang transparan dan dapat diakses publik. Dari piring makanan bergizi yang diberikan hari ini, kita menyiapkan generasi yang tangguh, sehat, dan siap menghadapi masa depan.
Malang, 29 September 2025
Fadly Halim Hutasuhut

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Apakah MBG Dilanjutkan?
4 jam lalu
Purbaya, si Koboi Harapan Baru Ekonomi Indonesia?
Rabu, 17 September 2025 07:59 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler