Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Menjaga Hak Generasi Mendatang di Atas Aspal Buton demi Ibu Pertiwi

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Menuju masa depan
Iklan

Inilah panggilan sejarah yang menuntut jiwa-jiwa perkasa, demi Indonesia yang kita cintai. Diam berarti terus mengkhianati amanah Ibu Pertiwi.

***

Aspal Buton bukan sekadar batuan bitumen yang terpendam di perut bumi Sulawesi Tenggara. Ia adalah anugerah Ibu Pertiwi, simbol kedaulatan yang memanggil kita untuk berdiri gagah di panggung sejarah. Setiap tetes potensi yang dibiarkan terabaikan adalah pengkhianatan terhadap anak cucu bangsa. Kita berhutang pada generasi mendatang untuk menebus pengabaian ini dengan tindakan nyata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hari ini kita berdiri di persimpangan jalan antara keberanian dan ketakutan. Keberanian untuk menuntut pengolahan Aspal Buton demi kejayaan Tanah Air, atau ketakutan yang terus menjerat kita dalam lingkaran impor aspal. Jika kita lebih memilih diam, kita mewariskan ketergantungan yang sangat memalukan. Generasi mendatang pantas menerima warisan yang mulia, bukan sekadar utang impor aspal.

Pemerintah boleh memoles retorika pembangunan infrastruktur, tetapi Ibu Pertiwi tahu siapa yang benar-benar setia. Jalan-jalan megah dibangun dengan aspal impor, sementara kekayaan sendiri dibiarkan menganggur. Ini bukan hanya kelalaian, melainkan pengingkaran janji kemerdekaan. Hak generasi mendatang untuk berjalan di atas aspal negeri sendiri dikhianati setiap kali kapal impor aspal merapat.

Bayangkan anak-anak kita bertanya, “Mengapa kita membeli aspal dari negeri jauh, padahal tanah kita sendiri menyimpannya?” Pertanyaan itu akan menyalakan bara di dada kita. Kita akan tertunduk malu bila jawabannya hanya kemalasan politik dan kerakusan bisnis. Bagaimana kita menatap mata mereka bila kedaulatan ini kita jual murah?

Aspal Buton adalah hak suci generasi mendatang, hak yang tidak bisa dinegosiasikan. Sama seperti hak atas udara bersih dan air murni, kedaulatan sumber daya adalah pusaka bangsa. Kita tidak berhak menggadaikannya demi kenyamanan sesaat. Kewajiban kita jelas: berjuang sekarang agar mereka tidak mewarisi bumi yang dikebiri.

Para elit berdalih teknologi belum siap, pasar belum matang. Dalih itu hanya tirai rapuh bagi ketakutan dan kepentingan pribadi. Sementara mereka sibuk menghitung untung rugi politik, Ibu Pertiwi menunggu anak-anaknya yang berani. Generasi mendatang tidak butuh alasan; mereka menuntut warisan nyata.

Perjuangan ini bukan soal angka dalam laporan keuangan negara. Ini adalah harga diri bangsa yang tidak ternilai. Saat negara lain melindungi sumber daya strategisnya, kita justru membuka pintu impor selebar-lebarnya. Anak cucu kita berhak menapaki jalan yang dibangun dengan kebanggaan, bukan dengan kompromi murahan.

Setiap meter jalan berlapis Aspal Buton adalah monumen kemerdekaan. Itu tanda bahwa kita memilih berdiri di atas kaki sendiri, menghormati Ibu Pertiwi. Menunda berarti mengubur impian kedaulatan di balik debu politik. Generasi mendatang akan mewarisi jalan yang dibangun dengan keberanian, bukan pengkhianatan.

Buton telah menunggu lebih dari lima dekade, sabar menanti pemimpin sejati. Sumber daya ini bukan hanya milik Sulawesi Tenggara, melainkan anugerah seluruh Nusantara. Diam berarti menodai amanah sejarah. Anak cucu bangsa menitipkan haknya pada kita hari ini, dan kita harus menjaganya.

Apa arti pembangunan bila pondasinya rapuh oleh ketergantungan? Jalan tol raksasa hanyalah fatamorgana bila bahan dasarnya datang dari kapal asing. Kita hanya menukar kedaulatan dengan ilusi kemajuan. Hak generasi mendatang adalah melihat Indonesia tegak tanpa tongkat impor aspal.

Kita tidak kekurangan sumber daya; yang kita kekurangan adalah keberanian pahlawan. Keberanian memutus mata rantai kepentingan yang mencekik. Keberanian untuk berkata: cukup sudah, saatnya Aspal Buton menjadi pemimpin pembangunan. Tanpa keberanian itu, hak generasi mendatang hanyalah seruan kosong di angin lalu.

Sejarah akan menimbang pilihan kita hari ini. Apakah kita penjaga warisan Ibu Pertiwi atau perampok masa depan? Generasi mendatang akan membaca jejak kita dan menilai kesetiaan kita pada Tanah Air. Kita harus menulis kisah kepahlawanan, bukan bab pengkhianatan.

Aspal Buton adalah martabat nasional yang menuntut banyak pengorbanan. Setiap butirnya adalah pesan bahwa Indonesia sanggup mandiri bila berani. Kita berhutang pada anak cucu untuk mengangkat martabat itu ke puncak kejayaan bangsa. Tidak ada alasan yang sah untuk menunda.

Jika kita gagal, generasi mendatang akan berjalan di jalan yang dibangun dari kompromi pengecut. Mereka akan menginjak aspal asing, simbol kelemahan para pendahulunya. Mereka akan bertanya mengapa kita begitu mudah menyerah kalah. Jawaban kita harus berupa tindakan heroik, bukan penyesalan yang terlambat.

Perjuangan Aspal Buton adalah ujian nasionalisme sejati. Bukan nasionalisme panggung kampanye, melainkan nasionalisme yang lahir dari keberanian dan keringat. Kita dipanggil untuk menebus kesalahan masa lalu dengan aksi tegap. Hak generasi mendatang menuntut kita berdiri tegak sebagai pejuang, bukan penonton.

Tidak ada waktu lain selain sekarang. Setiap hari penundaan adalah pengkhianatan terhadap masa depan. Kita adalah penjaga gerbang sejarah, penentu apakah kedaulatan ini segera terwujud. Diam berarti terus mengkhianati amanah Ibu Pertiwi.

Mari kobarkan semangat pahlawan, putuskan mata rantai impor aspal, dan tuntaskan pemanfaatan Aspal Buton sepenuhnya. Kita berjuang bukan demi popularitas, tetapi demi hak agung: hak generasi mendatang untuk berjalan di atas aspal bangsanya sendiri. Jalan itu harus dibangun dengan keberanian dan keringat kita, persembahan suci bagi Ibu Pertiwi tercinta. Inilah panggilan sejarah yang menuntut jiwa-jiwa perkasa, demi Indonesia yang kita cintai sepenuh hati.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler