Stop Mengubur Karbon, Mulailah Mengubur Kebohongan
1 jam lalu
Aksi iklim menuntut solusi nyata, bukan pengalihan miliaran rupiah yang hanya menguntungkan segelintir perusahaan.
***
Selama beberapa dasawarsa, perusahaan bahan bakar fosil berupaya mengubur temuan ilmiah bahwa produk mereka mendorong pemanasan global—sampai buktinya tak terbantahkan. Kini, mereka mengulang strategi yang sama: meyakinkan publik bahwa penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) adalah solusi krisis iklim yang sesungguhnya.
Di Indonesia, Pertamina telah bertekad untuk mengadopsi CCS dan variannya, carbon capture, utilization, and storage (CCUS), sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi. Harapannya, dengan itu perusahaan milik negara ini juga mendukung pencapaian target net zero emissions Indonesia pada 2060. Di atas kertas, langkah ini tampak sebagai kemajuan. Tapi, kenyataannya, CCS lebih merupakan pengalihan yang berbahaya daripada penyelamat.
Jauh dari citra sebagai pengubah permainan, sejarah CCS sebenarnya mengandung janji-janji muluk dan hasil yang minim. Setelah puluhan tahun digembar-gemborkan dan subsidi miliaran dolar dikucurkan di seluruh dunia, proyek-proyek CCS saat ini hanya menangkap kurang dari 0,1 persen emisi global. Ini adalah rekam jejak kegagalan yang dikemas sebagai kemajuan.
Secara teknis, CCS berfungsi menangkap karbon dioksida (CO₂) dari sumur minyak dan gas atau fasilitas industri besar dan menginjeksikannya ke bawah tanah. Pada dasarnya, kemampuan ini pertama kali digunakan untuk meningkatkan produksi minyak dan gas. Begitulah awalnya, sejak 1970-an: sebuah konsep yang dikembangkan untuk mengekstraksi lebih banyak minyak—proses yang dikenal sebagai enhanced oil recovery—dari sumur-sumur yang telah terkuras.
Namun, dalam praktiknya, CCS hanya menangkap sebagian kecil emisi dari setiap proyek—sementara porsi emisi yang jauh lebih besar dari pembakaran bahan bakar fosil tidak tersentuh. Bagi perusahaan bahan bakar fosil, CCS bukanlah solusi iklim, melainkan lampu hijau untuk mengebor lebih banyak sambil mengklaim telah bertanggung jawab.
Bahkan di tempat operasinya, CCS hanya menangani sebagian kecil dari masalah tersebut. Lazimnya, proyek gas menghasilkan emisi pada tiga tahap: ekstraksi, pemrosesan untuk pasar domestik dan pencairan untuk ekspor, dan terakhir, pembakaran oleh pengguna akhir. Fasilitas CCS biasanya hanya menangani tahap pertama. Padahal tahap ketigalah—saat bahan bakar dibakar—yang menghasilkan emisi terbesar, hingga sekitar 90 persen. Dengan kata lain, CCS mengabaikan tahap yang memungkinkan krisis iklim benar-benar terjadi.
Di luar kekurangan teknisnya, CCS juga boros dan berisiko. Fasilitas itu sendiri mengkonsumsi energi dalam jumlah yang sangat besar, yang berarti lebih banyak bahan bakar fosil harus dibakar hanya untuk mengoperasikannya. Toh, risiko kebocoran karbon tetap tinggi dan mustahil dijamin aman selama berabad-abad—satu masalah yang tak dapat dipecahkan oleh perusahaan mana pun secara kredibel.
Secara ekonomi, CCS adalah cara termahal untuk mengatasi krisis iklim. Setelah puluhan tahun uji coba, CCS terbukti efektif hanya jika disubsidi besar-besaran, yang mengalirkan uang publik langsung ke pundi-pundi perusahaan bahan bakar fosil. Setiap rupiah yang dibelanjakan untuk CCS adalah satu rupiah yang dialihkan dari solusi yang telah terbukti, lebih murah, dan lebih cepat seperti energi terbarukan dan efisiensi.
Fakta-fakta itu menunjukkan betapa CCS hanyalah taktik penundaan agar perusahaan bahan bakar fosil dapat melanjutkan bisnis seperti biasa sambil mengklaim telah menjalankan aksi iklim. Motif keuntungan jadi diperkuat, sementara risiko dan biaya dialihkan kepada pembayar pajak dan masyarakat di garis depan, yang menanggung beban situasi akibat terus naiknya suhu global.
Ketidakseimbangan itu bukan sekadar teori. Proyek CCS sering berlokasi di daerah rentan, yang membuat masyarakat setempat terpapar risiko keselamatan dan perubahan tata guna lahan. Sementara itu, keuntungan mengalir ke segelintir perusahaan dan investor. Hasilnya adalah sistem yang memperdalam ketimpangan sekaligus gagal memberikan solusi iklim yang sesungguhnya.
Jelas bahwa uang yang dibelanjakan untuk proyek CCS tak akan menghasilkan apa-apa kecuali kesia-siaan. Langkah-langkah yang telah terbukti seperti energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi umum, mobilitas aktif, dan transisi yang adil justru dapat mengurangi emisi lebih cepat dan murah. Dengan berinvestasi pada CCS, pemerintah tidak hanya membuang-buang anggaran, melainkan juga menunda tugas yang mendesak untuk menghapus bahan bakar fosil. Waktu dan sumber daya terbatas adanya, dan CCS menyia-nyiakan keduanya.
Begitulah CCS, yang memang sejak awal tak pernah bertujuan menyelesaikan problem krisis iklim—melainkan tentang melestarikan bisnis bahan bakar fosil dengan kedok baru. Ia memproyeksikan citra tanggung jawab sambil menjaga ekstraksi dan pembakaran tetap berlangsung. Lebih dari itu, CCS tidak menangkap karbon; ia menangkap kemauan politik, mengunci kita dalam sistem ekstraktif yang memperkaya segelintir orang seraya membahayakan orang lain.
CCS mungkin terdengar seperti inovasi, tapi fungsinya lebih seperti ilusi. Paling banter, CCS menawarkan jalur kehidupan bagi para pencemar, bukan planet ini. Paling buruk, CCS menunda transformasi yang dibutuhkan Indonesia. Perjuangan melawan perubahan iklim bukanlah tentang menemukan cara baru untuk memperpanjang bahan bakar fosil. Ini adalah tentang mengakhiri ketergantungan kita pada bahan bakar fosil—sebelum jendela untuk bertahan hidup tertutup.

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
5 Pengikut

Tiada Pemerataan Tanpa Demokrasi di Tempat Kerja
Kamis, 18 September 2025 06:52 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler