x

Iklan

Yudha P Sunandar

Journativist, penggiat Lingkar Literasi Cipadung
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Otong Wiranatakusumah: Bandung, Sang Jantung Indonesia

Otong Wiranatakusumah adalah putra Bupati Bandung Wiranatakusumah V. Sesepuh Sunda ini memiliki pandangan yang menarik tentang Bandung. Kota berjuluk Paris van Java ini dibedah dari sudut pandang kosmologi Sunda. Hasilnya, Bandung adalah jantungnya Indone

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Teriknya Matahari Bandung siang itu, tidak menyurutkan langkah R Otong Toyibin Wiranatakusumah ke Museum Konperensi Asia-Afrika (MKAA) Bandung. Padahal, agenda kedatangan beliau hanya untuk bertemu dengan saya yang mewakili Journativist Sahabat MKAA. Meskipun begitu, beliau rela menempuh perjalanan panjang dari Majalaya di Kabupaten ke pusat Kota Bandung.

Membuka perbincangan, putra mantan Bupati Bandung Wiranatakusumah V ini berseloroh tentang cuaca panas yang menerpa Bandung selama sebulan terakhir. “Bukan karena pemanasan global,” ungkapnya menyinggung alasan panasnya suhu Bandung. “(Suhu) Bandung panas karena banyak kendaraan,” lanjutnya.

Pasalnya, Bandung disesaki banyak kendaraan bermotor. Sayangnya, meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tidak diikuti upaya menambah panjang dan lebar jalanan di Bandung. Oleh karena itu, Otong tidak heran bila Bandung kerap dilanda kemacetan di berbagai ruas jalan. Mesin yang selalu menderu dan asap buangan kendaraan inilah yang kemudian membuat kota berjuluk “Paris van Java” kerap memiliki suhu di atas 29 derajat Celcius.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal, masih lekat di benak Otong tentang jalanan Bandung yang lenggang pada era 1960 silam. Saking sepinya, beliau bersama teman-temannya masih bisa bermain sepatu roda di sepanjang jalan Ir. H. Djuanda kala itu. Bandung baheula juga rindang dengan pohon dan berhawa dingin. Saking dinginnya, warga Bandung bisa merasakan kulitnya kerap berembun pada pagi hari dan menggigil kedinginan selepas mandi sore.

Keunggulan Bandung lainnya, kisah pria kelahiran 22 Nopember 1947 ini, saluran drainasenya sangat rapih dan baik. Saat itu, saluran drainase air dibagi menjadi dua, yaitu saluran air hujan dan air limbah rumah tangga. Saluran air hujan sendiri dialirkan menuju Sungai Cikapundung. Sedangkan air limbah, dialirkan ke tempat penampungan air limbah rumah tangga di sebelah selatan lapangan Tegalega. Air limbah ini dialirkan melalui saluran di belakang rumah, yang dikenal dengan istilah Brandgang. Dengan sistem ini, sistem drainase Bandung menjadi yang terbaik di Asia Tenggara pada saat itu. “Tidak heran bila cikapundung juga tetap jernih dan bersih dulu,” kisah Otong.

Sayangnya, saluran dan sistem pengolahan air limbah tersebut kini hilang tergerus zaman. Pembangunan yang tidak terkendali, menghancurkan sistem drainase Kota Bandung tersebut. Bahkan, danau penampungan air limbah kini sudah beralih fungsi menjadi pemukiman. Daerah tersebut kini diberi nama Jalan Inhoftank.

Inhoftank sendiri awalnya berasal dari istilah Imhofftank, merupakan perpaduan dari Imhoff dan Tank. Imhoff merujuk pada seorang insinyur berkebangsaan Jerman bernama Karl Imhoff (1876-1965). Beliau merupakan pelopor teknologi pengolahan limbah rumah tangga di seluruh dunia. Teknologinya ini selanjutnya disebut Imhoff Tank. Oleh lidah-lidah lokal Bandung, istilah tersebut berubah menjadi Inhoftank.

Otong sendiri sangat menyayangkan turunnya kualitas Kota Bandung saat ini. Terlebih lagi, kota ini berkembang menjadi salah satu kota terpadat di Indonesia dengan 4 juta manusia pada siang hari. Padahal, Bandung awalnya dirancang sebagai kota tinggal. Salah satu cirinya adalah banyak perempatan yang jaraknya saling berdekatan di Bandung. Ketika dipaksa menjadi kota metropolitan dengan mobilitas kendaraan yang sangat tinggi, Bandung pun menjadi kota yang penuh dengan kemacetan. Saking macetnya, Bandung juara ketiga kota termacet di Indonesia pada 2014.

Gejala tumbuhnya Bandung sebagai kota Metropolitan sudah dirasakan oleh Otong sejak 1980 silam. Kala itu, beliau bekerja di perusahaan distributor untuk sebuah merk mobil. Menariknya, perusahaannya tersebut menjual 400 unit mobil setiap bulannya. Jumlah penjualan tersebut adalah nomor 3 terbanyak di Kota Bandung.

Menurut sesepuh warga Sunda ini, bila sebuah mobil panjangnya 3 meter, Bandung harus menyediakan jalan sepanjang 1.200 meter atau 1,2 Kilometer setiap bulannya untuk menampung mobil-mobil yang dijual perusahaannya. Kenyataannya, sejak dulu hingga saat ini, lebar dan panjang jalan di Bandung tidak banyak berubah.

Otong pun memahami jika Walikota Bandung tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi permasalahan ini. “Bagaimana pun, walikota tidak bisa melarang warga Bandung membeli motor dan mobil setiap bulannya,” ungkapnya. Meskipun begitu, beliau berharap bahwa keadaan Bandung bisa lebih baik pada masa yang akan datang dan mampu beradaptasi dengan tuntutan sebagai kota metropolitan yang modern. Dalam hal ini, Otong menaruh harapannya pada pemimpin kota Bandung untuk merancang peta jalan pembangunan Bandung hingga 20 tahun ke depan. “Jangan membangun Bandung hanya sepotong-sepotong dengan kebijakan yang berubah-ubah,” kritik anggota Dewan Penasihat Badan Musyawarah Masyarakat Sunda ini.

Pusat Energi Nusantara

Meskipun tidak sepenting Jakarta dan Yogyakarta yang pernah menjadi ibu kota negara, tetapi nama Bandung tidak bisa dilepaskan begitu saja dari Indonesia. Pasalnya, menurut Otong, Bandung merupakan pusat energi bagi Nusantara. Boleh jadi, Bandung merupakan energi yang menghidupkan Indonesia. Pandangannya ini bukan tanpa alasan. Beliau berpegang pada falsafah masyarakat Sunda.

Menurut perwakilan Dalem Bandung ini, Pulau Jawa merupakan pusat dari Indonesia. Pulau Jawa sendiri seperti manusia, yaitu memiliki anggota tubuh dari mulai ujung kepala sampai ujung kaki. Kepalanya sendiri adalah Jawa Barat, sedangkan kakinya adalah Jawa Timur. Adapun deretan pegunungan yang berjajar dari barat ke timur merupakan tulang punggungnya. “Jawa Barat sendiri disebut Sang Hyang Sirah sebagai representasi kepala, dan Jawa Timur disebut Sang Hyang Suku sebagai representasi kaki,” papar Otong.

Lebih lanjut, beliau juga memaparkan bahwa manusia sendiri memiliki 3 titik energi. Ketiga titik tersebut adalah kepala, dada, dan pusar. Pusar sendiri merupakan titik proses perwujudan kehidupan, sedangkan kepala adalah titik pelaksana yang mengelola kehidupan manusia. Adapun jantung merupakan titik pertama masuknya kehidupan. Tuhan memasukkan energi yang menghidupkan manusia melalui titik ini. Setelahnya, Tuhan kemudian membentuk tubuh manusia yang lainnya. Dalam bahasa Sunda, titik jantung disebut “Da”, dan daerah sekitar jantung disebut “Dada”.

Berkaitan dengan Pulau Jawa sebagai representasi manusia, Otong menyebutkan bahwa Bandung merupakan “Jantung” pulau terpadat di Indonesia ini. Dengan kata lain, Bandung merupakan “jantung” Indonesia. Beliau menyebutnya sebagai Pancer Buana, yaitu Sumber Energi. “Pancer Buana Indonesia itu ada di Jawa, khususnya di Jawa Barat, yaitu di Bandung, tepatnya di Alun-Alun Kota Bandung,” ungkap pendiri Angkatan Muda Siliwangi ini. “Lingkaran energi di alun-alun dan sekitarnya itu sangat kuat,” tandasnya lagi.

Oleh karena itu, Otong tidak heran bila Bung Karno memilih Bandung sebagai lokasi penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika pada 1955 silam. Pasalnya, Soekarno sebagai sosok pembelajar perihal spiritual, melihat Bandung memiliki energi yang berpotensi menggaungkan pesan perdamaian dan kemerdekaan ke seluruh penjuru Dunia.

Melihat begitu besarnya daya tarik Bandung ini, Otong juga menolak teori yang menyatakan bahwa Kota Bandung lahir atas perintah Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels ketika membangun Jalan Raya Pos. Menurutnya, Kota Bandung justru didirikan oleh Bupati Bandung Wiranatakusumah II, buyut Wiranatakusumah V. Kala itu, Wiranatakusumah II meninggalkan pusat pemerintahan Bandung di Dayeuhkolot karena kerap dilanda Banjir. Sebagai gantinya adalah pusat pemerintahan Bandung yang berpusat di Pendopo Bandung saat ini.

Selain pusat energi, Ketua Dewan Pengaping Yayasan Keluarga Besar Wiranatakusumah V ini juga menyebut Bandung sebagai rahim. Dalam falsafah Sunda, rahim sendiri direpresentasikan sebagai danau. Keduanya sama-sama memiliki air yang berlimpah. Adapun Bandung merupakan sisa dari danau purba akibat letusan Gunung Sunda pada 140 ribu tahun yang lalu. Sedangkan kisah Sangkuriang merupakan simbol dari lahirnya manusia dari dataran tinggi Bandung. Sangkuriang sendiri berarti “Sang Kuring”, yaitu “Sang Aku” sebagai manusia.

Kendati Danau Purba Bandung sudah surut sejak 9 ribu tahun yang lalu, tetapi sifat Bandung sebagai rahim tersebut masih berlaku hingga saat ini. Sebagaimana rahim yang merupakan tempat lahirnya manusia, Bandung juga melahirkan banyak pemimpin-pemimpin kelas dunia. Beberapa di antaranya adalah Soekarno, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, dan Mohtar Kusumah Atmajaya. “Kalau tidak ada orang-orang tersebut, Indonesia tidak akan seluas saat ini,” simpul Otong.

Para pemimpin Indonesia masa depan diyakini masih akan lahir dari Bandung. Bandung sebagai rahim dan pusat energi Indonesia masih menggelora hingga kini. Barangkali, pemimpin Indonesia selanjutnya akan kembali lahir dari Bandung. Tugas kitalah, sebagai pemuda Bandung untuk menjaga Ruh Bandung agar tetap menyala dan hidup.***

Ikuti tulisan menarik Yudha P Sunandar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler