x

Iklan

Emanuel S Leuape Blonda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sakramentalitas Festival Melanesia

Boleh dibilang Festival Kebudayaan Melanesia merupakan “ritus” yang dilakoni dengan tujuan membentuk “solidaritas” di antara kelompok ras Melanesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Festival Kebudayaan Melanesia (Melanesian Culture Festival) itu ibarat “tanda yang kelihatan dari rahmat yang tak kelihatan”, demikian rujukan konsep sakramentalitas oleh Peter L Berger. Perayaan ini menjadi peristiwa material kebudayaan yang merepresentasikan spirit homo socius individu-individu manusia. Peristiwa kebudayaan semacam ini menandai relasi dan interaksi sosial dalam spirit homogenitas antar kelompok budaya. Tema homogenitas kultural dalam perayaan ini menjalankan fungsi sosial tertentu, yaitu: mobilisasi tubuh-tubuh dalam orientasi sosial tertentu. Tiap fungsi sosial hampir selalu berimplikasi ganda dalam pelaksanaanya; ia dapat mejadi positif sekaligus negatif. Pada posisi demikian, maka perayaan ini paling tidak memiliki satu  kualitas keberadaannya, yaitu: hadirnya sebagai realitas simbolis. Sebagai yang simbolik, perayaan ini mengacu pada hal-hal lain melampui momen keberadaanya selama 3 tiga hari tersebut. Artinya, momen ini dapat dibaca sebagai satu di antara sekian banyak teks sosial. Konsekuensinya, konsep Festival-Kebudayaan-Melanesia itu sendiri rancu pada dirinya sendiri. Ia bersifat ambivalensi dan karenanya memiliki banyak rujukan makna (multivalensi). Jelas, perayaan ini diselenggarakan dengan tujuan yang baik. Kebaikan-kebaikan ideal diprioritaskan hadir (presensi) sebagai rujukan makna perayaan ini. Tetapi, hal itu tidak menutup serangkaian implikasi negatif (sengaja atau tidak) direpresi sebagai yang tidak dimaksudkan dari makna perayaan ini (absensi). Bahayanya jika kita tidak menyadari absensi berbagai residu.
 
 
Ada 3 tema besar yang dimaksudkan dari Festival Kebudayaan Melanesia  yaitu:
 
1) Merayakan pengalaman kesamaan. Kesamaan demikian berkualitas memoria karena menyangkut pengalaman sejarah (kesamaan turunan gen biologis).  Dalam paradigma kultural masyarakat Durkheimian, boleh dibilang Festival Kebudayaan Melanesia merupakan “ritus” yang dilakoni dengan tujuan membentuk “solidaritas” di antara kelompok ras Melanesia. Dalam hal ini, kesamaan sebagai ras Melanesia adalah “sang kudus” yang hendak dirayakan dalam Festival ini. Akibatnya, ada klasifikasi yang membedakan kelompok ras Melanesia dan kelompok non-ras Melanesia. Titik rawan pada poin pemahaman ini adalah kualitas kesamaan ras Melanesia. Pertanyaan yang mungkin relevan yakni: Apakah individu/kelompok yang sama budaya (ras) menjalani kehidupan secara sama pula? Tentunya tidak dan bahkan pertanyaan ini mungkin terlalu berlebihan bagi keakuratan deskripsi realitas kehidupan budaya kelompok-kelompok ras Melanesia. Akan tetapi hal yang mesti juga diantisipasi dari sekarang adalah klaim kesamaan ras yang dapat menjadi bom waktu bagi integrasi kelompok sesama ras Melanesia. Rene Girard menjelaskan bahaya laten kesamaan dalam internal kelompok dengan konsep krisis distingsi. Meremukan perbedaan untuk menjadi sama sama bahayanya dengan tindakan diskriminasi. Tesis Girard ini kiranya sangat habitual jika kita cukup mengenalinya secara baik. Kualitas hidup bersama (atas dasar kesamaan tertentu) juga memerlukan ruang perbedaan. Krisis distingsi akan mengakibatkan kita menjadi sama dan karenanya setara. Dalam kesamaan dan kesetaraan itu pula kita mesti mempertimbangkan adanya ego penegasan diri untuk menjadi berbeda untuk menjadi istimewa di antara yang lain. Tidak jarang perihal penegasan diri ini berujung pada perpecahan kelompok. Indonesia diwacanakan menjadi pusat kerja-sama antar kelompok-kelompok ras Melanesia karena 80 % penduduknya adalah ras Melanesia. Ini itikad baik tetapi juga dapat berbuah pahit jika tidak diantisipasi secara adil. Psikologi internal kelompok relatif mengafirmasi faktor kuat perpecahan kelompok berasal dari dalam kelompok itu sendiri.
 
2) Memupuk rasa persaudaraan dan persatuan di antara sesama kelompok ras Melanesia lintas negara. Untuk menjadi satu maka ada perihal kesamaan yang diacu secara bersama-sama. Kesamaan tentu menjadi the sacred dalam Festival Kebudayaan Melanesia. Artinya, kelompok lain yang tidak berkaitan dengan kesamaan yang dikultuskan, maka dengan sendirinya kelompok itu terdiskriminasi. Ini menjadi mekanisme kerja klasifikasi yang realistis dalam kehidupan sosial kita tetapi sekaligus juga rentan karena mudah mengkondisikan etnosentrisme. Harapan kita, multikulturalisme seharusnya juga menjadi spirit perayaan ini di samping spirit homogenitas rasnya. Urgensi spirit multikulturalisme pada Festival ini didasarkan pada 2 pertimbangan berikut:
 
Pertama, kualitas perbedaan satu kelompok selalu ditegaskan oleh perbedaan kelompok lainnya. Bagi kebanyakan kita hal ini sepeleh, tetapi justru menjadi dasar pembentukan identitas diri kita atau kelompok kita. Tanpa kehadiran pihak lain yang berbeda, maka sulit membayangkan keberhasilan merealisasikan ego penegasan identitas sosial kita dan menjadi khas dalam kompleksitas kehidupan sosial ini. Kedua, kita selalu hidup dalam kecairan identitas sosial kita. Kita berbeda dalam satu hal, tetapi sama dalam hal lainnya. Satu kelompok mungkin berbeda dalam perihal ras dengan kelompok lainnya, tetapi menjadi sama sebagai bagian dari satu bangsa dan negara. Poin ini menjadi kritik Brian Fay tentang konsep Multikulturalisme yang terlalu menekankan perbedaan daripada persamaan. Baginya, multikulturalisme sesungguhnya dibangun di atas sebuah asumsi tentang adanya kesamaan utama sehingga perbedaan-perbedaan kecil lainnya dapat dicairkan dalam sikap saling menghargai perbedaan tersebut.
 
3) Mendorong kerjasama positif di antara sesama kelompok ras Melanesia lintas negara. Perayaan ini diharapkan merujuk pada kebaikan bersama ke depannya. Jika hal ini terrealisasikan, mengandaikan momen perayaan ini selalu kita ingat dalam hari-hari ke depannya. Sebaliknya, perayaan ini merujuk pada ketiadaan manfaatnya bila kita melupakannya. Ironinya, kelupaan kita selalu dalam kualitas kesengajaan karena memprioritaskan memikirkan yang satu dan mengabaikan yang lain. Kiranya Festival Kebudayaan Melanesia ini tidak berakhir seperti nasib Lebai Malang. Ia justru melupakan apa yang harus dilakukan sambil mengingat apa yang sepatutnya dapat diabaikannya. Peristiwa budaya ini tidak boleh menjadi komedi karena kita salah mengacunya pada makna yang tidak dimaksudkan dan tidak juga menjadi tragedi karena akhirnya dilupakan waktu.
 
Pembacaan dekonstruksi ini tidak dimaksudkan pada kenihilan peristiwa kebudayaan itu sendiri, tetapi membantu kita untuk memahaminya secara lebih fleksibel (relativisme) guna mengantisipasi serangkain residunya. “Karena dengan mengetahui mengapa”, demikian kata Friedrich Wilhelm Nietzsche, “kita bisa menempuh hampir setiap bagaimana”.     

Ikuti tulisan menarik Emanuel S Leuape Blonda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler