x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apa yang Saya Cari dari Membaca Fiksi

Banyak alasan mengapa membaca karya fiksi. Melepaskan diri dari dunia nyata?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Aku menulis esai untuk menjernihkan pikiranku. Aku menulis fiksi untuk membuka hatiku.”
--Taiye Selasai (Penulis Ghana)

 

Di tengah dunia fiksi yang dipenuhi penulis hebat, sebagai pembaca saya sering termangu bagaimana mereka menemukan gaya bercerita yang khas. Apakah Franz Kafka, Jane Austen, Charles Dickens, dan Pramoedya Ananta Toer terisolasi dari dunia sekeliling ketika bergulat di alam fiksinya? Apakah Haruki Murakami, Iwan Simatupang, William Gibson, David Foster Wallace, dan Umberto Eco seratus persen orisinal tatkala menuangkan imajinasinya dalam tulisan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka pembaca yang tekun. Penemuan kekhasan masing-masing adalah buah pembacaan terhadap karya-karya sebelumnya. Sungguh muskil menghindari pengaruh, tapi penulis-penulis hebat dari tiap-tiap zaman punya cara tersendiri untuk menemukan sesuatu yang berbeda. Orang banyak mungkin tak melihat sesuatu itu, tapi mereka melihat dan mengolahnya hingga menemukan cara bercerita gaya mereka.

Untuk menjadi penulis yang tekun, mereka mula-mula dan sekaligus menjadi pembaca yang tekun. Dari sinilah barangkali John le Carré piawai dalam mengelola plot cerita lewat dialog, James Joyce memainkan gestur untuk menciptakan karakter, dan William Gibson yang menciptakan cara bercerita baru dalam fiksi-sains. Masing-masing penulis memiliki kekayaan yang dengan suka cita mereka bagikan kepada kita, sebagai pembaca, lewat cerita.

Sebagai pembaca, masing-masing orang punya sesuatu yang mereka cari dan mereka temukan atau tidak mereka temukan di dalam fiksi—novel ataupun cerita pendek. Masing-masing pembaca juga punya maksud tertentu mengapa membaca novel karya Orhan Pamuk, atau Naguib Mahfouz, dan bukan membaca Potter-nya J.K. Rowling. Begitu pula sebaliknya.

Sebagai pembaca, saya sendiri kerap merasa fiksi menjadi semacam tempat pelarian dari realitas. Ketika membaca Bumi Manusia, saya terbawa ke alam kolonial, tenggelam di dalam kesadaran Minke dan Nyai Ontosoroh. Tapi, secara bersamaan, saya menyerap kesadaran bahwa penindasan bukan hanya ada di zaman kolonial, tapi juga di masa modern seperti sekarang. Saya merasa, ini bukan sejenis pelarian nostalgis untuk membayangkan kehidupan di era kolonial semata, tapi juga menghidupkan semangat perlawanan di era sekarang. Ada gemuruh amarah yang tertular. Juga kegetiran hidup.

Dongeng tentang kepahitan hidup yang ditulis Budi Darma menjadi Olenka bagaikan sebuah refleksi sebagai pembaca. Sunyi. Solitair. Namun saya juga merasakan keasyikan diajak penulisnya untuk menyusuri ruang fiksi dan realitas berganti-ganti. Apakah yang fiksi sepenuhnya fiktif ataukah fiksi adalah realitas yang ditulis ulang?

Saat membaca Neuromancer, lain lagi yang saya dapatkan. William Gibson begitu cerdas dalam membawa saya untuk menyusuri lapis demi lapis cyberspace. Internet dan era informasi membawa konsekuensi yang luar biasa terhadap kemanusiaan kita, dan Gibson menawarkan tantangan intelektual dalam karya-karya yang kerap disebut genre cyberpunk. Dongeng-dongeng Gibson bukan perkara teknologi (semata), melainkan lebih perihal kemanusiaan kita di tengah arus informasi yang sangat deras. 

Sebagian pembaca barangkali menyukai penutup yang bahagia, tapi bagi saya ujung yang membuat kita merasa getir tak kalah menarik. Begitu pula, ujung yang terbuka, yang diserahkan oleh penulisnya kepada pembaca. Bagi saya, penutup seperti ini akan terus mengusik secara emosional maupun intelektual—memantik saya untuk berjalan lebih lanjut. Ujung yang pasti, apa lagi bahagia, membuat kita berhenti untuk gelisah dan bertanya. Membaca sebagian karya Haruki Murakami maupun Franz Kafka, saya mendapatkan kegelisahan serupa.

Banyak cerita dari banyak penulis membuat saya memperoleh banyak hal beragam yang memperkaya pemahaman tentang hidup. Fiksi dan realitas barangkali dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Saya merasa berjalan bolak-balik di antara keduanya. (ilustrasi Neuromancer, sumber popmatters.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB