Dunia dalam Genggaman Wayang
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Dalam cerita cerita wayang muncul drama memilukan, mengharukan sekaligus tragis. Lakon itu seperti lintasan kehidupan manusia ...
Ketika Sang Dalang memainkan anak wayangnya, yang tersaji adalah gelaran lakon dunia manusia dalam segala karakternya. Wayang itu itu representasi watak-watak manusia. Ada kejahatan, kebaikan, ada keculasan ada ketulusan, ada egoisme ada yang suka berbagi, ada yang gagah ksatria, tidak tinggal glanggang colong playu(watak pengecut yang lari dari tanggung jawab).
Dunia wayang bagi Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya adalah sebuah pencapaian spesial dari lelaku leluhur yang meresapi kehidupan dengan melakukan berbagai laku prihatin. Mereka sengaja laku prihatin, pati geni, ngrowot, bertapa. Dalam lelaku yang dilakukan nenek moyang itu mereka menemukan cara-cara kreatif untuk menebarkan kebaikan, mengingatkan kembali pada manusia watak-watak dasar manusia. Karakter itu akhirnya diwujudkan dengan penokohan-penokohan anak wayang. Watak angkara(jahat) dapat terlihat dari tokoh-tokoh seperti dasamuka, Indrajit, Sugriwo(dalam lakon Ramayana), Duryudana, Dursasana, Sengkuni, Durna, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh jahat yang dilakonkan dalam dunia pewayangan.
Sejarah wayang
Menurut asal katanya Wayang berasal dari tuturan “Ma Hyang” artinya menuju ke tempat lebih tinggi, berjalan menuju ke Maha tinggi, dari bibliografi yang penulis temukan di internet(Portalsejarah.com)sedangkan menurut KBBI wayang boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dan sebagainya), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.
Menurut sejarah seperti yang telah ditemukan dalam relief candi wayang hadir lewat prasasti bertahun 930. Wayang menurut sejarahnya adalah bayangan atau wewayangan dalam istilah Jawa. Mengapa disebut wewayangan menurut portalsejarah.com wayang wewayangan berasal dari kata-kata si galiga mawayang dalam cerita itu digambarkan galiga sering diminta untuk tampil membawakan cerita atau mengadakan pagelaran pada acara yang penting. Wayang dalam sejarah Jawa sendiri adalah adalah bayangan atau representasi tokoh-tokoh jahat dan tokoh-tokoh baik. Gambaran wayang Indonesia itu bersifat Edipeni(edi tersebutseperti ketika melafalkan ember, peni saat mengucapkan kata pendek). Arti edipeni itu adalah indah. Tontonan wayang bersifat adi luhung. Adi luhung itu maksudnya adalah tontonan itu mengandung tuntunan yang didalamnya terkandung ajaran etika dan keutamaan hidup,
Wayang yang akan dibahas di sini adalah tentang perwujudan karakter manusia. Tokoh-tokoh jahat tergambarkan dalam lakon wayang Kurawa dan tokoh – tokoh baik tergambar dalam pribadi Pandawa(Mahabarata) dalam lakon Ramayana tokoh tokoh jahat tergambar dalam diri Dasamuka dan tokoh baik adalah Rama dan Sinta.
Lalu muncul cerita tentang berbagai konflik tajam yang berakhir perang saat mengikuti lakon keduanya. Puncak konflik Mahabarata adalah saat Kurawa dan Pandawa terlibat perang saudara dan tergelar dalam perang Mahabarata, sedangkan dalam Ramayana puncak perang adalah saat pasukan Prabu Rama dengan pasukan monyetnya menyerbu Kerajaan Alengka Diraja.
Dalam cerita cerita wayang muncul drama memilukan, mengharukan sekaligus tragis. Lakon itu seperti lintasan kehidupan manusia yang tidak lekang di makan Zaman. Dari dulu sampai sekarang lakon hidup manusia pasti berbumbu keculasan, kekejian, kejahatan yang tak termaafkan, dari kejahatan itu itu muncul semacam pesan bahwa bagaimanapun kejahatan akhirnya akan selalu kalah oleh kebaikan.
Membaca Wayang
Membaca buku wayang Karya Solichin dan DR Suyanto berjudul Cakrawala Wayang Indonesia, penulis melihat wayang seperti menyatukan seluruh elemen dunia. Dunia dalam genggaman wayang. Hanya sayang, di Indonesia wayang belumlah menempati tempat terhormat, terutama pada generasi mudanya. Padahal wayang sudah diakui dunia sebagai warisan budaya dunia. UNESCO menghormati wayang Indonesia, maka pada 7 november 2003 UNESCO memproklamasikan wayang Indonesia sebagai” a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity”. Namun lain ceritanya di Indonesia wayang masih dipandang sebelah mata oleh generasi muda saat ini.
Membaca wayang seperti membaca kisah hidup manusia, membaca watak dan perilaku manusia. Di dalam pakeliran Gagrag Jawa Cerita akan dimulai dari Talu, Jejer, Goro-goro, dan diakhiri dengan ending cerita yang berisi tuntunan. Dalam literatur yang tersusun bersama gambar-gambar berwarna yang menarik Buku setebal 305 halaman dengan cover yang tebal itu patut dikoleksi terutama oleh sekolah-sekolah yang peduli pada kebudayaan. Membaca dan melihat buku yang didesain oleh Heru S Sudjarwo ini ingatan penulis melayang ketika masih bermukim di kampung halaman di Jawa. Hampir tiap minggu ada pertunjukan wayang. Dengan antusias penulis mengikuti jalan cerita dari awal sampai Akhir. Meskipun awalnya susah mencerna cerita namun, setelah mengikuti alurnya penulis bisa merasakan betapa kayanya budaya bangsa ini. Para wali (terutama Sunan Kalijaga, melihat wayang itu adalah warisan budaya yang memberikan tontonan sekaligus tuntunan, Sunan memanfaatkan wayang untuk syiar agama secara damai, syiar yang tidak meninggalkan budaya lokal yang sudah terpatri secara turun temurun).
Melihat wayang tentu akan melihat betapa tuntunan budaya setempat dapat meredam pengaruh radikal yang berasal dari budaya asing. Mencintai kebudayaan berarti mencintai keteduhan, kedamaian. Maka ketika manusia modern mulai meninggalkan kearifan alam dan kearifan budaya aslinya banyak kejadian pelik yang menimpa. Terorisme lahir karena banyak pemeluk agama lebih mengagungkan dan mengadopsi budaya manca. Padahal, jika agama atau kepercayaan serta keyakinan itu diejawantahkan dalam versi budaya sendiri maka gotong royong, toleransi, akan tetap terpatri dalam watak bangsa ini.
Dalam filosofi wayang mulai dari pakeliran, gendhing-gendhing, janturan, pocapan rasanya sangat menarik. Dari janturan yang sering diucapkan dalam versi bahasa halus(Dalam wayang jawa biasanya dituturkan dalam bahasa jawa kuno, yang sering ditemukan dalam bahasa sansekerta)ditemukan banyak filosofi yang terselip terutama pada tuntunan hidup untuk menjadi lebih baik dengan cara menikmati seluruh pagelarannya. Manusia Indonesia dengan adat ketimurannya sebenarnya mempunyai warisan filosofi adi luhung yang tidak kalah dengan manca negara.
Tuntunannya sangat dalam. Sedangkan dari wujud wayang tiap tatahan, sunggingan, simbolisasi warna, urat-urat ukirannya, filosofi bentuk mata, mulut, hidung dan bajunya sudah mencerminkan filsafat tinggi. Watak wayang dengan wajah merah, berbeda dengan watak wayang bermuka hijau atau hitam, Bentuk mata Kliyipan(sipit beda wataknya dengan yang bermata blolok(lebar).
Sekali lagi rasanya dunia dalam genggaman wayang. Manusia melangkah, merasakan hidup, menikmati masalah, larut dalam konflik, hidup dalam api kebencian, menciptakan teror, masuk dalam lorong kegilaan, semua sudah terdapat dalam lakon wayang. Marilah menikmati wayang sebagai gelaran budaya adiluhung bangsa. Optimis bahwa dalam banyak segi Indonesia unggul terutama dalam kebudayaan.
Jakarta, 4 Februari 2016

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
0 Pengikut

Sidang MK Panggung Para Ahli Hukum
Senin, 24 Juni 2019 12:37 WIB.jpg)
Kritik dan Menghina Dua Hal Berbeda
Minggu, 16 Juni 2019 05:55 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler