x

Hillary Clinton (kanan) dan Bill Clinton (belakang) berpose di depan RS Lenox Hill saat menjemput cucunya yang baru lahir di New York City, 20 Juni 2016. REUTERS/Brendan McDermid

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hillary, Trump, dan Nasib Timur Tengah

Beberapa kali Trump mengkritik kebijakan luar negeri Hillary (dan Obama) di Timur Tengah semasa Hillary masih menjabat Menteri Luar Negeri AS.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Muhammad Ja'far

Ketua Pusat Studi Hubungan Indonesia-Timur Tengah


Hillary Clinton dipastikan maju sebagai calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Di seberang sana telah menunggu dengan tidak sabar Donald Trump, calon dari Partai Republik. Hasil pemilihan umum negeri itu nanti juga akan menentukan masa depan peta jalan politik luar negeri AS di Timur Tengah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari perseteruan kedua calon selama ini, tampak sekali bahwa Hillary dan Trump mewakili dua kutub ekstrem mazhab politik di Negeri Abang Sam. Seluruh tingkah polah dan pernyataan politik Trump menunjukkan dirinya berdiri di sisi paling "kanan” konservatisme politik AS. Sedangkan Hillary sebaliknya: menunjukkan sisi paling "tengah” dari kemoderatan perpolitikan AS.

Beberapa kali Trump mengkritik kebijakan luar negeri Hillary (dan Obama) di Timur Tengah semasa Hillary masih menjabat Menteri Luar Negeri AS. Dalam kampanye terakhirnya di Mississippi, Trump menuduh Hillary dan Obama bertanggung jawab atas meningkatnya kemampuan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Menurut Trump, Hillary dan Obama tidak memperhatikan seruan untuk menyita aset minyak yang dikendalikan ISIS, tapi justru mengizinkan kelompok teror itu untuk mencapai kesejahteraan. "Hillary dan Obama telah menciptakan ISIS,” kata Trump. ”Menciptakan” ini mengacu pada lembeknya kebijakan politik luar negeri Obama menghadapi ISIS, sehingga memberikan peluang kepada kelompok itu untuk berkembang. ISIS memanfaatkan pasar minyak gelap untuk mendanai gerakan mereka.

Partai Demokrat dan Hillary memang lebih yakin jalur moderasi politik sebagai solusi atas ekstremisme ISIS ketimbang pendekatan politik militeristik. Menurut Hillary, dengan sikap ekstremnya, Trump-lah yang justru secara tidak sadar dan tidak langsung menjadi "perekrut terbaik” anggota ISIS. Sikap dan visi politik ekstrem Trump dianggap bisa memicu reaksi ekstrem dari kelompok-kelompok militan. Ekstremisme Trump, bagi Hillary, berpotensi menjadi ladang subur tumbuhnya radikalisme berbasis keagamaan.

Pernyataan Obama juga menunjukkan filosofi yang sama. Menurut dia, ISIS muncul sebagai konsekuensi yang tak diinginkan dari kebijakan invasi pendahulunya, George W. Bush, yang diusung Partai Republik, ke Irak pada 2003. ISIS merupakan pecahan Al-Qaidah di Irak yang, jika tidak diinvasi oleh Bush, besar kemungkinan tidak akan lahir sebagai metamorfosis tersendiri.

”Karena itu, kita harus me miliki tujuan sebelum kita ‘menembak',” kata Obama.

Bagi Obama, moderatisme politik adalah langkah efektif untuk memutus lingkaran setan kekerasan berbasis politik dan agama. Obama memutuskan menarik pasukan AS dari Irak pada 2011.

Namun trauma rakyat AS terhadap terorisme yang diikuti Islamofobia dan persepsi negatif terhadap Timur Tengah dikapitalisasi oleh Trump sebagai modal membangun kepercayaan publik terhadap pendekatan politik konservatifnya. Ada tiga kebijakan terkait dengan Islam yang diiming-imingi Trump: (1) Trump akan melarang muslim datang ke AS. (2) Muslim akan diberi tanda pengenal kependudukan khusus untuk memudahkan pengawasan. (3) Trump hendak menutup masjidmasjid guna mengantisipasi agitasi dan indoktrinisasi kekerasan berbasis agama. Atas janji-janji ekstrem itu, Obama menuding Trump sedang mengeksploitasi kemarahan dan ketakutan kelas pekerja AS dalam situasi ekonomi yang tidak kondusif seperti saat ini.

Selain terorisme, Trump menyinggung isu senjata nuklir, salah satu prestasi dari moderatisme politik Obama. Trump melempar gagasan agar negara-negara lain juga diberi keleluasaan untuk memiliki senjata nuklir. Ini tantangan terhadap visi politik Partai Demokrat yang selama di bawah kepemimpinan Obama intensif menjalankan proyek perlucutan senjata nuklir. Suksesnya perundingan nuklir dengan Iran merupakan salah satu pencapaian Obama di Timur Tengah. Keberhasilan ini menjadi salah satu "jualan seksi” Partai Demokrat tentang efektifnya pendekatan moderat-dialogis dibanding konservatif-konfrontatif di Timur Tengah. Tapi Trump sepertinya ingin merontokkan citra positif itu dengan menyulut gagasan sebaliknya.

Isu terakhir yang men jadi strategi Trump mengelola trauma publik AS adalah soal imigran. Trump mengatakan akan mengusir pulang para imigran. Meski ditujukan bagi imigran dari Amerika Latin, pernyataan ini berkorelasi dengan trauma sebagian masyarakat AS terhadap masalah imigran asal Timur Tengah. Mereka merasa terancam secara sosial-ekonomi-keamanan dengan keberadaan para imigran. Trump hendak memanfaatkan psikologi politik ini. Apalagi, saat ini politik Eropa memang sedang bergerak ke haluan "kanan”, dengan isu imigran sebagai salah satu pemicunya.

Jika pada akhirnya rakyat AS memilih Trump sebagai presiden, akan terjadi perubahan haluan yang cukup signifikan pada peta jalan politik luar negeri Gedung Putih di Timur Tengah. Konfigurasi relasi politik AS dengan beberapa negara Timur Tengah berpeluang berubah. Misalnya, membaiknya hubungan Washington-Teheran bisa kembali tegang jika Trump nantinya tidak melanjutkan komitmen moderasi politik yang telah disepakati kedua negara. Sebaliknya, hubungan Washington-Riyadh dan Washington-Tel Aviv berpeluang pulih kembali, setelah selama di bawah Obama mengalami degradasi. Jika ini terjadi, tentu akan berimbas pada kelanjutan penanganan beberapa konflik yang belum rampung, seperti masalah di Suriah, Yaman, dan Afganistan.

Sebaliknya, jika rakyat AS memilih Hillary sebagai presiden, cetak biru moderatisme politik yang dirintis Obama dalam 10 tahun terakhir akan dilanjutkan. Hubungan AS-Iran akan terus positif. Perundingan damai di Suriah, Yaman, dan Afganistan akan semakin konstruktif. Jadi, siapa yang akan dipilih rakyat AS?

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler