Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Aneh, juga menyakitkan melihat bagian dari the rich and famous yang selalu menyita perhatian publik dan hidupnya teramat berkecukupan itu masih melakukan kecurangan.
Betapa berat beban Amerika Serikat menghadapi kelakuan Israel yang belakangan ini bukan saja semakin nakal, tapi sudah kriminal. Fanatik membela Israel dengan bantuan militer dan diplomatik yang tak kepalang tanggung telah membuat adikuasa tersebut terasingkan dari kemanusiaan, keadilan, bahkan dari rakyatnya sendiri.
Salah satu misteri hidup belakangan ini adalah korupsi. Koruptor serupa tukang sulap. Pesulap pandai memindahkan koin dari saku seorang penonton ke saku penonton lain. Kalau koruptor mahir memindahkan dana publik, dana negara atau perusahaan ke dalam tabungan pribadi. Dan semua itu dilakukan secara instan, cukup dengan simsalabim. Jarak antara keinginan dan terwujudnya keinginan demikian dekat, hanya dalam hitungan detik.
Pada Mei 1998 Presiden Soeharto meletakkan jabatan setelah 32 tahun berkuasa. Ironisnya, hingga 25 tahun berselang, politik dinasti bukan saja tak ikut berhenti, tapi kian menjadi-jadi, baik di dataran eksekutif maupun legislatif. Mengapa faktor keluarga ikut cawe-cawe dalam pengambilan keputusan di negeri ini?
Ludwig van Beethoven, memang bukan si anak ajaib Wolfgang Amadeus Mozart yang di usia empat tahun mahir memainkan piano, menggesek biola, membaca partitur tanpa salah, menggubah konserto untuk piano, dan tak lama kemudian menulis komposisi simfoni. Namun Beethoven menawarkan sebuah karya yang istimewa kepada segenap umat manusia: Symphony no 9 in D minor.
Melalui mesin propagandanya, Israel sibuk membumihanguskan citra Hamas, kelompok Palestina yang telah mengejutkan Israel dengan serangan tak terduga di hari Yom Kippur, 7 Oktober. Termasuk mengerahkan buzzer di Indonesia untuk merekatkan citra negatif terhadap Hamas – menurut pengakuan PM Benjamin Netanyahu.
Hantaman pertama datang setelah sang suami yang baru saja ngarak bersama grup marawisnya di Bekasi, pulang tinggal nama. Mereka yang bermain bersama Bakar waktu itu mengatakan hanya menyaksikan tiba-tiba kepala sang maestro terkulai usai membawakan dua buah lagu. Aneh sekali, menyambut kedatangan jenazah suaminya malam itu, di bawah tatapan mata anak-anak, engkong, dan para tetangganya, Nyak bergerak bagaikan kupu-kupu yang sangat lincah, dan tak setetes pun air matanya jatuh dari matanya yang cekung.
Jakarta, kota ini memang tidak dibangun untuk orang-orang yang kalah dan suka memandang masa lalu dengan nostalgia. Jika penyair Sitor Situmorang mengenang kota Paris dengan kalimat “di udara dingin sejarah mengaum”, Wak Lihun senang mengingat-ingat bagian kota ini dengan sederhana.
Lantaran pengawasan melalui jalur udara semakin ketat, sebagian penyelundup mengalihkan perhatian ke perairan Indonesia yang luas tapi miskin patroli.