x

Foto Ilustrasi pintu Menuju Kerajaan Surga

Iklan

idrus f shahab

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 6 Agustus 2023 14:14 WIB

Marawis

Hantaman pertama datang setelah sang suami yang baru saja ngarak bersama grup marawisnya di Bekasi, pulang tinggal nama. Mereka yang bermain bersama Bakar waktu itu mengatakan hanya menyaksikan tiba-tiba kepala sang maestro terkulai usai membawakan dua buah lagu. Aneh sekali, menyambut kedatangan jenazah suaminya malam itu, di bawah tatapan mata anak-anak, engkong, dan para tetangganya, Nyak bergerak bagaikan kupu-kupu yang sangat lincah, dan tak setetes pun air matanya jatuh dari matanya yang cekung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Marawis

 

DI bilangan Condet, Jakarta Timur, ada marawis yang berbunyi sendiri. Tiada yang tahu secara pasti kapan gendang-gendang pipih beraneka ukuran itu akan berbunyi, kecuali seorang perempuan tua: Nyak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memandang deretan marawis yang ditata rapih di dinding rumahnya yang berkapur putih, Nyak menghela napas panjang. Cinta, pernikahan, beranak, membesarkan -mengawinkan anak, lantas mati; begitulah siklus yang ditempuh setiap orang. Kendati, pengalaman hidup masing-masing memang berbeda. Nyak sendiri misalnya menemukan cinta setelah perkawinannya dengan Bakar memasuki tahun ke tiga, setelah anak ketiga, dari delapan buah cinta mereka, lahir di tangan Bu Marni, bidan tetangga mereka.

Nyak ketemu babe lu di puade,” kata perempuan tua itu mengenang, sembari meludahkan cairan daun sirih, pinang, kapur, dan daun saga yang telah dilumat-dikunyah di mulutnya yang merah ke dalam tempolong. Perempuan tegar berkulit kuning tembaga ini mencatat—lebih tepat memahat—ingatannya tentang sang suami dan rumah tangga mereka dengan akurasi yang tinggi.

Hantaman pertama datang setelah sang suami yang baru saja ngarak bersama grup marawisnya di Bekasi, pulang tinggal nama. Umang, Asan, dan Usin yang kebetulan bermain bersama Bakar waktu itu, mengatakan bahwa mereka hanya menyaksikan tiba-tiba kepala sang maestro terkulai usai membawakan dua buah lagu. Aneh sekali, menyambut kedatangan jenazah suaminya malam itu, di bawah tatapan mata anak-anak, engkong, dan para tetangganya, Nyak bergerak bagaikan kupu-kupu yang sangat lincah, dan tak setetes pun air matanya jatuh dari matanya yang cekung.

Terus terang aje, Nyak ngerase, Nyak lagi bantuin die siap-siap pulang ke rumahnye. Die sendiri ade di samping Nyak terus, ngintilin Nyak kayak bayangan,” ujarnya, bercerita tentang kejadian malam itu. Jadi, Nyak hanya melakukan apa yang harus dilakukan: menyelenggarakan upacara perpisahan dengan jasad sang suami. Namun, apa yang diam-diam tertimbun di dadanya kemudian tak terbendung lagi, tatkala Nyak menyadari ada “sesuatu” yang ikut tenggelam manakala jenazah sang suami perlahan masuk ke liang lahat. Kini rasa kehilangan yang amat sangat, juga rasa kesepian itu memukulnya bagaikan gelombang laut di musim penghujan. Bergulung-gulung.

Dunia Nyak semakin sepi, sempit, terisolasi. Hantaman kedua terjadi tatkala anak-anak yang telah berumahtangga satu per satru meninggalkannya. Ini terjadi tidak lama setelah seorang pengembang, ketua RT, dan camat setempat mampir hampir setiap hari ke rumah mereka. Nyak nyaris berteriak ketika setiap anak kemudian mengutarakan pertanyaan yang sama: di mana mendiang suaminya telah menyimpan sertifikat rumah dan sertifikat tanah mereka. Duh, menyakitkan sekali.    

Kalau ada yang Abu Bakar dan Nyak dapat banggakan selama ini, itulah daya tahan mereka yang luar biasa manakala menghadapi iming-iming uang dan intimidasi dari si pengembang. Nyak menyaksikan bagaimana harga diri suaminya tersulut ketika  pengembang yang tak tahu malu itu mengirimkan sejumlah preman guna meruntuhkan mentalnya. Hidung Nyak mekar, bangga melihat seniman marawis yang sudah berambut putih itu mengaum dahsyat, seraya memasang kuda-kuda yang kokoh sambil mengacungkan golok pusaka kepada sekitar sepuluh pemuda bertato dan berotot gempal.  

          Namun, sekarang dunia berubah. Halaman luas yang menjadi arena pertarungan Bakar vs para preman itu sudah menjadi lokasi parkir sebuah apartemen megah. Rumah mereka, sebuah rumah bapang kecil berpagar hijau-berdinding putih dengan halaman yang ditumbuhi pohon kecapi, duku, buni, dan sawo—di samping pisang dan pepaya—hanya cerita dari masa lalu. Karena lahan luas di kanan, kiri, dan belakang sudah berganti pemilik. Rumah mungil mereka terjepit di antara dinding-dinding tetangganya yang tinggi, terisolir, bahkan dari cahaya matahari pagi. 

Lama sekali Nyak tidak memaafkan kelakuan anak-anaknya yang sudah berkhianat terhadap perjuangan keluarga dan orang tua mereka, sampai akhirnya sebuah suara beserta tepukan hajir-marawis yang benar-benar bukan permainan sembarangan terdengar. Mula-mula perlahan, seperti terbawa semilir angin, tapi makin lama makin jelas siapa yang menyanyi dan membawakan Syarrul-Leil itu.

Nyak, hatinya bergemuruh, serasa hendak berjingkrak-jingkrak mendengar lagu yang menyimpan terlalu banyak cerita itu. Syarrul-Leil bisa dikatakan lagu cinta Nyak dan almarhum suaminya. Berdandan sekedarnya, berpakaian sebaik mungkin, di bawah deretan marawis di dinding, setiap hari Nyak menunggu dan terus menunggu kedatangan “tamu” yang teramat istimewa itu. Satu hari, dua hari, sebulan, dua bulan, bahkan setahun setengah, suara yang dinanti tak kunjung terdengar.   

Perempuan perkasa itu kini terlompat dari nostalgia panjang yang telah menyeretnya ke dalam lubang yang begitu dalam. Ya, cinta telah menerbangkan angan-angannya jauh sekali, sangat jauh: baik ke masa lalu maupun masa depan. Tapi cinta pula yang sekarang telah menyadarkannya akan realita hidup yang keras dan harus dilalui seorang diri.

“Kalo Abang masih di sini, adek mau bikin Abang bangga,” bisiknya perlahan.  

Dalam tempo tak kurang dari dua bulan, Nyak telah menjelma menjadi hampir segalanya yang dapat dia lakukan: menjadi tukang gado-gado, nasi uduk dan nasi ulam, menjadi tukang pijit yang bisa diundang ke rumah, bahkan masih dapat mengajar anak-anak mengaji selepas isya—yang terakhir ini persis seperti yang dilakukan oleh mendiang suami bila ngarak lagi sepi order.

Rumah Betawi kecil dan sepi yang terjepit di antara aneka bangunan modern itu bersinar lagi. Terutama setelah anak-anak kampung di tengah kota mulai berduyun-duyun mendatanginya. Berkopiah dan bermukena, dengan Al-Qur’an besar di tangan, anak-anak kencur yang masih duduk di sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah itu mengunjungi ustazah baru yang pintar mengaji dan bercerita itu.

Di luar sana, malam semakin pekat, tapi anak-anak yang sudah lelah mendaras Al-Qur’an dan salat berjamaah itu rupa-rupanya tidak hendak beringsut dari kedudukannya. Tentu anak-anak kampung itu tidak sanggup mengunyah-mencerna semua kata-kata gurunya. Tapi “musik” yang juga hadir di antara cerita sang ustazah tentang 25 Nabi dan Rasul telah menghanyutkan mereka. Nyak rupanya tahu sekali cara bercerita yang baik.

Tubuh Nyak lelah bukan kepalang, tapi kegembiraannya serasa lengkap, sempurna. Lebih-lebih jika Nyak membayangkan mendiang suaminya mengamatinya sambil tersenyum. Kegembiraan yang kemudian terusik dengan kedatangan kembali anak-anaknya. Masing-masing anak menyampaikan riwayatnya yang getir lantaran kondisi keuangan yang tak tertahankan. Semua kisah menguras air matanya, namun yang sulit dipahami adalah mereka membujuk perempuan tua itu pindah rumah ke pinggiran kota, di mana sumur masih menghasilkan air jernih, rumah dengan pekarangan ditumbuhi pohon rambutan, mangga dan kecapi, empang dengan ikan mas dan mujair, dan banyak lagi.

Nyak terdiam lama, lama sekali, sebelum akhirnya penglihatannya gelap, lalu tubuh perempuan yang letih itu rebah di lantai. Samar-samar Nyak melihat anak-anak berhamburan menghampirinya, kemudian saling menyalahkan dan menista dengan kata-kata yang nyaris tidak pernah diucapkan oleh penghuni rumah itu sebelumnya. Dunia di hadapannya berputar lebih cepat, kepalanya terasa berat sekali. Namun, ada sesuatu yang memancing perhatiannya. Suara itu, musik yang sangat dikenali itu, Syarrul-Lel, kembali muncul, makin lama makin jelas. Ya, Bakar kembali muncul di saat Nyak benar-benar terkepung, didesak dari segala penjuru, dengan lagu cinta mereka berdua.

Nyak terlonjak girang, hidungnya mekar. Kesan pertamanya: rasa rindu yang selama ini tersimpan dalam-dalam rupanya tidak bertepuk sebelah tangan. Namun Bakar tidak menjemput Nyak pergi ke suatu tempat yang jauh di luar sana. Nyak harus melanjutkan hidup, menjual gado-gado, nasi uduk dan nasi ulam, serta mengajar mengaji. Sendirian.

Apa pun, yang jelas sekarang Nyak sudah mengambil keputusan bulat: dia tidak akan pernah menjual rumah itu. Karena, itulah rumah cinta. (Idrus F Shahab)

Ikuti tulisan menarik idrus f shahab lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler