x

Kota Jakarta. Foto: Tulus Wijanarko

Iklan

idrus f shahab

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 23 Juni 2023 06:35 WIB

Wak Lihun, Pedestrian di Tengah Kota

Jakarta, kota ini memang tidak dibangun untuk orang-orang yang kalah dan suka memandang masa lalu dengan nostalgia. Jika penyair Sitor Situmorang mengenang kota Paris dengan kalimat “di udara dingin sejarah mengaum”, Wak Lihun senang mengingat-ingat bagian kota ini dengan sederhana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selepas salat isya, Wak Lihun terpaku di tepi jalan. Di hadapannya terbentang zebra cross dengan warna putih yang pudar. Tapi hatinya mengkerut-kuncup, tidak percaya pada korneanya yang butek dan tengah menunggu operasi katarak gratis yang dijanjikan habis lebaran Haji tahun ini. Telinganya yang tajam menangkap, jalan itu mengaum dahsyat: semua kendaraan bermotor melintas sambil tancap gas.

Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit Wak lihun berdiri mematung di pinggir jalan, sampai akhirnya seorang lelaki tak dikenal yang berperawakan kekar muncul dari kegelapan, tersenyum kepadanya, mengajaknya menyeberang bersama. Malaikatkah ia? Yang jelas, menyeberang jalan raya di Jakarta membutuhkan keberanian luar biasa—lebih tepat lagi, kenekatan, seperti yang dimiliki lelaki misterius itu.

Begitu lampu lalu lintas yang jaraknya sekitar seratus meter dari tempat Wak lihun berdiri itu bersinar hijau, para penyeberang serta-merta harus menghadapi barisan berani mati: sejumlah sepeda motor melesat bagai puluhan anak panah dilepas dari busurnya, menerjang, menyapu apa saja yang berani menghadang di depannya. Mereka barisan penyapu ranjau yang seakan-akan berfungsi membersihkan jalan bagi kendaraan beroda empat yang juga bergerak dengan kecepatan tinggi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di jalan raya, doktrin darwinisme sosial survival of the fittest menjulang seperti Monumen Nasional, dengan para pejalan kaki-penyeberang jalan sebagai spesies terlemah yang kalah kuat-kalah cepat dibanding kendaraan-kendaraan itu. Di mata spesies yang nyaris punah ini, sepeda motor dan mobil sama saja: selalu bahu-membahu mendominasi setiap titik di atas aspal hitam itu.

Kalau sepeda motor itu seperti laskar penyapu ranjau, mobil merupakan pasukan utama yang senantiasa siap membersihkan mereka dari muka bumi. Berbeda dengan para pejalan kaki-penyeberang jalan yang kerap melambangkan kelambanan gerak, kendaraan bermotor merupakan pertanda agresivitas sekaligus progres. Ya, dalam “rantai makanan” di jalan raya, terpeta sebuah hierarki—dengan Metro Mini, si bongsor predator utama pada puncaknya, dan para penyeberang pada kaki piramida ini.

Jakarta, kota ini memang tidak dibangun untuk orang-orang yang kalah dan suka memandang masa lalu dengan nostalgia. Jika penyair Sitor Situmorang mengenang kota Paris dengan kalimat “di udara dingin sejarah mengaum”, Wak Lihun senang mengingat-ingat bagian kota ini dengan sederhana. Sekitar seratus meter dari rumahnya, lapangan sepak bola tempat Wak lihun kecil bermain bola dan layang-layang telah menjadi kompleks mal yang ramai, kebun karet telah menjadi barisan apartemen, dan sepasang empang besar di belakangnya kini telah ditutup dan menjadi lahan parkir luas beraspal.

Dalam kenangannya yang semakin ketinggalan zaman itu, kita dapat menangkap apa yang disampaikan oleh novelis eksistensialis albert Camus dalam risalahnya “Sebuah Petunjuk untuk Kota-kota tanpa Masa Lalu”. Jakarta begitu cepat meninggalkan masa lalu. Terakhir, Wak Lihun melihat lingkungan rumahnya seperti disulap jadi ruang terbuka pameran poster-poster orang asing, dengan lambang dan bendera partai pendukungnya. Orang-orang asing, tanpa sejarah, datang menawarkan sejumlah janji: memperbaiki lingkungan, iklim usaha, layanan kesehatan, dan lain-lain. aneh. Jakarta semakin kompleks dan luas, tapi ruang gerak Wak Lihun menyempit.

Malam berikutnya, Wak lihun kembali terpaku di tepi jalan. Di depan zebra cross, menunggu seseorang yang tersenyum lalu mengajaknya menyeberang bersama. Malaikatkah ia? Atau sekadar harapan?

Ikuti tulisan menarik idrus f shahab lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

15 jam lalu

Terpopuler