x

Iklan

haidaroh Daru

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terminal Jabatan

Esai ini merupakan ulasan dari gagasan saya terkait kasus jual beli jabatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Oleh Haidaroh

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

        Pada 6 Januari 2017 saya terbang ke Singapura bersama para guru SMP yang berasal dari Bandung untuk mengikuti kegiatan travel writing. Di sana, kami mengunjungi berbagai tempat menarik yang menyimpan nilai estetik dan bercita seni tinggi, salah satunya adalah terminal Clementi. Jika dari Changi Airport, gunakanlah mode transfortasi MRT menuju Stasiun Tanah Merah, lalu naik lagi menuju jurusan Joo koon. Setelah melewati sekira 18 stasiun, maka kamu sudah sampai di Clementi.

Terminal, mungkin bagi sebagian besar kita membayangkan sebuah tempat yang penuh dengan angkutan umum yang berebut penumpang lengkap dengan asap kenalpot menghiasinya. Yah, memang itulah hal yang identik dengan terminal di negeri kita. Berbeda dengan Singapura atau negara maju lainnya, Terminal Clementi memiliki system dan tata kelola transfortasi yang teratur. Selain itu, tentu estetika dari bangunan dan sarana prasarananya menjadi nilai tambah tersendiri.

Sebuah bangunan gedung berbentuk kubus menjulang ke langit, di bawahnya terdapat lorong dua jalur untuk bus-bus menurunkan penumpang. Setiap pintu pemberhentian selalu tertera nomor dari setiap kota tujuan yang akan dinaiki penumpang, bus pun berhenti sesuai dengan wilayah tujuan masing-masing. Di sini kita tidak akan menemukan bus-bus yang reyot, bus-bus yang saling berebut penumpang, tukang asongan, atau pengamen jalanan. Semua tertata rapih sesuai dengan jalur, kepentingan, serta tujuan masing-masing.

Penulis pernah mendengar sebuah ungkapan dari seorang kawan yang mengatakan bahwa Terminal adalah wajah dari baik atau buruknya suatu kota. Artinya, jika kondisi terminal semrawut, maka keadaan masyarakat maupun tata kelola kota tak jauh berbeda, begitu juga dengan system pemerintahannya. Dan pada kenyataannya, banyak terminal-terminal di berbagai wilayah di Indonesia yang sangat jauh dari kata baik, rapih dan bersih. Hal ini kemudian mengingatkan kita pada fenomena yang kini sedang terjadi di negeri ini. Permainan jual beli jabatan di pemerintahan seakan menjadi gurita yang terkena penyakit menular sehingga keberadaannya ditakuti oleh penghuni lautan.

Jual beli jabatan sebenarnya sudah terjadi sejak lama di hampir 90 persen wilayah di Indonesia, puncaknya ketika bupati Klaten Sri Hartini yang tersandung kasus serupa dan telah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK, kemudian dilakukan operasi tangkap tangan pada 30 Desember 2016. Jual-beli jabatan merupakan penyakit yang sangat parah menggerogoti tubuh bangsa ini. Pasalnya, temuan Komisi Aparatur Sipil Negara yang menaksir duit jual-beli jabatan di hampir semua pemerintahan daerah mencapai Rp. 35 triliun. (Koran Tempo, 18 Januari 2017).

Jika kita ibaratkan sebuah terminal, bangsa ini adalah terminal yang sangat kacau dan semrawut. Tak ada lagi peraturan dan rambu-rambu lalu lintas yang dipedulikan sehingga kendaraan tujuan manapun bebas beroperasi di terminal ini. Kasus jual-beli jabatan menjadi semacam gambaran nyata dari buruknya system pelelangan jabatan di negeri ini. Sama halnya dengan bus-bus yang menanti penumpang di jalur yang bukan arah tujuannya, meskipun sudah tertera plang bertuliskan kota tujuan, namun bus tetap saja nangkring seenaknya. Hal inilah kemudian yang menimbulkan kebingunganan bagi penumpang. Dan inilah yang terjadi di negara kita, para calon pembeli jabatan yang tidak kompeten dengan jabatan yang akan ia beli, seenaknya membayar sebuah kursi untuk memimpin bidang yang bukan merupakan dasar keilmuan atau keahliannya.

Fenomena ini menimbulkan kesan bahwa bukan persoalan kompetensi yang menjadi tolok ukur dari sebuah kursi kepemimpinan, tapi persoalan seberapa besar uang yang harus ia bayar untuk mendapatkan jabatannya. Jika sudah begini, maka peluang tindakan korupsi terbuka lebar untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan. Dan pada akhirnya, system pemerintahan yang buruk akibat dampak dari jual-beli jabatan ini membuat masyarakat bingung dalam menentukan arah dan tujuan hidupnya.

Revolusi system untuk masa depan bangsa

Sudah seharusnya kita berbenah diri, 71 tahun bukanlah waktu yang sedikit bagi bangsa ini untuk menuju kedigjayaan sebuah negara yang erat memegang janji serta jasa para pahlawannya. Singapura dengan stasiun Clementi-nya tentu melakukan proses kerja keras dalam pembentukan sebuah system yang kuat dan ditaati oleh warganya, begitu pun seharusnya dengan kita. Dengan berlandaskan pancasila dan UUD 45, seharusnya orang-orang yang haus akan jabatan merasa malu pada sejarah kelam bangsa ini. Tindakan jual-beli jabatan atau tindakan korupsi lainnya, seharusnya menjadi aib bagi mereka yang terlibat.

Dengan terjadinya fenomena ini, maka yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya revolusi mental, tapi juga revolusi system yang lebih teratur serta transfaran dalam mengatur setiap bidang kepemimpinan. Dalam sebuah berita utama koran Tempo edisi 18 Januari 2017, tertulis bahwa sejumlah provinsi rawan korupsi membenahi system perekrutan pejabat untuk menghilangkan praktek jual-beli jabatan. Beberapa daerah tersebut yaitu jawa tengah, Bengkulu dan Sulawesi Tengah. Tentu kita semua berharap bahwa pemimpin yang akan datang di semua daerah juga melakukan hal yang sama demi perbaikan kualitas kepemimpinan dalam sebuah jabatan pemerintahan. Semoga!

 

Penulis adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten.

Photo from google

 

Nama: Haidaroh

 

Pendidikan Terahir: Mahasiswa

 

Kontak: 089679549596

 

 

Ikuti tulisan menarik haidaroh Daru lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB