x

Iklan

Reza Syawawi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korupsi dan Lingkup Korporasi ~ Reza Syawawi

Semangat menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana harus dilihat bagaimana desain pencegahan yang bisa dilakukan oleh korporasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Reza Syawawi

Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Pemidanaan terhadap korporasi kembali menjadi perhatian penegak hukum setelah lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Tapi ruang lingkup korporasi seharusnya tidak dibatasi dalam definisi sempit sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan usaha. Secara normatif, ruang lingkup korporasi mencakup kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik berbadan hukum maupun tidak (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

R. Wiyono (2012) mengklasifikasikan definisi korporasi dalam UU Tipikor menjadi enam jenis, yaitu (i) kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum, (ii) kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi yang bukan berbentuk badan hukum, (iii) kumpulan orang yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum, (iv) kumpulan orang yang terorganisasi yang tidak berbentuk badan hukum, (v) kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum, dan (vi) kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang tidak berbentuk badan hukum.

Jika disandingkan dengan ketentuan yang lebih baru, ruang lingkup korporasi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga mengadopsi definisi yang diatur dalam UU Tipikor. Maka, pengertian korporasi akan menjangkau pihak-pihak yang tidak hanya berstatus perusahaan, tapi juga entitas lainnya, seperti partai politik dan organisasi kemasyarakatan.

Sayangnya, peraturan MA tersebut lebih banyak menyentuh korporasi dalam pengertian perusahaan. Maka, penegak hukum perlu melakukan penyesuaian.

UU Tipikor membatasi pemberian sanksi terhadap korporasi, baik pidana pokok maupun tambahan. Dalam pidana pokok, korporasi hanya bisa dikenai denda. Adapun sanksi pidana tambahannya adalah perampasan barang (termasuk perusahaan), pembayaran uang pengganti, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun, dan pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak atau keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah.

Semangat menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana harus dilihat dalam perspektif yang berbeda, yaitu bagaimana desain pencegahan yang bisa dilakukan oleh korporasi. Peraturan MA memang dirancang sebagai panduan da_lam mempidanakan korporasi, namun ada dimensi pencegahan yang patut dicermati.

Pasal 4 ayat 2 peraturan itu menyebutkan bahwa, dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi dalam beberapa hal, termasuk apabila korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan.

Peraturan ini memberikan pesan yang kuat bagaimana meminimalkan potensi korporasi dijerat secara pidana. Pertama, pentingnya kebijakan dan tindakan pencegahan yang ditujukan untuk mengawasi area internal korporasi. Kedua, jika sistem pencegahan ini didesain oleh korporasi, setidaknya unsur kesalahan korporasi dapat diminimalkan.

Sistem pencegahan korupsi di area internal korporasi perlu distandarkan oleh institusi negara, yakni pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK tentu saja dikaitkan dengan fungsi pencegahan dan pihak yang dapat menindak korporasi.

Ikuti tulisan menarik Reza Syawawi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler