Mengikis Stigma dan Menguatkan Kesadaran Kesehatan Mental di Indonesia
1 jam lalu
Di tengah derasnya arus modernisasi serta percepatan teknologi, wacana publik masih cenderung menempatkan kesehatan fisik sebagai prioritas utam
***
Wacana ini ditulis oleh Nurma Handayani, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Di tengah derasnya arus modernisasi serta percepatan teknologi, wacana publik masih cenderung menempatkan kesehatan fisik sebagai prioritas utama, sementara kesehatan mental kerap terabaikan. Padahal, kesehatan mental merupakan fondasi esensial bagi kualitas hidup yang utuh. Realitas sosial memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat masih mengasosiasikan gangguan mental dengan label negatif seperti “gila” atau “tidak waras.” Stigma ini menjerat individu yang mengalami kesulitan, mendorong mereka memilih diam, menyembunyikan penderitaan, dan menunda upaya mencari pertolongan profesional.
Fenomena ini menuntut atensi serius. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat satu dari delapan orang di dunia mengalami gangguan mental. Dampak yang timbul bukan hanya berupa ketidakstabilan suasana hati, penurunan kemampuan berpikir, dan fluktuasi emosi, tetapi juga dapat berujung pada gangguan berat seperti skizofrenia, depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, psikosomatik, retardasi mental, hingga tindakan bunuh diri. Kesehatan mental yang stabil sejatinya merefleksikan kesejahteraan sosial dan emosional, yang sangat penting bagi anak-anak dan remaja untuk tumbuh sehat, membangun jejaring sosial yang kuat, beradaptasi dengan perubahan, serta menghadapi tantangan kehidupan.
Di Indonesia, problem kesehatan mental semakin nyata dengan meningkatnya prevalensi depresi, kecemasan, dan kasus bunuh diri setiap tahun. Pandemi COVID-19 memperparah kondisi ini, menimbulkan tekanan psikologis, kehilangan pekerjaan, dan trauma akibat kepergian orang tercinta. Kesehatan mental yang baik tidak hanya berarti terbebas dari gangguan jiwa, melainkan juga kemampuan mengelola emosi, menghadapi tekanan, menjaga relasi sosial yang sehat, serta berkontribusi produktif di keluarga, pekerjaan, dan masyarakat. Individu dengan kondisi mental sehat cenderung mampu mengambil keputusan arif, menunjukkan empati, serta menjaga kualitas hidup. Sebaliknya, bila masalah mental diabaikan, dampaknya meluas pada produktivitas, stabilitas hubungan, dan beban ekonomi. Seorang penderita depresi, misalnya, dapat kehilangan konsentrasi, sering absen bekerja, bahkan terancam kehilangan mata pencaharian, yang pada akhirnya merugikan diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya.
Kesehatan mental sejatinya sama pentingnya dengan kesehatan fisik karena keduanya saling terkait dan membentuk satu kesatuan. Upaya menjaga ketenangan batin melalui kegiatan produktif sehari-hari menjadi bagian penting dari langkah preventif. Namun tantangan terbesar dalam penanganan isu ini adalah stigma sosial. Masih banyak yang menilai mencari bantuan psikolog atau psikiater sebagai bentuk kelemahan. Bahkan keluarga sering kali menjadi sumber tekanan tambahan, dengan menolak mengakui kondisi anak atau kerabatnya yang mengalami depresi maupun kecemasan, lalu menyarankan sekadar memperbanyak doa atau menahan diri dari banyak pikiran. Meskipun doa dan dukungan spiritual berperan penting, keduanya tidak dapat menggantikan intervensi medis atau psikologis yang dibutuhkan ketika kondisi sudah parah.
Dalam konteks ini, media massa memegang peranan strategis. Melalui pemberitaan, opini, dan edukasi, media dapat memperkuat pemahaman bahwa kesehatan mental merupakan bagian integral dari kesehatan secara keseluruhan. Jurnalis, penulis opini, maupun pakar kesehatan memiliki tanggung jawab moral untuk mengangkat isu ini secara terbuka agar stigma yang melekat perlahan terkikis. Selain itu, institusi pendidikan juga berperan vital dengan mulai memasukkan kurikulum mengenai manajemen emosi, keterampilan sosial, dan strategi menghadapi stres, sehingga generasi muda dapat tumbuh resilien dan mampu mengekspresikan perasaan tanpa takut mendapat stigma.
Namun kesadaran masyarakat tidak akan bermakna tanpa ketersediaan layanan yang memadai. Saat ini, jumlah psikiater dan psikolog klinis di Indonesia masih jauh dari cukup untuk melayani populasi yang besar. Kondisi ini mengakibatkan antrian panjang, biaya mahal, dan akses terbatas bagi banyak lapisan masyarakat. Pemerintah perlu memperkuat layanan berbasis komunitas melalui konseling gratis di puskesmas, penyediaan hotline krisis, serta pelatihan kader kesehatan agar mampu mendeteksi gejala gangguan mental sejak dini. Dengan pendekatan ini, beban sistem kesehatan formal dapat berkurang sekaligus memperluas jangkauan layanan.
Meski demikian, membangun kesadaran kesehatan mental tidak semata-mata tanggung jawab pemerintah atau media. Setiap individu memiliki peran krusial. Menjadi pendengar yang tulus bagi teman atau keluarga yang sedang tertekan adalah langkah kecil yang berdampak besar. Menghindari komentar meremehkan seperti “kamu lebay” atau “kurang bersyukur” akan membantu penderita merasa didengar. Dukungan moral sebaiknya diiringi dorongan untuk mencari bantuan profesional. Selain itu, merawat kesehatan mental diri sendiri juga fundamental. Meluangkan waktu beristirahat, berolahraga, menekuni hobi, serta membangun jejaring sosial positif adalah investasi berharga. Aktivitas sederhana seperti menulis jurnal, bermeditasi, atau berjalan di alam terbuka telah terbukti membantu mengurangi stres dan menjaga keseimbangan psikologis.
Pada akhirnya, kesehatan mental bukan hanya urusan pribadi, melainkan tanggung jawab kolektif. Indonesia membutuhkan sinergi antara masyarakat, media, institusi pendidikan, tenaga profesional, dan pemerintah untuk menegakkan kesadaran bahwa kesehatan mental adalah hak setiap warga. Dengan mengikis stigma, memperluas akses layanan, dan membangun budaya peduli, bangsa ini dapat melahirkan generasi yang lebih tangguh, penuh empati, dan produktif dalam menghadapi tantangan zaman.
Corresponding Author: Nurma Handayani (email: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler