x

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jika Anda Benar-benar Suci, Teruslah Bully Afi

Saya ingin bertanya kepada Anda, apakah benar dalam hidup, tak secuilkah punya ide dan tindakan untuk berbuat curang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini saya mulai dengan sebuah pengakuan bahwa saya pernah berbuat amat curang.

Suatu siang, puluhan tahun tahun lalu (baiklah, saya mangaku sudah tua)  almarhum bapak saya pulang dengan muka masam.  Begitu melihat saya, dengan marah bapak berujar, “kamu ini bikin malu orang tua saja. Kata gurumu, rapormu belum bisa dikasihkan karena kamu belum mengumpulkan karya tulis. Masak aku cuma dikasih selembar copyan nilaimu.” Lalu bapak meneruskan, “bikin tulisan dalam seminggu ini biar kamu terima rapor.”

Saya, sebagai remaja SMA yang setiap hari hampir gak pernah belajar dan baca buku stensilan  Enny Arrow yang diselundupkan teman-teman pria di laci meja saya, bahkan baru ngeh ada kewajiban mengumpulkan karya tulis. Pernah dengar sih dari omongan teman-teman perempuan, tapi menganggapnya sambil lalu.  Saya kembali bermain dengan teman laki-laki dan membuat keisengan di deretan kursi belakang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka, selagi teman-teman saya sudah mulai liburan, saya gedabikan bikin karya tulis. Apa yang mau saya tulis. Ikut ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja ogah. Saya lebih memilih ikut ekskul teater dan pramuka (itu pun ikut pas ada kegiatan kemping doang , sih).

Tapi ya, keculasan itu selalu datang saat ada kesempatan. Saya melihat buku milik kakak saya, petani lebah di Jepara. Buku yang teronggok di atas kasur itu berjudul  Cara Beternak Lebah. Saya  ambil mesin ketik (tuh kan, sekali lagi menunjukkan umur) dan mengetiknya ulang, plek-plek. Judul karya tulis jadi-jadian itu, “Beternak Lebah.” Selesai mengetik kurang dari seminggu,  saya pinjam sepeda motor kakak saya ke rumah wali kelas saya untuk menyerahkan ‘karya tulis’ yang dijilid sederhana.  Sambil cengar-cengir saya bilang, “pusing saya Buk, mau nulis apa. Ya udah pinjem buku punya kakak saya saja.” Tanpa banyak tanya, wali kelas menerima karya tulis jiplakan itu dan memberikan rapor asli saya.

Tulisan ini tidak bermaksud membenarkan plagiarisme atau penjiplakan karya orang lain. Bagaimanapun plagiarisme itu tak bisa dibenarkan. Saya hanya ingin mengingatkan, kita semua pernah salah, berbuat curang untuk kepentingan kita meski  amat merugikan orang lain.

Saat itu, saya tak paham plagiarisme dan konsekuensinya.  Tapi saya tahu itu curang dan sungguh tak benar, apalagi ditiru. Saya melakukannya hanya biar dapat rapor dan tak membikin malu bapak saya. Tentu saja, tindakan curang itu tidak saya ceritakan kepada bapak saya, seorang dosen Agama Islam dan Bahasa Arab di UNS. Bisa langsung membunuh Bapak saya.

Untungnya, masa remaja saya belum ada media sosial. Internet saja baru saya pahami setelah kuliah. Itupun warung internet tak sampai lima di sekitar Jalan Kaliurang, tak jauh dari kampus UGM, tempat saya kuliah. Sehingga, plagiasi yang saya lakukan itu tak menyebar dan menjadi bahan perundungan se-Indonesia.

Jadi, plagiarisme yang saya lakukan demi mendapatkan buku rapor itu tersimpan rapat di antara saya, kakak saya, dan guru saya. Tak ada perundungan di media sosial, seperti yang sekarang sedang dialami Afi Nihaya Faradisa, gadis 15 tahun di Banyuwangi, wilayah paling ujung di Jawa Timur, sekitar 1.096 kilometer dari Jakarta, pusat hingar bingar media sosial Indonesia.

Tulisan Afi di Kolom Ramadan yang tayang di Detik pada 29 Mei  2017 berjudul Pezina yang Diampuni: Belas Kasih dalam Islam ini sebelumnya ditulis di akun Facebooknya pada 25 Mei 2017. Tulisan ini ‘diduga’ menjiplak tulisan Mita Handayani, juga di akun di Facebooknya pada 30 Juni 2016 dengan judul Agama Kasih. Mita sendiri sudah mengklarifikasinya pada 1 Juni 2017. Ia membenarkan pernah menulis sebuah catatan ringan pada Ramadan tahun lalu.

Mita pun membenarkan banyak tulisan dia yang disalin dan diproduksi ulang. Ia tak pernah menganggap pusing hal itu. Ia pun mengaku tak mengenal dan berkomunikasi dengan Afi. “Kalau Afi merasa terinspirasi  oleh salah satu tulisanku, aku ikut merasa senang.”  Mita tak lupa meminta kepada khalayak –terutama kelompok sektarian yang merasa terusik dengan tulisan-tulisan Afi agar memaafkan gadis 15 tahun itu. Ingat, dia masih 15 tahun.

Mita memilih memaafkan Afi. Ia meminta kita semua memaafkan dia. Bahkan Mita memilih mendukung Afi.

Afi, anak pedagang cilok yang mengaku bisa menghabiskan tiga buku seminggu (ya ampun, selama 11 hari dirawat di rumah sakit tanpa kegiatan apapun, saya baru menghabiskan baca satu novel menye-menye) ini mungkin terbebani untuk selalu memberikan pelajaran moral kepada hampir 500 ribu followernya. Bom di Kampung Melayu benar-benar mengusik keimanannya ketika ISIS  mengaku bertanggung jawab atas pengeboman itu. Islam yang dia kenal itu mengajarkan perdamaian. Islam itu rahmatan lil ‘alamin. Damai. Adem.

Maka, seperti kata Mita, Afi merasa harus menulis soal Islam yang adem dan menentramkan. Ia merasa terbebani dengan ekspektasi tinggi orang yang memintanya menuliskan catatan atas kejadian itu. Ia merasa terdesak untuk bicara. Sementara Anda-anda yang usianya jauh di atas 15 tahun hanya bisa marah dan mengecam pengeboman itu. Bahkan, Anda lebih suka menyebarkan gambar tubuh korban atau menyebarkan hoax bahwa bom itu rekayasa polisi.

Ya benar, Anda boleh bilang plagiarisme itu salah. Gak ada yang menyangkal kok. Kasus ini pun jamak di perguruan tinggi dan di dunia perbukuan. Kita masih ingat Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama saat itu, Anggito Abimanyu sampai memutuskan mundur sebagai dosen Fakultas Ekonomi UGM. Ia mengakui telah mengutip kertas kerja milik mahasiswanya, Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan yang tersimpan di folder komputernya. Plagiasi itu kemudian ia tulis dalam opini di harian Kompas pada 10 Februari 2014 berjudul  "Gagasan Asuransi Bencana." Ia juga meminta maaf kepada civitas akademika UGM karena tindakannya itu telah mencoreng kampus.

Tapi ingat, plagiasi ini dilakukan oleh profesor doktor. Bukan anak usia 15 tahun. Anggito jelas menyadari, ada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Pada pasal 1 disebutkan plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.

Afi, dengan budaya literasi yang mencengangkan, tentu menyadari hal ini. Tapi, pernahkah Anda memikirkan, memang mudah anak 15 tahun mengakuinya? Dengan tekanan dan hujatan (bahkan ancaman pembunuhan untuk anak seusianya) bagaimana cara anak baru gede menyikapinya dengan bijaksana. Ia terpaksa mematikan akunnya dengan follower nyaris 500 ribu orang. Mungkin gampang buat Anda yang followernya gak sampai 1000 orang. Bikin lagi aja. Sementara Afi, dengan stempel plagiator dan lebih gila lagi menistakan agamanya sendiri, mudahkah ia menghilangkan semua itu? Gak gampang, bro. Ia harus memulai lagi dengan ketidakpercayaan banyak pihak dan tekanan yang besar.

Mari kita posisikan diri seusia Afi. Dalam usia 15 tahun, Afi sudah menulis tulisan-tulisan berat. Mana tulisan Anda? Saya? Saat umur 15, saya nongkrong di kosan teman perempuan saya dan membaca Gadis atau cekikikan dengan teman-teman pria membahas seksualitas. Bahkan lebih gila lagi, bermain puzzle, oh lebih tepatnya, gambar posisi orang bercinta yang dipotong-potong lalu disambung kembali.

Saat SMP, Afi mengaku sudah membaca buku Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis dalam studi psikologi. Soal apakah ini sekadar klaim atau benar adanya, coba ingat apa yang Anda lakukan saat itu. Saat SMP, sudah bagus saya mau baca buku pelajaran, koran, dan meminjam Majalah Tempo milik tetangga saya. Saat itu, adalah masa mengerikan dalam hidup saya. Saya menjadi korban bullying oleh teman-teman sekolah karena mereka belum bisa menerima ada perempuan bertindak nyeleneh dan mengutarakan suka dengan teman pria. Saya menjadi bahan tertawaan mereka. Setiap hari saya menyiapkan mental untuk bersekolah. Teman-teman kelompok belajar saya diminta menjauh dari saya atau akan ikut dibully juga. Saya selalu berusaha menahan air mata jatuh di depan mereka agar terlihat setrong. Cerita yang saya simpan rapat-rapat dari keluarga saya kalau anak bungsu mereka mengalami perundungan di sekolah. Baru masuk SMA, saya menemukan kebebasan saya.

Nah, membayangkan seusia Afi dari SMP dan SMA sulit kan? Bayangkan Anda mengalami tekanan sebengis yang diterima Afi saat ini. Ia memang salah karena telah menjiplak (hal yang sudah dibantahnya) seperti pengakuan Mita, jika itu memuaskan Anda.  Yang Afi lakukan adalah mematikan akun dan mulai menutup diri.

Saya ingin bertanya kepada Anda, apakah benar dalam hidup,   tak secuilkah punya ide dan tindakan untuk berbuat curang. Benarkah Anda benar-benar suci sehingga merasa perlu mem-bully anak 15 tahun dan membunuh kreativitas dan imajinasinya. Akankah Anda akan ikut bertanggung jawab jika si anak ini merasa tertekan dan memilih mengasingkan diri bahkan membunuh mimpi-mimpinya? Apakah Anda tak sadar, Anda juga lho yang mendorongnya lewat puja-puji dan akhirnya menjatuhkannya karena temuan 'penjiplakan' itu? Apakah Anda siap menanggung dosa bersama jika sesuatu yang buruk menimpanya lantaran tak kuat menahan beban mental? Semoga saja tidak. Semoga Afi bisa kembali ceria. Masa depannya sebagai Kartini generasi milenial sangat panjang.

Baiklah jika Anda merasa suci, teruskanlah perbuatan Anda.                                               

Tapi, di akhir tulisan ini saya ingin menukil tulisan Ayang Utriza Yakin berjudul [Buletin Jumat] Jangan Sok Suci dan Merasa Paling Benar, yang dimuat di paramadina.or.id pada 1 Juli 2016.

Beberapa tahun belakangan ini banyak gerakan yang merasa dirinya paling benar dan menyalahkan orang lain. Sangat mudah menuduh orang lain berbuat bid’ah, sesat, dan tak segan mengkafirkan orang lain hanya lantaran beda pendapat. Merasa paling benar tentu bukan akhlak terpuji. Allah berfirman:

 Jangan engkau mengganggap dirimu paling baik/suci, sesungguhnya Allah lebih mengetahui siapa orang yang paling bertakwa” (Q.S. Al-Najm [53]: 32).

Sudah sucikah Anda?

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler