Penulis lepas, seringnya berpuisi tapi juga suka bercerita. Memiliki koleksi delapan buku ber-ISBN, salah-satunya mendapatkan penghargaan dari Kemendikbudristekdikti. Sekarang masih menulis dan akan selalu begitu.

Kematian yang Tak Mereka Kenali

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kematian Cinta
Iklan

Mereka jatuh dan perlahan bunuh diri.

***

Seburuk-buruknya cara bunuh diri adalah dengan melanjutkan hidup. Kalimat itu berulang-ulang di kepalaku seperti suara yang menetes dari langit-langit yang lembap. Hidup ini bukan lagi perjalanan, melainkan sebuah pengadilan yang tak pernah mengumumkan tuduhan, tetapi terus menjatuhkan hukuman setiap hari. Aku terbangun setiap pagi hanya untuk menjalani ritual yang sama: menatap dinding yang retaknya seperti peta, menghafal kebosanan, dan menunggu sesuatu yang tak pernah tiba.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di luar sana, manusia berjalan seperti rombongan serangga yang diarahkan oleh aroma gula. Mereka berdesakan, berpakaian rapi, tertawa di antara papan-papan iklan yang berteriak tentang kebahagiaan, lalu pulang dengan wajah lebih kosong dari boneka. Mereka tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa setiap langkah mereka hanya mengantar mereka lebih dekat kepada kuburnya sendiri. Mereka menyebutnya hidup, karier, kemajuan, kesuksesan. Aku menyebutnya barisan panjang menuju liang yang sama. Kebodohan masal yang dibangun dalam bentuk kemajuan

Hidup ini setipis khawatir. Kecemasan merayap masuk seperti asap, merenggut kebahagiaan sedikit demi sedikit, hari demi hari. Aku melihat orang lain maju dalam komoditas keseragaman, menjadi poster dari iklan-iklan yang tak pernah mereka mengerti. Mereka berlomba memoles wajah, memoles tubuh, memoles citra, agar tampak berbeda padahal semakin seragam. Mereka pikir kebebasan itu di ujung puncak mercu, padahal hanya dinding lain yang lebih tinggi, lebih dingin, lebih sunyi.

Aku tak tahu mana yang lebih bijak kini: pasar atau manusia yang tunduk padanya. Pasar telah menjadi agama tanpa kitab, media sosial menjadi nabi tanpa moral. Standar manusia sejati direnggut, diganti angka, validasi, dan algoritma. Kita hidup di dalam sistem yang tidak pernah kita pilih, tetapi kita patuhi dengan patuh, seperti tawanan yang mengurung dirinya sendiri.

Tak ada yang menyelamatkan. Semua sibuk membangun wahananya sendiri, menciptakan labirin tempat mereka tersesat. Mereka melaju kencang ke puncak mercu kuasa, tetapi tak pernah sadar bahwa di atas sana hanya ada udara tipis dan kesunyian yang menusuk. Mereka jatuh mati di pemakamannya sendiri. Tidak ada iringan doa, hanya tepuk tangan singkat dan bunga plastik di atas batu dingin. Mereka mati sebagai manusia, hidup dalam kebusukan yang diatur oleh sistem, dan berakhir sebagai angka di laporan statistik.

Aku duduk diam, menulis kata-kata ini seperti seseorang yang mengirim pesan dari dasar sumur. Aku tidak tahu siapa yang akan membacanya, atau apakah itu penting. Yang kutahu hanyalah ini: kita semua telah mengubur diri kita sendiri selagi masih hidup, dan tak seorang pun yang berani menggali jalan keluar.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rama Kurnia Santosa

Rama Kurnia Santosa

4 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
Lihat semua