Praktisi ISO Management System and Compliance
Saatnya Jaminan Sosial Menyentuh Ojol, Kurir, dan Gig Worker
2 jam lalu
Jutaan ojol, kurir, dan freelancer digital bekerja tanpa jaminan sosial. Ini urgensi regulasi yang melindungi pekerja platform dari algoritma.
***
Pukul 03.17 dini hari. Hujan deras mengguyur Jakarta. Di simpang Margonda, seorang pengemudi ojek online masih menunggu pesanan sambil duduk di motor, jaket anti-air sudah basah kuyup. Ia tidak bisa pulang. Hari ini adalah hari terakhir bulan — waktu ketika bonus order harian harus tercapai, dan cicilan motor tak boleh telat.
“Kalau sekarang pulang, besok gimana bayar kontrakannya? Anak istri makan apa?” katanya pelan saat ditanya kenapa belum beranjak.
Di dunia kerja baru, ia bukan lagi sekadar “driver”. Ia adalah pekerja platform digital: bagian dari ekosistem besar yang bernilai miliaran dolar, namun hidupnya digantung di antara algoritma, rating bintang, dan tarif yang tak pernah naik.
Ia, bersama jutaan rekan kerjanya—kurir logistik, penjual UMKM di marketplace, konten kreator, pekerja lepas (freelancer) platform—adalah wajah baru dari tenaga kerja abad ke-21. Tapi sayangnya, sistem perlindungan sosial kita masih berpikir di abad ke-20.
Mencengangkan, 16 Juta Pekerja Tanpa Jaminan Kuat!
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan 2024 mencatat, dari 16,3 juta pekerja platform digital di Indonesia, hanya 12% yang terdaftar secara aktif dalam program jaminan pensiun dan kecelakaan kerja.
Sisanya? Mereka bekerja tanpa:
- Jaminan kecelakaan kerja,
- Dana pensiun,
- Cuti hamil atau sakit berbayar,
- Perlindungan dari PHK sepihak oleh algoritma.
Padahal, mereka adalah tulang punggung ekonomi digital yang tumbuh 12% per tahun (BPS, 2024). Ekosistem e-commerce, transportasi online, dan layanan pesan-antar tidak akan berjalan tanpa tenaga mereka.
Namun, status hukum mereka masih kabur. Dalam dokumen resmi, mereka sering dikategorikan sebagai "mitra", bukan "pekerja". Istilah ini membebaskan perusahaan platform dari kewajiban membayar upah minimum, memberi tunjangan, atau mendaftarkan ke BPJS.
"Kami mitra, tapi kalau rating turun, akun kami dibekukan. Kalau mogok, ada ribuan orang siap gantikan."
— Rudi, pengemudi ojol di Surabaya
Ini ironi: di satu sisi, mereka diatur ketat oleh algoritma platform; di sisi lain, mereka ditinggalkan begitu saja saat terluka, sakit, atau usia tua.
Kecelakaan, Kisah yang Terus Berulang
Cerita tragis datang dari Medan. Awal 2024, seorang driver ojol meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan saat menuju pangkalan. Ia tidak memiliki asuransi kecelakaan. Keluarganya hanya mendapat santunan Rp500 ribu dari komunitas sesama driver.
Tidak dari perusahaan. Tidak dari negara.
Di Yogyakarta, seorang kurir logistik platform dilaporkan bekerja selama 18 jam nonstop selama masa promo Harbolnas. Ia kolaps di depan gudang karena kelelahan. Setelah sembuh, ia diberhentikan dengan alasan “kinerja tidak stabil”.
Platform tidak melihat manusia di balik angka. Mereka melihat efisiensi, produktivitas, dan margin keuntungan.
Dan ketika pekerja jatuh, tidak ada jaring pengaman.
Omnibus Law dan Janji yang Belum Ditepati
Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) sempat menjanjikan perlindungan bagi pekerja sektor informal dan digital. Namun dalam implementasinya, aturan pelaksana masih ambigu.
PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perlindungan Pekerja Rentan belum menyentuh esensi utama: kepastian status hubungan kerja dan kewajiban perusahaan platform.
Beberapa negara sudah lebih maju:
- Prancis mengakui kurir makanan sebagai pekerja tetap dan berhak atas upah minimum.
- Inggris memenangkan gugatan gig worker melawan Uber, menyatakan mereka bukan "kontraktor independen", tapi "pekerja yang dilindungi hukum".
- India sedang menggodok undang-undang khusus Gig Workers Protection Act.
Sementara di Indonesia, diskusi masih terjebak pada istilah: mitra, pekerja lepas, pekerja berbasis aplikasi. Padahal, yang dibutuhkan bukan debat semantik — tapi tindakan nyata.
Solusi yang Bisa Diterapkan Sekarang
Perlindungan pekerja platform bukan hal mustahil. Berikut langkah konkret yang bisa diambil:
- Regulasi Status Pekerja Digital
Negara harus menetapkan definisi hukum jelas: siapa yang bekerja secara rutin, terikat algoritma, dan bergantung pada satu platform untuk penghasilan utama, harus dianggap sebagai pekerja yang berhak atas jaminan sosial. - Kewajiban Kontribusi dari Platform
Perusahaan platform wajib menyisihkan persentase pendapatan transaksi untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, seperti yang diterapkan di Filipina terhadap e-hailing drivers. - Dana Jaminan Sosial Khusus Gig Worker
Pemerintah dapat bekerja sama dengan platform untuk membuat skema fleksibel: premi berdasarkan jumlah order, dengan opsi proteksi dasar (kecelakaan, kematian, pensiun dini). - Perlindungan dari Algoritma yang Tidak Adil
Audit transparan terhadap sistem penilaian, pembekuan akun, dan penetapan tarif. Pekerja harus punya mekanisme banding jika dirugikan oleh keputusan otomatis. - Penguatan Serikat Digital
Dorong lahirnya serikat pekerja berbasis digital yang bisa bernegosiasi dengan platform, seperti yang dilakukan oleh Ride Drivers United di AS.
Penutup: Manusia Bukan Data
Platform digital memang revolusioner. Mereka menciptakan lapangan kerja baru, memudahkan akses layanan, dan mendorong inklusi ekonomi.
Tapi revolusi tidak boleh mengorbankan kemanusiaan.
Seorang pengemudi ojol yang bekerja 14 jam sehari demi anaknya bisa kuliah, seorang penjual bakso yang akhirnya go nasional lewat TikTok Shop, seorang desainer grafis yang hidup dari proyek lepas di Freelancer.id — mereka semua adalah pekerja. Bukan mitra abstrak. Bukan variabel dalam kode.
Mereka layak mendapat:
- Perlindungan saat jatuh,
- Jaminan saat tua,
- Harga diri saat bekerja.
Negara tidak boleh diam. Regulator harus berani. Platform harus bertanggung jawab.
Karena ekonomi digital yang adil bukan yang hanya menguntungkan pemilik modal, tapi yang juga melindungi mereka yang menjadi tulang punggungnya.
Saatnya kita lindungi pekerja platform digital — bukan hanya saat mereka online, tapi juga saat mereka offline, sakit, atau pensiun.
Karena manusia bukan data. Mereka adalah nyawa di balik layar.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler