Olahraga Bukan Hanya untuk Menjaga Kebugaran, Kawan
2 jam lalu
Olahraga dalam perspektif kesehatan bukan hanya sarana menjaga kebugaran, melainkan penyangga utama bagi kualitas hidup jangka panjang.
***
Wacana ini ditulis oleh T. Magda Chaisyara, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
“Dulu saya sering merasa mudah lelah, bahkan hanya naik tangga satu lantai sudah terengah-engah,” ujar seorang karyawan muda ketika diwawancarai tentang kebiasaan olahraganya. “Setelah rutin berlari setiap pagi selama 20 menit, saya bukan hanya lebih bugar, tetapi juga lebih tenang menghadapi tekanan pekerjaan.”
Ungkapan sederhana ini memberi gambaran bahwa olahraga bukanlah sekadar aktivitas fisik, melainkan sebuah investasi besar bagi kesehatan tubuh dan ketenangan jiwa. Namun, ironi yang mencolok adalah kenyataan bahwa di tengah semua manfaatnya, olahraga justru masih sering dikesampingkan dalam kehidupan modern.
Olahraga dalam perspektif kesehatan bukan hanya sarana menjaga kebugaran, melainkan penyangga utama bagi kualitas hidup jangka panjang. Seperti yang ditegaskan oleh Ringgana (2024), olahraga yang dilakukan secara teratur terbukti menurunkan risiko penyakit jantung, stroke, dan hipertensi. Ia membantu menjaga berat badan tetap ideal, meningkatkan daya tahan tubuh sehingga lebih tangguh melawan penyakit, serta memperbaiki suasana hati dan mengurangi stres. Tak berhenti di situ, olahraga juga menguatkan otot, memperbaiki metabolisme, dan mendukung daya ingat serta konsentrasi otak. Dengan kata lain, tubuh dan pikiran sama-sama mendapatkan nutrisi melalui gerak yang konsisten.
Meski demikian, olahraga masih sering terabaikan. Masyarakat kerap menjadikan alasan kesibukan, rasa malas, atau kurangnya motivasi sebagai penghalang. Penelitian Verury (2019) mengungkap bahwa sebagian besar orang mengaku tidak memiliki waktu untuk berolahraga, padahal lima hingga sepuluh menit aktivitas fisik sederhana sudah cukup membuat tubuh berkeringat. Orang tua, misalnya, sering beralasan repot mengurus anak, padahal waktu bermain bersama anak dapat sekaligus dijadikan momen berolahraga, seperti melempar dan menangkap bola. Bahkan di tengah tumpukan tugas, olahraga seharusnya dilihat sebagai kesempatan untuk menyegarkan pikiran, bukan sebagai beban tambahan.
Ada pula faktor lain yang menyebabkan olahraga mudah dilupakan, mulai dari kondisi kesehatan ringan, cuaca yang tidak mendukung, hingga ketiadaan motivasi. Namun, justru dalam kondisi-kondisi inilah olahraga perlu disesuaikan, bukan ditinggalkan. Latihan ringan dapat membantu pemulihan saat sakit, aktivitas dalam ruangan bisa menggantikan olahraga luar ruang saat cuaca buruk, dan membaca kembali manfaat jangka panjang olahraga dapat menjadi bahan bakar motivasi. Dengan kata lain, alasan untuk berhenti seharusnya dapat diubah menjadi peluang untuk beradaptasi.
Persoalan lupa berolahraga sebetulnya tidak bisa hanya dibebankan pada individu. Pendekatan yang lebih efektif harus bersifat sistemik dan komunal. Masyarakat perlu lingkungan yang mendukung, akses terhadap fasilitas olahraga yang mudah, serta kebijakan yang mendorong terbentuknya kebiasaan sehat. Wiguna (2024) menekankan pentingnya promosi kesehatan melalui strategi ABG: advokasi, bina suasana, dan gerakan pemberdayaan. Misalnya, pemerintah daerah dapat menyediakan jalur sepeda, trek lari di taman kota, atau alat kebugaran di ruang publik. Sementara itu, komunitas dapat membangun budaya olahraga bersama melalui kegiatan rutin seperti senam massal, jalan sehat, hingga klub olahraga lokal yang inklusif.
Kunci lain adalah edukasi berkelanjutan yang menekankan manfaat nyata olahraga. Sosialisasi tidak seharusnya hanya menyoroti pencegahan penyakit kronis di masa depan, tetapi juga manfaat yang langsung dirasakan, seperti tidur lebih nyenyak, peningkatan energi, dan perasaan bahagia. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk mengingatkan masyarakat lewat pesan singkat, aplikasi kesehatan, atau kampanye di media sosial. Dukungan dari tokoh masyarakat, figur publik, dan bahkan pemimpin agama dapat memperkuat kesadaran ini, karena teladan sosial sering lebih efektif daripada sekadar anjuran medis.
Pada akhirnya, olahraga adalah bentuk penghargaan terhadap tubuh sekaligus cara sederhana membangun masyarakat yang sehat. Melihatnya hanya sebagai rutinitas pribadi adalah sebuah reduksi, karena olahraga seharusnya menjadi budaya bersama. Kita harus menyadari bahwa tubuh manusia bukanlah mesin yang bisa bekerja tanpa henti. Ia membutuhkan ruang untuk bergerak, bernapas, dan beristirahat. Jika masyarakat mampu memosisikan olahraga sebagai bagian integral dari gaya hidup, maka yang terbentuk bukan sekadar individu yang sehat, tetapi sebuah komunitas yang lebih tangguh dan berdaya saing menghadapi tantangan global.
Dengan demikian, tantangan terbesar kita bukan lagi memahami manfaat olahraga, melainkan meyakinkan diri untuk tidak terus menundanya. Dari ruang keluarga hingga kebijakan publik, dari gerakan kecil hingga kampanye nasional, olahraga harus kembali ditempatkan sebagai pilar utama kesehatan. Mari kita mulai dari langkah kecil hari ini, karena dari setiap gerakan sederhana akan lahir generasi yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih berdaya.
T. Magda Chaisyara, penulis artikel ini
Email: [email protected] (Corresponding Author)

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Merawat Jiwa di Tengah Arus Modernitas
2 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler