x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Surat 'Al-Fatihah' dan Para Pemuja Kebencian

Bagi saya, para pemuja kebencian yang belakangan kian marak, justru mereka melupakan nikmat Tuhan yang seharunya senantiasa disyukuri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi setiap muslim, surat Al-Fatihah yang ada dalam Al-Quran dan terletak di surat pertama, merupakan “sab’ul matsani” (7 ayat yang diulang-ulang), dibaca wajib dalam setiap sholat dan hampir sudah dihafal oleh semua umat muslim. Al-Fatihah tidak hanya merupakan salah satu surat teristimewa dalam kitab suci Al-Quran, tetapi juga teristimewa di hampir seluruh umat muslim, karena surat ini tidak sekadar dibaca setiap kali sholat, tetapi dibaca di setiap kegiatan keagamaan apapun, bahkan ayat pertamanya, “al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin” seolah-olah sudah menjadi “kata baku” dalam bahasa Indonesia dan dikenal menjadi kebiasaan masyarakat ketika memperoleh kenikmatan. Demikian lekatnya Al-Fatihah dalam diri setiap muslim, sehingga hampir tak ada yang tak hafal surat pertama dalam Al-Quran ini.

Penamaan “Al-Fatihah” sendiri bagi saya sangat sarat makna, karena tidak hanya sekadar memiliki arti “sang Pembuka”, tetapi memiliki konotasi terhadap segala sesuatu yang akan dimulai senantiasa  dikaitkan dengan surat ini. Bait yang dituliskan pertama, “al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin” (segala puji bagi Allah, Pemilik alam raya) menunjukkan pengertian betapa Tuhan-lah sesungguhnya pemilik segala pujian, karena Dia-lah Penguasa mutlak seluruh jagad raya ini. Konsekuensi dari makna “pujian hanya bagi Tuhan” berarti secara tidak langsung seluruh mahluk-Nya tak pantas dipuji atau disanjung, karena seluruh manusia adalah sama dihadapan Tuhan, tak ada yang kurang maupun lebih. Pujilah Tuhan, karena dengan terbiasa memuji-Nya, jelas akan berdampak pada hilangnya ego “keakuan” yang ada dalam dirinya sendiri, sehingga yang akan tumbuh adalah “kekitaan”, karena secara sadar jelas memahami, seluruh manusia memiliki derajat yang sama.

Tuhan disebutkan sebagai “Maha Pengasih” (arrahman) dan “Maha Penyayang” (arrahim) dalam bait kedua surat Al-Fatihah. Kenapa diartikan secara berbeda? Padahal, kata “rahman” dan “rahim” berasal dari akar kata yang sama, yaitu “rahama” yang mengandung arti “kasih sayang”. Tuhan tentu saja penuh kasih, karena Dia akan memberi kepada siapapun yang memintanya, tanpa terkecuali. Tak peduli seseorang banyak dosa atau gemar melakukan kebajikan, Tuhan tak pernah luput mengabulkan apa yang mereka minta. “Memberi” tentu saja bukan berarti karena Tuhan sayang, tetapi itu sudah menjadi sifat Tuhan yang Maha Pengasih, namun rasa sayang Tuhan (arrahim) tentu saja hanya akan dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa dekat atau terus berupaya mendekati-Nya. Ketika Tuhan sudah sayang kepada salah satu hamba-Nya, tentu saja tidak hanya memberi, tetapi Tuhan senantiasa melindungi seseorang dari hal apapun yang membahayakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setiap orang yang beriman, tentu saja berharap agar hidup di dunia selalu dibimbing dan dituntun ke jalan yang paling baik dan menjadi orang-orang yang selalu berada dalam kasih sayang Tuhan. Hal ini ditunjukkan oleh bait surat Al-Fatihah, “ihdinas shirathal mustaqim” (tunjukan kami jalan yang lurus). Penggunaan kata “shirath” yang berarti “jalan” bukanlah tanpa makna, karena dalam bahasa Arab, yang bermakna “jalan” umumnya adalah “maslak”, “syari’”, atau “thariq”. Lalu, mengapa Tuhan memilih kata “shirath” daripada kata lainnya yang semakna? Ternyata “shirath” merupakan istilah khusus dalam hal cara pandang soal kebajikan, sedangkan semua kebajikan bersifat “lurus”. Beragama, berarti berbuat kebajikan dan bersikap lurus tak terpengaruh oleh segala sesuatupun yang akan memalingkan seseorang dari kebenaran.

Dengan memilih kata “shirath”, Tuhan menghendaki bahwa manusia dapat “membangun jalannya sendiri” (jisrun mamdud) menuju kebaikan yang pada akhirnya menjadi satu-satunya pilihan hidup bagi seseorang, karena tidak memilih jalan lain yang cenderung menuju keburukan. Pilihan atas jalan kebajikan, tentu saja penuh dengan kenikmatan, bukan kesengsaraan hidup. Kenikmatan jelas berasal dari Tuhan, sedangkan keburukan dan kesengsaraan pasti berasal dari diri sendiri.

Menarik ketika melihat makna kalimat, “shiratalladzina an’amta ‘alaihim” (jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat), bahwa kenikmatan selalu dilekatkan dengan Tuhan, tetapi keburukan atau kebencian, tidak sama sekali dinisbahkan kepada Tuhan. “Ghairil maghdlubi ‘alaihim” (bukan mereka yang dalam keadaan dibenci) tak pernah disadari bahwa kata “maghdlubi” yang berarti “kebencian” tidak menyertakan kata ganti “Tuhan” didalamnya, berbeda dengan kenikmatan yang langsung dikaitkan dengan Tuhan, seperti pada kalimat “an’amta” (yang Engkau beri nikmat/kebahagiaan).

Bagi saya, para pemuja kebencian yang belakangan kian marak, justru mereka melupakan nikmat Tuhan yang seharunya senantiasa disyukuri. Kebencian bukanlah sifat Tuhan, karena Tuhan tak pernah membenci mahluk-Nya, baik mereka yang sesat, berdosa atau mereka yang dianggap selalu berbuat kesalahan. Diri merekalah yang memelihara kebencian, sehingga kemudian kebencian seperti dipuja, karena setiap apapun yang tak sesuai dengan selera dirinya, muncul kebencian tersebut. Surat Al-Fatihah jelas merupakan sebuah rangkaian doa, yang begitu indah untuk diresapi, apalagi selalu diulang-ulang dibaca oleh setiap muslim. Kita tentu saja tak berharap menjadi kelompok pembenci (al-maghdlub) yang salah dalam memilih jalan, padahal, yang diinginkan selalu jalan yang lurus (shiratal mustaqim).

Saya justru berasumsi, mereka yang gemar membenci pihak lain, jangan-jangan seluruh kenikmatannya dari Tuhan tercerabut dari akar kehidupannya. Padahal, surat ini dibaca terus berulang-ulang, tidak saja memiliki bait-bait yang indah diucapkan, tetapi menjadi makna doa yang sangat dalam. “Tunjukan kami jalan yang lurus, jalan kepada orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan mereka yang menjadi pemuja kebencian dan bukan yang meretas jalan kesesatan”, demikian terjemah bait terakhir yang terekam dalam surat Al-Fatihah dalam Al-Quran. Kata “maghdlub” saya sengaja terjemahkan “pemuja kebencian”, karena “maghdlub” sejatinya adalah mereka yang berlawanan dengan rasa suka dan kasih sayang (naqidlur ridla). Bagi saya, membaca Al-Fatihah dan memahaminya, berarti kita menjadi semakin “terbuka” bukan malah “tertutup” terhadap banyak hal. Al-Fatihah jelas mengajarkan kepada kita, bagaimana memilih jalan kebajikan yang diridoi Tuhan, bukan malah menjadi “pembenci” yang justru semakin jauh “disesatkan”.  

 

kredit foto: amalandoa.com

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

10 jam lalu

Terpopuler