Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Munir Thalib dan Imparsialitas: Catatan Penegakan Hukum yang Kontras
2 jam lalu
***
Munis Said Thalib adalah nama yang sulit dipisahkan dari sejarah perjuangan hak azasi manusia di Indonesia. Aktivis yang dikenal dengan sikap teguh, berani, dan imparsial ini telah menjadi simbol perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Munir tidak pernah memihak pada kepentingan politik tertentu, melainkan berpihak pada kemanusiaan itu sendiri. Baginya, hukum dan hak asasi manusia adalah instrumen yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Justru karena keberanian inilah, Munir kemudian menjadi target dari sistem yang seharusnya melindungi warga negaranya.1 Kematian Munir pada 7 September 2004 di pesawat Garuda Indonesia dalam penerbangan menuju Amsterdam adalah peristiwa yang membekas kuat dalam ingatan publik. Hasil investigasi mengungkap adanya racun arsenik dalam tubuhnya, yang jelas menunjukkan bahwa kematiannya bukanlah peristiwa biasa, melainkan pembunuhan yang direncanakan.
Kasus ini dengan segera menyingkap wajah penegakan hukum yang kontras dengan nilai imparsialitas yang selama ini diperjuangkan Munir. Proses hukum yang berjalan lambat, penuh tarik ulur, serta menyisakan banyak tanda tanya, justru memperlihatkan bagaimana hukum dapat berhenti di hadapan kekuasaan.2
Di sinilah paradoks hukum Indonesia tampak jelas. Munir selama hidupnya berjuang agar hukum menjadi instrumen keadilan, bersifat imparsial, dan dapat melindungi kelompok rentan. Namun dalam kematiannya, hukum justru menunjukkan sisi parsialitasnya: keberpihakan yang lebih besar pada kepentingan politik dan keamanan negara dibanding pada kebenaran dan keadilan. Proses peradilan terhadap beberapa pelaku memang sempat dilakukan, tetapi aktor-aktor kunci yang diduga berada di balik pembunuhan ini tidak pernah benar-benar tersentuh hukum. Fakta ini menegaskan bagaimana imparsialitas hukum kerap terhenti ketika berhadapan dengan struktur kekuasaan.3
Tragedi Munir sekaligus menjadi cermin bagi bangsa ini, bahwa penegakan hukum tidak hanya soal prosedur, tetapi juga soal keberanian untuk menempatkan hukum di atas semua kepentingan. Hukum yang parsial hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap negara. Sebaliknya, keberanian menegakkan hukum secara imparsial justru menjadi kunci untuk memperkuat legitimasi negara di mata rakyat.
Hingga kini, setiap kali publik memperingati hari wafatnya Munir, pertanyaan yang sama selalu muncul: mengapa kasus ini belum juga tuntas? Pertanyaan itu bukan hanya soal nasib seorang aktivis, tetapi juga soal arah perjalanan hukum Indonesia. Apakah hukum akan terus terjebak dalam parsialitas yang melayani kekuasaan, ataukah ia berani kembali pada cita-citanya: menjadi instrumen imparsial yang melindungi seluruh rakyat tanpa kecuali ?
Munir pernah mengatakan bahwa “kebenaran akan tetap hidup, sekalipun kita berusaha membunuhnya.” Kalimat itu kini menjadi pengingat keras, bahwa hukum yang kehilangan imparsialitas pada akhirnya akan menghadapi resistensi sosial. Sebab, publik tidak akan pernah berhenti menagih keadilan, sekalipun hukum negara enggan menunaikannya.
Catatan Kaki.
1. YLBHI, Munir: Jejak Perjuangan HAM (Jakarta: YLBHI, 2005).
2. Laporan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir, 2005.
3. Asfinawati, “Kematian Munir dan Bayang-Bayang Impunitas di Indonesia,” Jurnal HAM Vol. 12 No. 2 (2015).

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler