Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Kedaulatan Negara Ada Pada Rakyatnya
2 jam lalu
Dalam doktrin politik modern, kedaulatan adalah konsep yang menegaskan siapa pemegang otoritas tertinggi dalam sebuah negara.
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, secara eksplisit menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”[1] Pernyataan tersebut menjadi fondasi bahwa negara hadir bukan untuk menundukkan rakyat, melainkan untuk melayani mereka sebagai pemilik sah kedaulatan.
Namun, persoalan mendasar muncul ketika alat negara, seperti aparat keamanan atau lembaga birokrasi, bersikap represif terhadap rakyat. Represi itu bisa berupa pembatasan kebebasan berpendapat, tindakan kekerasan dalam penanganan demonstrasi, atau penggunaan instrumen hukum sebagai alat menekan oposisi. Dalam kondisi semacam ini, otoritas yang semestinya dijalankan secara konstitusional bergeser menjadi otoritas koersif.
Pergeseran Otoritas
Ketika alat negara bertindak di luar prinsip konstitusional, maka secara substantif kedaulatan tidak lagi berada pada rakyat, melainkan berpindah pada alat negara itu sendiri. Negara kehilangan jati dirinya sebagai representasi rakyat, dan berubah menjadi sekadar instrumen kekuasaan. Hal ini menimbulkan paradoks: negara yang berdaulat secara hukum ternyata tidak berdaulat secara riil, karena otoritasnya dikuasai oleh alat negara yang represif.
Konsekuensi Legitimasi
Represi negara terhadap rakyat menimbulkan erosi legitimasi. Rakyat tidak lagi melihat negara sebagai pelindung kepentingan mereka, melainkan sebagai entitas yang menindas. Dalam teori kontrak sosial John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, kondisi ini menjadi alasan sah bagi rakyat untuk menarik kembali mandat yang telah diberikan kepada negara.[2] Dengan kata lain, represi negara justru menjadi pintu delegitimasi kekuasaan, bahkan potensi lahirnya perlawanan sipil.
Kasus Kontemporer
1. Gelombang Demonstrasi Mahasiswa 2019 dan 2020
Gelombang aksi menolak revisi Undang-Undang KPK dan RKUHP berakhir dengan bentrokan. Aparat menggunakan gas air mata, water cannon, bahkan kekerasan fisik yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Padahal, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap warga untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat.[3]
2. Kriminalisais Aktivis Lingkungan dan HAM
Penangkapan aktivis seringkali dilakukan dengan menggunakan UU ITE yang seharusnya tidak dipakai untuk membungkam kritik. Padahal, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara tegas menjamin kebebasan menyampaikan pendapat sebagai hak asasi yang tidak bisa dikurangi.[4]
3. Pembatasan Unjuk Rasa
UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dengan jelas mengatur hak warga untuk melakukan aksi secara damai.[5] Namun, dalam praktiknya, alasan keamanan sering dipakai untuk membatasi bahkan membubarkan aksi tanpa prosedur hukum yang benar. Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa praktik otoritas negara kerap digantikan dengan kekuasaan alat negara yang represif. Secara formal, negara masih berdaulat, tetapi secara substansial, rakyat dipaksa tunduk pada dominasi aparat.
Kedaulatan negara sejatinya tidak bisa direbut oleh alat negara yang represif, kecuali dengan cara mengingkari konstitusi dan mandat rakyat. Namun, pada saat itu terjadi, yang beroperasi bukanlah “negara berdaulat” melainkan kekuasaan koersif yang berdiri di atas ketakutan, bukan legitimasi.
Oleh sebab itu, menjaga agar alat negara tetap tunduk pada prinsip kedaulatan rakyat adalah syarat mutlak agar negara tetap memiliki wibawa dan legitimasi. Konstitusi dan regulasi positif Indonesia sudah memberikan payung hukum yang jelas, tinggal bagaimana negara benar-benar konsisten menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, bukan sebagai objek represi.
Baik, saya susun artikel opini hukum-politik dengan judul Represif Aparat dan Ancaman Kedaulatan serta Delegitimasi Aspirasi Rakyat. Saya padukan dengan argumen konstitusional, catatan hukum positif, dan konteks kontemporer.
Represif Aparat dan Ancaman Kedaulatan serta Delegitimasi Aspirasi Rakyat.
Kedaulatan dalam negara demokratis terletak pada rakyat. Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.[1] Artinya, rakyat bukan sekadar objek kebijakan negara, melainkan sumber legitimasi dari segala bentuk kekuasaan. Pemerintah, parlemen, hingga aparat negara, bekerja dengan mandat yang berasal dari rakyat. Namun, ketika alat negara—khususnya aparat keamanan—bersikap represif terhadap rakyat, maka terjadi paradoks kedaulatan. Aparat yang seharusnya melindungi justru menghalangi ekspresi aspirasi. Negara yang semestinya hadir sebagai pelindung berubah menjadi pihak yang menindas. Dalam kondisi demikian, legitimasi negara runtuh, dan kedaulatan rakyat tergantikan oleh kekuasaan koersif aparat.
Krisis Kedaulatan
Represi aparat sering terjadi dalam bentuk pembubaran aksi damai, kriminalisasi aktivis, hingga penggunaan kekerasan yang berlebihan. Padahal, konstitusi memberi ruang luas bagi kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasna berserikat, berkumpul, dan mengeluarkab pendapat”[2]. Demikian pula, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjamin hak warga negara untuk berunjuk rasa secara damai.[3] Sementara UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan bagian dari hak asasi yang tidak bisa dikurangi oleh siapa pun.[4]. Maka, setiap tindakan represif aparat sesungguhnya bukan hanya pelanggaran HAM, melainkan juga pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Delegitimasi
Ketika aparat menekan aspirasi rakyat, maka yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan delegitimasi terhadap suara rakyat itu sendiri. Aspirasi rakyat yang semestinya menjadi dasar kebijakan justru dianggap ancaman terhadap stabilitas. Akibatnya:
1. Kedaulatan teredujsi, rakyat kehilangan ruang untuk mengontrol negara.
2. Legitimasi negara melemah, rakyat melihat negara bukan sebagai representasi, tetapi sebagai alat represi.
3. Potensi perlawanan sipil meningkat, ketika kanal aspirasi ditutup, rakyat mencari jalannya sendiri di luar prosedur formal.
Kondisi ini terbukti dalam sejarah Indonesia. Demonstrasi mahasiswa 2019–2020 yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP misalnya, berujung bentrokan dengan aparat. Tindakan represif tidak memadamkan aspirasi, justru memperkuat delegitimasi pemerintah di mata publik.
Dalam teori kontrak sosial John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, negara memperoleh legitimasi dari rakyat. Jika negara melanggar kontrak dengan bertindak represif, rakyat berhak menarik kembali mandat yang diberikan.[5] Dengan kata lain, represi aparat merupakan titik awal krisis kontrak sosial: negara tetap ada secara formal, tetapi kehilangan legitimasi substantif.
Sikap represif aparat adalah ancaman langsung terhadap kedaulatan rakyat dan legitimasi negara. Negara berdaulat bukanlah negara yang ditakuti rakyat, melainkan negara yang dipercaya rakyat. Karena itu, setiap tindakan aparat yang mengabaikan konstitusi sama saja dengan melemahkan sendi-sendi negara itu sendiri. Kedaulatan tidak boleh dipindahkan dari rakyat kepada aparat melalui represi. Negara harus mengingat bahwa tanpa aspirasi rakyat, kedaulatan hanyalah kata kosong, dan kekuasaan hanyalah ilusi yang berdiri di atas ketakutan.
Catatan Kaki
[1]: UUD 1945, Pasal 1 ayat (2).
[2]: UUD 1945, Pasal 28E ayat (3).
[3]: UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
[4]: UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 23 dan 25.
[5]: John Locke, Two Treatises of Government (1689); Jean-Jacques Rousseau, Du Contrat Social (1762).
Catatan Kaki
[^1]: UUD 1945, Pasal 1 ayat (2).
[^2]: Lihat John Locke, Two Treatises of Government (1689); Jean-Jacques Rousseau, Du Contrat Social (1762).
[3]: UUD 1945, Pasal 28E ayat (3).
[4]: UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 23 dan Pasal 25.
[5]: UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 6.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler