x

Iklan

Hima Wati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 23 September 2019 15:13 WIB

Andaikan Indonesia Bebas Karhutla

Indonesia bebas Karhutla hanya dengan meninggalkan Kapitalisme

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah sejak tahun 1997, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi berulang-ulang di wilayah kalimantan, Sumatera, NTT dan banyak lagi. Karhutla di Kalimantan dan Sumatera tahun ini, menjadi salah satu bagian dari kejadian yang pantas dikatakan sebagai bencana nasional sebagaimana tahun 2014 dan 2015.

Bagaimana tidak, seribu titik api yang muncul belum bisa dipadamkan oleh petugas. Ada ratusan ribu hektar hutan terbakar, banyak satwa dilindungi yang terkena dampak. Lebih dari seribu masyarakat yang terpapar asap mengidap penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) hingga bayi dilaporkan meninggal, sekolah terpaksa diliburkan dan beberpa penerbangan dibatalkan.

Bahkan, viral beberapa hari yang lalu langit di kota Jambi berwarna merah pekat karena tingginya kandungan partikel polutan di udara. Menurut BMKG ini adalah kondisi yang sangat tidak sehat (22/09/2019). Karena kondisi yang demikian, banyak masyarakat yang terpaksa mengungsi demi menghindari bahaya asap.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kasus ini pun bukan hanya merugikan dalam negeri, negeri tetangga Malaysia dan Singapura juga terkena dampak asap karhutla.

Pemerintah dinilai lamban dalam penanganan karhutla oleh masayarakat. Bagaimana tidak, modifikasi cuaca, water boombing dan upaya pemadaman lainnya dinilai tidak signifikan mengurangi asap karhutla. Hal itu terdeteksi oleh satelit.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bencana ini datangnya dari Allah, dan harus disikapi dengan ikhlas dan berdo’a. Menkopolhukam Wiranto menyebut di balik pembakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah ada permainan politik. Salah satunya persaingan politik dalam rangka pemilihan kepala daerah. Wiranti menyebutkan keadaan di sana tidak separah yang diberitakan oleh media (18/09/2019).

Kejadian ini tentu merupakan perbuatan tangan manusia sehingga mestinya bisa dilakukan pencegahan. Upaya preventif yang bisa dilakukan pemerintah, salah satunya, adalah menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pihak-pihak korporasi atau perusahaan yang terlibat dalam pembakaran ini.

Memang sudah dilakukan penangkapan terhadap pelaku pembakaran. Sebanyak 230 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka pelau pembakaran hutan dan lahan di sebagian Sumatera dan Kalimantan per Rabu (18/9/2019_https://tirto.id/eikU). Meski upaya penangkapan juga dilakukan pada tahun tahun sebelumnya, nyatanya saat ini masih saja terulang. Hal tersebut menunjukan bahwa hukum tidak lagi mampu menjadi benteng preventif dari pelaku kejahatan.

Hukum juga cenderung bersifat lunak kepada korporasi. Misalnya, pada Desember 2015, ada beberapa perusahaan yang divonis bebas . Selain itu belum ada pembekuan perusahaan terhadap perusahaan yang terlibat pembakaran.

Andaikan hukum berwajah garang di depan para kriminal besar yang merugikan jutaan masyarakat, dengan memberikan hukuman mati misalnya, tentu tidak akan ada yang berani melakukan kejahatan itu secara berulang. Pengedar narkoba saja, yang notabanenya hanya merugikan segelintir orang, mendapatkan hukuman mati di negeri ini. Tentu pembakar hutan idealnya mendapatkan hukuman yang lebih berat, sebab merugikan jutaan orang tanpa pandang bulu.

Semua kini merupakan dampak dari kapitalisme yang masih diemban negeri ini. Apapun kasusnya, hukum selalu cenderung tumpul ke atas, tajam ke bawah. Rakyat semakin digenjet dengan tingginya pajak, naiknya premi BPJS, tingginya harga bahan pokok, meningkatnya pengangguran dan lain sebagainya. Sedangkan di sisi lain para pemilik modal dalam korporasi semakin ditimang-timang.

Andaikan pengelolaan hutan sepenuhnya menggunakan asas keadilan Islam, yakni dikelola negara, dan digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan dan kemanfaatan masyarakat, tentu tidak akan ada perusahaan yang memonopoli lahan tanah, hingga ratusan ribu hektar di Kalimantan dan Sumatera. Mereka ini cenderung menggunakan cara-cara instan untuk melakukan pembabasan lahan, yakni dengan melakukan pembakaran.

Sudah saatnya kita tidak lagi berandai-andai, tapi tinggal wujudkan saja. Campakkan kapitalisme, terapkan keadilan Islam, maka Indonesia akan bebas karhutla. Mengapa harus Islam? Sebab hanya syariat Islam yang memiliki management pengaturan pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan yang tidak merusak lingkungan, dan menguntungkan negara beserta masyarakatnya. Tentu akan banyak pihak yang menolak ide ini, itulah mereka yang merasa dirugikan karena “keuntungan bagi masyarakat luas” akan memangkas keuntungan bagi mereka para kapitalis-kapitalis rakus. (Uhiwa, Bojonegoro)

Ikuti tulisan menarik Hima Wati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler