x

Iklan

Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Oktober 2019

Rabu, 29 Januari 2020 10:15 WIB

Demokrasi Menjadi Sarang Otoritarianisme

Jadi semacam otoritarienisme yang dikemas dalam format demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengidentifikasi problem demokrasi hari ini cukup kompleks. Tidak cukup melihat demokrasi dengan definisi yang baku dan normatif, sebagaimana yang dipahami pada umumnya. Keutuhan demokrasi itu dilihat dari keseimbangan antara teoritis dan prakteknya.

Problem terjadi kesenjangan teori demokrasi dengan praktek politik demokrasi ini menimbulkan semacam chaos dalam demokrasi. Fariasinya banyak; mulai dari janji politik bohong, pemimpin yang korup, dan tirani pemimpin penindas, penghisap, dan eksploitasi. Hal ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat, apa pun yang dibicarakan oleh pemerintah, bohong.

Politik demokrasi hari ini mengalami degradasi moral. Akibatnya, eksistensi demokrasi menjadi cacat dan mandul, tidak terarah. Kekacauan orientasi demokrasi semacam inilah sering menjadi alat untuk dipolitisir elit politik dan aktivis intelektual untuk kepentingan pragmatis. Bukan fokus mencerahkan publik, tapi justru menciptakan chaos dalam masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melihat politik demokrasi hari ini, ada yang kacau, yaitu pasti ada yang kontradiksi antara teori demokrasi sebagai wujud abstraksi keinginan masyarakat untuk mencegah supaya demokrasi tidak menjadi mayoritas dan praktek demokrasi sebagai delegasi rakyat untuk menjalankan mandataris. Dengan mandataris inilah ketimpangan muncul di dalamnya, kekuatan dibentuk oleh kepercayaan, tidak adanya pengawasan yang ketat, dan dihidupkan oleh kebodohan masyarakat terhadap dunia politik dan demokrasi. Ali-alih demokrasi menjadi sarang otoritarianisme.

Gejala Awal Otoritarianisme

Mimpi hidup di neraka itu baru mimpi bukan kenyataan dan bukan penindasan. Hidup dalam pemerintahan yang otoriter itu sangat nyata dan penindasan yang nyanta.

Sebagai fakta, otoriter itu benar adanya, tetapi sebagai kesadaran sosial, otoriter itu dikatakan sebagai ketegasan. Jadi, demokrasi otoritarienisme semacam inilah seolah-olah demokrasi diterima oleh rakyat dengan kesadaran palsu. Layaknya seorang kekasih mencubit dikatakan tidak sakit. Hakikatnya, memang sakit, tapi karena dilakukan dalam percintaan menjadi manis.

Sekarang pemerintah menjadi otokritik, negara menjadi kebenaran tunggal, apa-apa yang dilakukan oleh negara itu diterima sebagai kenyataan yang ideal demi hajat hidup orang banyak, demi bangsa. Diucapkan oleh pemerintah, padahal kritik itu bentuk lain dari cinta, terbuka untuk sama-sama menerima kebenaran dan memperbaikinya.

Pemerintah tidak bisa dikritik. Orang yang kritik terhadap negara membahayakan negara. Di cap makar, stigma radikalisme, oposisi fanatik. Jadi, kalau pemerintah tidak bisa dikritik itu alamat negara tidak ingin maju, hancur, dan itu membuktikan bahwa negara itu otoriter. Iya, kalau pemerintah hanya sekedar janji politik bohong, korup, dan tirani. Jelas pemerintah mesti harus di kritik.

Sekarang kita melihat asal-usul dari otoritarienisme. Garis penghubung (ikatan, sistem) manusia hidup bersama. Berkembang dan maju bersama menyambut cita-cita hidup. Dibentuklah rambu-rambu dalam wujud sistem, demokrasi, dan negara untuk mengatur lalu lintas hubungan manusia.

1. Menggantungkan Diri pada Manusia

Menggantungkan diri pada manusia, bersiaplah untuk disandera, bahkan kesalahan yang Anda gantungi Anda membenarkan (bukan membutuhkan). Hajat personality diserahkan secara totalitas kepada orang lain untuk mengendalikan dan memutuskan kepentingannya. Demokrasi tidak begitu, kepentingan politik yang diserahkan. Hak politiknya, bukan basis dasar kemanusiaannya. Dalil otoritarienisme menggantungkan hidup pada orang lain Itu penyesatan sebagai sifat dasar kemanusiaan.

2. Pemujaan Berlebih terhadap Pemimpin

Orang mati-matian membela pemimpin pujaan garis fanatik. Dalam bahasa agama hidup dan matinya diserahkan untuk membela sang pujaan (pemimpin). Fokusnya orang, bukan pada perbuatannya. Sudah adilkah atau tidak?

Korupsi juga manusia. Dilihat sebagai kelemahan manusia sehingga "ditolerir". Kecintaan terhadap pemimpin dicarilah alasan untuk merasionalisasikan perbuatannya sehingga menjadi benar. Bukannya dilihat apakah perbuatannya salah atau benar. Dibenarkan dulu itu pemimpin atas kultus fanatisme terhadap pemimpin. Belakangan di cari-cari alasan, bahasanya dibelakang hukum diajak selingkuh.

3. Memberikan Kepercayaan Penuh kepada Pemimpin

Formulasi kepercayaan yang dipegang pada utusan sebagai mandataris itu kepentingan politik. Saya tidak menjamin utusan bisa dipercaya. Dengan alasan kemanusiaan, ia bisa saja berbohong, mengelola seolah-olah kelihatan benar, dan manipulasi salah menjadi benar.

Jaraknya berbeda, jauh. Check and balence tidak seimbang. Buktinya eksekutif yang lebih kuat. Banyak mengambil peran dalam mengelola negara.

Negara dan hukum memihak. Eksistensi negara dan hukum diragukan keadilan. Evolusi masyarakat perbudakan (majikan, budak) bergeser ke masyarakat foedalisme (bangsawan, rakyat jelata) menjadi kapitalisme (borjuasi, proleteriat) melahirkan negara. Rentetan hirerki perkembangan masyarakat ini kita bisa melihat dimanakah posisi negara dan hukum?

Negara lahir dari rahim kapitalisme. Adanya negara untuk melanggengkan kapitalisme, mempertahankan status qou. Kapitalisme mendapatkan angin segar untuk memperluas dan menyesuaikan dirinya. Perselingkuhan antara kapitalisme dan negara inilah saling "memanfaatkan". Hukum juga demikian, sudah menjadi rahasia umum.

Kesadaran Tauhid

Manusia sebagai makhluk, Tuhan sebagai khalik. Basis dasar manusia itu pemimpin. Hirerki antara manusia dan Tuhan adalah hirerki vertikal. Pencipta dan makhluk. Dengan sifat dasar manusia sebagai pemimpin ini tidak ada hirerki manusia dengan manusia. Hubungannya horizontal, yaitu hubungan makhluk dengan makhluk, manusia dengan manusia.

1. Bentukan Teologi

Manusia sebagai bentukan teologi (ciptaan Tuhan), hubungan pencipta dan yang diciptakan itu hubungan penghambaan, Tuhan memberikan mandat sebagai pemimpin kepada manusia untuk mengelola bumi. Mandat ini tidak bisa ditarik oleh manusia atas mandataris sebagaimana mandataris manusia. Kepemimpinan ini diberikan oleh Tuhan.

Lalu, siapakah yang bisa menarik mandat ini? Saya tidak tahu, hanya Tuhanlah yang tahu. Akal saya begitu luar biasa tidak mampu menggambarkan itu.

Manusia itu sama, sama sebagai makhluk. Dihadapan manusia pembedanya; fungsi dan atribut. Sebagai pencipta Tuhan melihat makhluknya equality. Sebagai hamba, Tuhan melihat manusia dari ketakwaan. Hanya itu perbedaannya, selebihnya bentukan antropologi.

2. Bentukan Antropologi

Pemimpin dipilih oleh kelompok orang untuk mewakili kelompoknya. Dibentuk dari konfeksi sosial, kesepakatan-kesepakatan. Ia bertanggungjawab penuh terhadap persoalan yang muncul ditengah masyarakat. Ia menjadi pelayan. Pemimpin yang berorientasi pada pelayanan masyarakat dan senantiasa berusaha untuk melakukan berbagai langkah dan upaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepedulian terhadap kondisi masyarakat akan tercermin pada kebijakan yang dikeluarnya.

Pemimpin sebagai pelayan masyarakat. Pemimpin itu "budak", masyarakat itu majikan. Apa yang istimewa dengan pemimpin itu? Ia pelayan bagi masyarakat. Pelayan yang dibentuk dari konfeksi sosial sebagai utusan untuk mewakili sebagian kepentingan politiknya. Dalam menjalankan delegasinya bertentangan dengan prinsip dasar kemanusiaan ia bisa ditarik mandatnya. Kalau tidak sadar diri turun, ditumbangkan.

Manusia Memimpin Manusia

Manusia memimpin manusia merupakan lanjutan dari pemimpin bentukan antropologi. Bentukan antropologi ini membentuk hirerkis pada manusia. Tidak terlihat kontradiksi dari sudut kepentingan politik, tapi kalau itu diselewengkan (praktek) ia akan kontradiksi dengan sifat kemanusiaan. Ini menunjukkan bahwa demokrasi hari ini kacau, ambur adur, dan tidak jelas.

Hirerki kemanusiaan ini memposisikan manusia memerintahkan manusia. Ada yang di atas, ada yang di bawah. Ada majikan, ada budak. Ada yang kuat, ada yang lemah. Akibatnya apa? Tirani, tindas menindas. Siapa yang paling kuat itulah yang menang dan akan mendapatkan jatah hidup yang mewah.

Demokrasi

Satu sisi demokrasi melihat manusia itu sama. Sisi lain demokrasi membentuk hirerki manusia. Demokrasi melihat orang yang tidak ikut partisipasi politik menanggung beban demokrasi.

Demokrasi melihat manusia one man one vote (satu orang satu suara). Dalam demokrasi apakah ia presiden, raja, majikan, budak, ulama, dan sejenisnya, dengan fungsi dan atributnya masing-masing, tetap saja dilihat sama. Demokrasi menyamaratakan semuanya, ia bodoh atau cerdas, itu demokrasi.

Melihat manusia itu sama pada demokrasi ada semacam kantradiksi dengan pembentukan hirerki pemimpin dan rakyat. Dalam politik demokrasi awalnya manusia sama, lama-lama dalam kalkulasi politik melahirkan hirerki. Ini jelas terlihat chaos dalam demokrasi. Akibatnya, one man one vote dan hirerki menularkan beban demokrasi pada orang yang tidak ikut berpartisipasi. Dinikmati sepehik, beban ditanggung bersama.

Ukuran benar-salah, kalah-menang ditentukan oleh suara mayoritas. Kemenangan bukan ditentukan pada kebenaran. Suara mayoritas bisa saja dibeli, tidak peduli apa itu benar atau salah, lahap saja. Itu dalil demokrasi hari ini. Jadi semacam otoritarienisme yang dikemas dalam format demokrasi.

Yogyakarta, 3 Juli 2018

Ikuti tulisan menarik Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler