x

Iklan

Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Oktober 2019

Rabu, 31 Agustus 2022 12:44 WIB

Menyoal Presidential Threshold

Normanya, apabila ada produk legislasi digugat di MK, itu artinya ada indikasi bahwa produk legislasi itu inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Presidential threshold merupakan kebijakan hukum yang sering kali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK), baik itu digugat oleh warga negara (personal) maupun itu digugat oleh lembaga atau institusi, seperti anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan partai politik sepanjang sejarah produk legislasi di Indonesia.

Normanya, apabila ada produk legislasi digugat di MK, itu artinya ada indikasi bahwa produk legislasi itu inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945.

Presidential threshold genap 30 kali digugat di MK. Meski demikian, berkali-kali presidential threshold digugat di MK, berkali-kali juga presidential threshold ditolak oleh MK.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alasan MK menolak atau tidak dapat menerima permohonan dari berbagai gugatan yang dilakukan oleh berbagai kalangan soal presidential threshold setidaknya ada beberapa alasan:

Pertama, pemohon tidak memiliki legal standing dalam mengajukan uji materi atau judicial review presidential threshold. Contohnya pada putusan MK nomor 53/PUU-XX/2022, MK menolak gugatan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan alasan tidak memiliki legal standing.

Kedua, pasal-pasal yang digugat di MK adalah pasal-pasal yang telah diputuskan oleh MK sebelumnya atau ne bis in idem yang memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat. Ketiga, presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang, sehingga presidential threshold dikembalikan kepada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.

Artinya, presidential threshold itu merupakan kebijakan hukum "semau gue" DPR dan pemerintah. Lebih jauh lagi, kebijakan hukum presidential threshold itu merupakan kebijakan hukum "pesanan" partai-partai politik besar atau kebijakan hukum “pesanan” elite-elite ekonomi untuk mengamankan proyek dan kekuasaan.

Pada saat yang bersamaan, kebijakan hukum presidential threshold membuka celah terjadinya politik transaksional, tukar tambah jabatan, bagi-bagi jatah dan terjadinya money politics. Hal ini terjadi karena dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, partai politik tidak lagi demokratis. Siapa pun yang punya modal yang besar, dialah yang mempunyai peluang besar menjadi calon presiden dan wakil presiden.

Tiga alasan di atas cukup jelas untuk melihat posisi MK di mana saat ini, apakah MK menguji undang-undang berdasarkan konstitusi atau UUD 1945 atau MK mengamankan kepentingan kelompok tertentu melalui presidential threshold?

Dalam konstitusi, calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Berikutnya, “tata cara” pelaksanaan pemilihan umum diatur lebih lanjut oleh undang-undang. 

Dalam konstitusi disebutkan “tata cara” pelaksanaan pemilihan umum, bukan “syarat” atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagaimana pengaturan dalam undang-undang pemilu. Jadi, kemunculan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam undang-undang pemilu bertentangan dengan konstitusi atau UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam sejarahnya, presidential threshold itu hadir untuk memperkuat sistem presidensil dan melakukan penyederhanaan partai politik. Betulkah presidential threshold itu hadir untuk memperkuat sistem presidensil dan menyederhanakan partai politik?

Pertama, menyederhanakan partai politik. Dalam konstitusi, setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dan mempunyai kesempatan yang sama dihadapan hukum dan politik. Tidak boleh ada kebijakan hukum yang dibuat menguntungkan kelompok-kelompok tertentu atau orang-orang tertentu di satu sisi dan merugikan kelompok-kelompok tertentu atau orang-orang tertentu di sisi lain.

Kebijakan hukum harus adil dan menempatkan setiap orang atau setiap kelompok itu sama dihadapan hukum dan mempunyai kesempatan yang sama dalam politik. Kebijakan hukum presidential threshold itu tidak menempatkan setiap orang atau setiap kelompok itu tidak sama dihadapan hukum dan tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam politik.

Kebijakan hukum presidential threshold menguntungkan partai-partai politik besar yang memenuhi syarat 20 persen kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Sementara partai-partai politik kecil yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden terpaksa harus "ngekor" pada partai-partai politik besar.

Mau tidak mau, suka tidak suka, partai-partai politik kecil terpaksa harus berkoalisi dengan partai politik lain untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Di sini, partai-partai politik besar menjadi pemain tunggal dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. 

Di sisi lain, partai-partai politik baru tidak bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Sebab, partai-partai politik baru belum memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pada pemilu legislatif sebelumnya.

Kenyataan politik ini harus diterima oleh partai-partai politik baru sebagai konsekwensi dari kebijakan hukum presidential threshold yang "menguntung-rugikan", tidak adil, tidak menempatkan setiap orang sama dihadapan hukum, tidak menempatkan setiap orang mempunyai kesempatan yang sama dalam politik yang dijamin oleh konstitusi.

Kedua, memperkuat sistem presidensil. Dalam sistem presidensil, eksekutif bukan bagian dari parlemen. Pemilihan presiden dan wakil presiden dan anggota legislatif dipilih dalam pemilu yang berbeda. Pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Parlemen tidak bisa menjatuhkan presiden dan wakil presiden.

Di sisi lain, dalam sistem presidensil, koalisi partai politik itu tidak menjadi keharusan. Namun, dalam praktisnya dengan kehadiran presidential threshold telah memaksa partai politik untuk berkoalisi. Akibatnya, presiden dalam menjalankan pemerintahan disandera oleh partai-partai politik besar. Kehadiran presidential threshold itu telah mengacaukan sistem presidensil di Indonesia.

Dalam sejarahnya, presidential threshold pertama kali diterapkan pada pemilu 2004 melalui UU 23/2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Pada pemilu 2009, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden berubah. Pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen jumlah kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif (UU 42/2008).

Pemilu 2014 ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden tidak berubah, tetap mengikuti ketentuan UU 42/2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Namun, pada pemilu 2019 ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden kembali berubah. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya (UU 17/2017).

Pada pemilu 2004, pemilu 2009 dan pemilu 2014, pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara berbeda dengan pemilu legislatif. Pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif. Namun, pada pemilu 2019 pemilihan presiden dan wakil presiden dan pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak.

Dengan demikian, keserentakan pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu lagislatif, sebagaimana dalam putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013 seharusnya presidential threshold itu dengan sendirinya tidak berlaku. Karena tidak ada yang menjadi acuan pada pemilu legislatif sebelumnya.

Ikuti tulisan menarik Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB