Takdir Tuhan itu dapat dipahami dalam dua kategori: Pertama, takdir Allah yang tertulis dalam kitab yang oleh para mufassir disebut sebagai lauhun-mahfudz (lembaran yang terpelihara).
Kedua, takdir (ketentuan Allah) yang kasat rasa dan kasat mata di alam semesta, atau yang biasa disebut ayat-ayat kauniyah.
Salah satu hukum sebab-akibat yang paling gampang dilihat dan dirasakan adalah hukum gravitasi bumi. Setiap benda/obyek yang terlepas dari ketinggian tertentu, pasti akan jatuh ke tanah.
Jika Anda meloncat atau menjatuhkan diri dari ketinggian misalnya 20 meter, ya pasti akan jauh ke tanah. Artinya, Anda mengikuti takdir Allah dalam hukum gravitasi bumi. Artinya juga, kalau si-X meninggal dunia karena terjatuh (menjatuhkan diri) dari ketinggian 20 meter, berarti si-X meninggal karena takdir Allah (akibat hukum gravitasi).
Jika ada dua obyek yang berjalan berlawanan di satu jalur, pasti akan bertabrakan. Makin kencang laju dua obyek yang bertabrakan itu, risikonya juga semakin tinggi. Ini hukum sebab akibat. Artinya kalau si-X meninggal dunia karena bertabrakan, berarti ia meninggal dunia karena hukum sebab akibat.
Singkat kalimat, hukum sebab-akibat adalah bagian dari takdir Allah di alam semesta. Karena itu, jika melanggar atau menentang hukum sebab akibat, berarti juga menentang takdir Allah swt.
Prinsipnya, hukum sebab akibat itu berlaku konstan kapanpun dan di manapun. Namun selalu ada pengecualian. Pengecualian ini terjadi karen Allah bisa mengubah takdirnya.
Karena itu, muncul pertanyaan: bisakah takdir Allah itu ditawar atau “dinegosiasikan”? Jawabnya: bisa, melalui mekanisme doa. Artinya melalui doa, takdir Allah bisa diubah. Sebab jika takdir Allah tak lagi bisa diubah, berarti doa tidak ada gunanya.
Dan doa di sini, bisa melalui doa Anda sendiri, atau doa orang lain. Di sinilah pentingnya hubungan silaturahim, untuk memperlebar ruang doa kebaikan dari banyak orang
Namun perlu dipahami, perubahan takdir Allah melalui mekanisme doa itu bisa terjadi dalam dua kemungkinan:
Pertama, hasilnya lebih baik dari yang sudah ditakdirkan. Misalnya, Anda mestinya mendapatkan untung Rp1 juta, namun karena berkat doa Anda atau doa orang lain, untung Anda menjadi lebih dari Rp1 juta.
Kedua, lebih buruk dari yang sudah ditakdirkan. Misalnya, Anda mestinya mendapatkan untung Rp1 juta, namun karena tidak maksimal mengikuti hukum sebab akibat, atau karena doa negatif dari orang lain, untung Anda menjadi kurang dari Rp1 juta atau bahkan bangkrut.
Jika uraian prinsip tentang takdir ini dijadikan acuan dalam menghadapi wabah covid-19, maka sikap yang meremehkan berbagai protokol kesehatan (yang dirumuskan berdasarkan hukum sebab-akibat), dapat diposisikan sebagai sikap menentang takdir Allah.
Syarifuddin Abdullah | Amsterdam, 10 Juli 2020/ 19 Dzulqa’dah 1441H
Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.