x

Iklan

Hima Wati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 5 November 2020 11:40 WIB

Relasi Demokrasi dan Korupsi

Kelahiran korupsi dan juga saudaranya yakni suap-menyuap tidak terlepas dari sistem demokrasi kapitalis di negeri ini. Ketika seorang tokoh maju dalam suatu ajang pesta demokrasi, dia harus menempuh berbagai macam upaya yang panjang dan mahal. Berbagai cara ditempuh untuk meningkatkan elektabilitas, iklan dan kampanye kesana-kemari. Hingga politic money jadi sangat lumrah dan wajar dalam iklim politik sekarang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalau berbicara pasal korupsi rasa-rasanya itu sudah menjadi penyakit borok menahun yang makin lama makin parah dan menggerogoti negeri. Tak ada libur atau angka menurun, justru makin tahun angka kasus makin tinggi melambung.

Penyakit itu menyerang berbagai lapisan masyarakat utamanya para pemegang jabatan penting, mulai dari pimpinan suatu wilayah seperti Gubernur, Wali Kota, Bupati; wakil-wakil rakyat, seperti para anggota DPR, DPD, DPRD; kemudian ada aparat penegak hukum seperti Polri dan Pengadilan yang pernah dinyatakan sebagai lembaga paling korup oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di tahun 2017; dan bahkan lembaga yang bertugas memberantas korupsi malah ikut-ikutan tersangkut masalah korupsi.

Ironi, tapi memang inilah yang terjadi di negeri ini. Banyak dan berulang, membuat masyarakat tak lagi heran, hingga tak terasa lagi sebagai aib atau sesuatu yang memalukan. Di depan kamera wartawan para koruptor tersenyum melambaikan tangan, tak terindikasi rasa malu atau penyesalan. Pemandangan yang memuakan. Tambah dengan fasilitas penjara yang lebih mewah dari kamar kos mahasiswa, kemudian momen grasi dari negara. Menginap di penjara sebentar lalu keluar, kemudian kembali berada di puncak sistem sosial. Padahal mereka adalah penjahat kelas kakap, para bedebah pengkhianat rakyat, karena mereka Indonesia makin melarat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi mengapa, oleh media seolah mereka masih saja terhormat? Terakhir kasus korupsi kelas kakap, hangus menguap bersama terbakarnya berkas-berkas penting yang tinggal dalam gedung Kejaksaan Agung. Katanya kebakaran itu itu hanya gara-gara kecerobohan belaka, ada pihak-pihak tertentu yang dinilai teledor, karena merokok dalam gedung.

Masyarakat makin memicingkan mata, tidak percaya seolah itu semua hanya drama. Bagaimana Bisa? Kenapa? Banyak yang bertanya-tanya, semudah itukah? Seolah takdir sedang berpihak kepada para penjahat.

Kelahiran korupsi dan juga saudaranya yakni suap-menyuap tidak terlepas dari keberlangsungan sistem demokrasi kapitalis di negeri ini. Ketika seorang tokoh maju dalam suatu ajang pesta demokrasi, tidak bisa tidak dia harus menempuh berbagai macam upaya yang panjang dan mahal. Berbagai cara ditempuh untuk meningkatkan elektabilitas, iklan dan kampanye kesana kemari hingga politic money adalah sesuatu yang sangat lumrah dan wajar dalam iklim politik sekarang.

Semua hal-hal tadi pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit, jadi wajib tersedia mahar miliaran rupiah kalau mau ikut ajang kontestasi di negara demokrasi. Keluar uang banyak, sudah pasti. Lantas, kalo uang tidak mencukupi? Tenang, masih ada jalan. Bakal calon bisa menggandeng orang-orang kaya dari kalangan elit pengusaha untuk menjadi sponsor. Para pengusaha mengeluarkan uang, nanti kalo sudah menang, para pejabat tinggal bayar budi belakangan.

Dari sinilah semuanya berawal, tingginya harga yang harus dibayar dalam sebuah kontes demokrasi, didukung dengan iklim kapitalisme yang tumbuh subur di negeri ini, menjadikan politik sebagai sebuah ajang bisnis, siapa saja yang menang harus segera balik modal, atau segera membayar hutang. Mengandalkan gaji bulanan? Terlalu lama! Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan uang miliaran rupiah, bila hanya mengandalkan gaji.

Solusi instannya adalah mencari sumber-sumber lain di luar gaji, amplop-amplop liar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, atau istilah umumnya ceperan, bisa juga dengan kegiatan suap-menyuap, memberikan kemenangan tender-tender proyek pada pihak-pihak yang dulu berjasa, atau mempekerjakan karib kerabat kolega yang dulu ikut ambil peran ketika pencalonan. No Free Lunch! Tidak ada makan siang gratis. Selalu ada harga yang harus dibayar atas sebuah kemudahan yang didapat.

Siapa yang nanti akan merasa kesusahan? Rakyat pastinya. Karena politikus akan lebih fokus kepada siapa saja yang dulu memodali dia, daripada rakyat yang dulu menyumbangkan hak suara. Kebijakan-kebijakan akah lebih condong pada pebisnis, peraturan-peraturan akan lebih mempermudah pebisnis. Kenapa pebisnis? Sebab, sekali lagi, dulu yang modalin dia maju siapa? Orang kaya kan, pebisnis, pengusaha, dan sejenisnya. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah tiga bersaudara yang lahir dari rahim sistem kapitalis demokrasi. Anda tidak akan bisa menghapusya sebelum menghapus induknya dulu.(red_Uhiwa)

Ikuti tulisan menarik Hima Wati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler