Saatnya Korporatisasi Petani Tebu

7 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gaya Hidup Sehat Tanpa Gula dan Garam Berlebih
Iklan

Petani tebu terpuruk. Hanya dengan memodernisasi dalam bentuk koperasi dengan mindset industri bisa maju.

***

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kisah petani tebu kecil di Indonesia tak jauh dari kabar muram. Setiap musim panen, cerita yang sama berulang: harga gula jatuh, molase tak laku, dan petani bingung ke mana harus menjual hasilnya. Musim panen memang datang serempak, sementara konsumsi bersifat stabil dan menyebar dalam waktu. Dalam situasi itu, ketika produksi membludak, pasar justru belum siap menyerap. Petani tak punya cukup modal atau fasilitas penyimpanan, sehingga mereka terpaksa menjual dengan harga rendah.

Celakanya, antarpetani justru saling bersaing, bukan bersatu. Harga semakin jatuh. Baik gula maupun molase jadi komoditas yang terpinggirkan di tengah limpahan hasil panen.

Salah satu masalah krusial lainnya adalah masuknya gula rafinasi impor. Harga gula rafinasi bisa mencapai Rp12.000/kg, sementara gula petani lokal berada di kisaran Rp14.000/kg. Secara harga, tentu industri akan memilih yang lebih murah. Walaupun kebijakan membatasi gula rafinasi hanya untuk industri besar makanan dan minuman, realitasnya jauh lebih kompleks. Bagi perusahaan lebih penting menjadikan gula rafinasi sebagai bahan baku dengan nilsi tambah besar dari pada rembeskan gula rafinasi ke pasar umum dengan marjin jauh dibawah value added jika diolah. Dan dengan resiko kekurangan akan bahan baku. Tapi ada keharusan menyalurkan ke perusahaan industri kecil melalui koperasi-koperasi industri kecil yang jauh lebih sulit diawasi secara ketat. Baik karena banyaknya perusahaan kecil dan sulit mengaudit kebutuhan nsebenarnya. Dsn bisa saja marjin 2 rb jual ke pasar umum laba nya cukup berarti bagi mereka

Di sisi produksi, petani tebu rakyat juga menghadapi tantangan besar. Produktivitas mereka jauh tertinggal dari perkebunan besar. Rata-rata hanya 70 ton tebu per hektare, dengan rendemen di bawah 8 persen. Bandingkan dengan kebun besar di Lampung yang mampu menghasilkan 90 ton per hektare dengan rendemen di atas 10 persen. Artinya, biaya produksi petani kecil jauh lebih mahal per kilogram gula yang dihasilkan.

Hal ini diperburuk oleh praktik budidaya yang tidak sesuai dengan standar. Banyak petani tetap menggunakan tanaman tebu dari anakan hingga lebih dari 10 tahun. Padahal, secara ideal, tanaman sebaiknya dibongkar dan ditanam ulang setelah tiga tahun agar hasil tetap optimal. Tanpa rotasi dan benih unggul, lahan pun menua, hasil semakin menyusut.

Sejak 2014, ketika produksi gula petani sempat mencapai 2,5 juta ton, hingga kini tidak terlihat ada peningkatan berarti. Malah cenderung menurun. Ini menjadi sinyal bahwa tanpa perubahan mendasar, sektor pergulaan rakyat hanya akan jalan di tempat, bahkan bisa terancam lenyap.

Kondisi hubungan petani dengan pabrik pun seringkali timpang. Dalam sistem maklon, pabrik mengambil sekitar 30 persen dari hasil sebagai imbalan pengolahan, dan sisanya diserahkan kepada petani untuk dijual sendiri. Tanpa koperasi yang kuat, petani tak punya posisi tawar. Mereka terjebak dalam sistem yang tidak memberi kepastian harga atau perlindungan saat terjadi over supply.

Sementara jika ada pabrik penggilingan baru. Mereka diharuskan bikin kebun sendiri kesulitan mendapat lahan luas. Sementara kontrak dengan petani kecil yg banyak, disamping ribet juga bisa sulit dapat bahan baku tebu yang mutunya standar

Sudah saatnya petani tebu bergabung dalam koperasi membentuk korporasi dengan mind set industri. Bisa kontak Win Win dengan pabrik atau malah punya pabrik sendiri. Koperasi petani tidak hanya menjadi wadah administratif. Mereka harus bergerak menjadi korporasi: punya modal, punya gudang penyimpanan, punya akses ke teknologi, dan kekuatan untuk bernegosiasi langsung dengan industri. Korporatisasi petani adalah satu-satunya jalan agar petani kecil naik kelas. Tapi pertanyaannya: siapa yang memulai dan mendorong perubahan ini?

Tanpa kehadiran negara atau swasta yang berani memfasilitasi transformasi ini, kita hanya akan terus mendengar keluhan yang sama dari petani yang sama — setiap musim panen datang.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Haniwar Syarif

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler