Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Ode untuk Aspal Buton: Ratapan Ketidakpedulian Para Pemimpin
3 jam lalu
Ode ini bukan sekadar rintihan, melainkan undangan untuk segera bertindak.
***
Di tepi pantai Buton, angin malam membawa wangi bitumen yang pekat. Gunung-gunung hitam berdiri bagai orkestra bisu menanti aba-aba. Namun tak ada konduktor, tak ada pemimpin yang mengangkat baton. Hanya desah laut yang mengadu pada langit, merintih memanggil nurani bangsa.
Aspal Buton adalah simfoni kedaulatan yang tak pernah dimainkan. Setiap butirnya menyimpan janji jalan tanpa impor, janji menuju kemerdekaan sejati. Tetapi janji itu lenyap seperti nada yang hilang di tengah partitur kosong. Para pemimpin berjalan tergesa, menutup telinga dari harmoni yang minta didengar.
Presiden berganti, pidato bergema, tetapi perhatian tak juga tiba. Pak Jokowi sempat menabuh gendang penghentian impor aspal, namun gaungnya pudar di angin politik. Kini Pak Prabowo duduk di singgasana, tetapi suaranya tidak menyentuh karang Buton. Apakah hati nurani para pemimpin telah tertimbun batu kekuasaan?
Rakyat Buton menatap langit, menunggu satu bintang jatuh membawa kabar gembira. Mereka menyiapkan tangan, tenaga, dan doa untuk negeri. Namun doa-doa itu seolah terhenti di awan kepentingan. Langit malam menjawab dengan sunyi yang menyesakkan dada.
Setiap tetes keringat penambang adalah bait puisi tak tertulis. Mereka menggali bumi dengan keyakinan bahwa tanah air akan peduli. Tetapi negeri ini sibuk menambal jalan dengan aspal impor. Seperti sajak di pasir, terhapus ombak sebelum sempat dibaca.
Buton bukan sekadar pulau, ia adalah kitab raksasa yang menunggu dibuka. Cadangan 662 juta ton adalah huruf-huruf emas dalam sejarah bangsa. Namun halaman itu dibiarkan berdebu di rak kebijakan. Para pemimpin berjalan lewat tanpa menoleh, seolah huruf-huruf itu tak bermakna.
Oligarki impor aspal menari di jalan raya yang kita lalui. Mereka menghitung laba sementara rakyat Buton menghitung luka. Devisa miliaran dolar terbang seperti burung malam. Hanya ratap gelombang yang mendengar jerit pilu kehilangan itu.
Bukankah pemimpin lahir untuk melindungi, bukan melupakan? Bukankah sumpah jabatan adalah janji kepada tanah air? Mengapa janji itu terasa pahit di telinga Buton? Seperti nyanyian patah hati yang terus diulang tanpa jawaban.
Setiap malam, tambang hitam menyala bagai lilin raksasa. Mereka menunggu pelita kebijakan, bukan sekadar kunjungan seremonial. Namun yang datang hanya kamera media dan kata-kata hambar. Api harapan meredup menjadi bara kesedihan abadi.
Anak-anak Buton tumbuh dengan cerita tentang kekayaan aspal. Mereka menggambar jalan-jalan megah di buku sekolah. Tetapi gambar itu tetap di kertas, tak menjelma kenyataan. Impian mereka terjebak di halaman rencana yang tak pernah ditandatangani.
Teknologi telah siap, para insinyur menguji, standar dunia sudah terpenuhi. Tetapi pemerintah berdalih seolah kualitas masih tanda tanya. Dalih itu seperti pagar besi di tengah taman bunga. Menyakitkan nalar dan tak masuk akal.
Setiap kebijakan yang menunda adalah nada sumbang dalam orkestra bangsa. Kita menyanyikan lagu kedaulatan sambil menari di atas aspal impor. Nada itu melukai nurani, memecah harmoni tanah air. Buton hanya bisa menangis lirih dalam chorus kekecewaan.
Apakah para pemimpin tidak mendengar? Atau mendengar namun memilih diam? Diam mereka adalah palu godam yang memecah harapan. Setiap detik adalah dentang jam yang menunda keadilan.
Rakyat tidak meminta istana megah atau kursi empuk. Mereka hanya meminta keberanian untuk berdiri di tanah sendiri. Apakah itu terlalu mahal bagi para penguasa? Pertanyaan itu melayang seperti doa yang patah sayap.
Aspal Buton adalah lagu yang menunggu penyanyi sejati. Bukan sekadar pejabat dengan mikrofon, tetapi pemimpin yang rela berkorban. Tanpa itu, lagu ini hanya gema di gua sunyi. Menjerit namun tidak sampai ke telinga kebijakan.
Hari berganti, gelombang samudra terus memukul tebing. Waktu tidak menunggu, sejarah tidak memberi diskon. Setiap tahun impor terus mengalir, menenggelamkan peluang emas. Apakah nurani pemimpin masih hidup, atau sudah karam bersama kapal ambisi?
Ode ini bukan sekadar rintihan, melainkan undangan untuk segera bertindak. Dengarkanlah, wahai para pemimpin, sebelum semua tinggal kenangan pahit dan penyesalan. Aspal Buton memanggil dengan asa yang sama, tahun demi tahun. Apakah hati kalian masih mampu mendengar, atau sejatinya telah beku selamanya?
Kini, ratapan itu menjadi cermin bagi kita semua. Jika para pemimpin tetap menutup telinga, maka rakyatlah yang harus menyalakan obor kesadaran. Sebab kedaulatan tidak lahir dari getaran kata-kata, melainkan dari keberanian kolektif menuntut keadilan.
Buton menunggu, namun waktu tidak akan menunggu. Setiap hari tanpa kebijakan adalah batu lain yang menutup pintu kemerdekaan ekonomi. Jika bangsa ini sungguh ingin benar-benar merdeka, langkah pertama adalah membuka mata terhadap kekayaan yang sudah ada di depan pelupuk mata.
Maka dengarkanlah, wahai para pemimpin negeri. Jangan biarkan sejarah menulis nama kalian sebagai generasi yang tuli terhadap panggilan tanah sendiri. Jadilah konduktor yang mengangkat baton, menyalakan simfoni kedaulatan bangsa, sebelum suara rakyat tenggelam dalam keheningan abadi.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut

Cinta yang Disakiti
3 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler