x

Ketua KPU Kediri Ninik Sunarmi memperlihatkan surat suara Pilkada saat proses penyortiran dan pelipatan di Gedung Bagawanta, Kediri, Jawa Timur, Kamis, 26 November 2020. Surat suara pilkada calon tunggal tersebut mulai memasuki proses penyortiran dan pelipatan guna memenuhi kebutuhan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kediri pada 9 Desember mendatang. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzan

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 20 Desember 2020 05:24 WIB

Namanya Pesta Demokrasi, Tapi Calonnya kok Cuma Satu, Menang Mutlak Pula

Mengapa pilkada kemarin lebih layak disebut pestanya kaum elite politik? Pertama, calon-calon alternatif tidak tidak bisa muncul, di antaranya karena rintangan sistemik, sehingga mayoritas calon tunggal menang mutlak. Kedua, calon-calon yang maju ke palagan pilkada sudah dipilih oleh elite partai, sementara rakyat hanya menjadi alat pemberi legitimasi di TPS. Ketiga, tidak ada kompetisi gagasan yang ditawarkan kepada masyarakat sebab calonnya hanya satu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Secara kebahasaan, agak susah memahami pemilihan kepala daerah yang baru lalu sebagai pesta demokrasi, sebab yang namanya pesta lazimnya tersedia menu yang beragam sehingga yang mendatangi pesta dapat memilih sajian yang paling menawan dan lezat menurut mereka. Jika sajiannya berupa menu tunggal alias hanya ada satu menu, lebih pas jika disebut pesta garingan—di jawa timur, kalau orang bilang makannya hanya dengan krupuk atau sambal saja tanpa lauk pauk lainnya, namanya garingan.

Nah, pilkada kemarin lebih pas disebut pestanya kaum elite dalam memperebutkan legitimasi rakyat. Para calon bupati, walikota, ataupun gubernur, membutuhkan keabsahan dalam memerintah, dan untuk itu mereka—dengan dukungan elite politik beserta partainya—memerlukan suara rakyat. Bagi para elite politik di negeri ini, tidak penting sekalipun pilkada diikuti satu calon saja, sebab dengan hanya calon tunggal, berarti kemenangan sudah di tangan bahkan sebelum pemilih mendatangi TPS.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kotak kosong belum begitu populer di sini, tak lain karena kesadaran politik yang masih harus digenjot. Sebagian warga di wilayah pemilihan tertentu yang berusaha membangunkan kesadaran pemilih mengenai pentingnya kotak kosong belum membuahkan hasil yang diinginkan. Boleh jadi, karena kotak kosong sebagai simbol ‘calon kepala daerah alternatif’ belum dipahami maknanya, belum dimengerti sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni politik oleh elite.

Hal itu terlihat dari hasil penghitungan suara sementara. Menurut Bawaslu, calon-calon tunggal di 25 daerah pilkada mengantongi suara lebih tinggi dari kotak kosong atau kolom kosong. Menurut Bawaslu pula, bahkan di Kota Semarang, Badung, dan Boyolali, calon tunggal mengantongi suara lebih dari 90 persen, sementara di tempat lainnya di atas 70 persen. Luar biasa, bukan? Sayangnya, ada yang terasa kurang sehat dari hanya ada satu calon dalam pilkada.

Dengan hanya ada satu calon, maka tidak ada kompetisi—bahkan sekalipun ada dua calon, namun ‘njomplang sekali’ kekuatannya, juga praktis tidak ada kompetisi. Contohnya di Solo, Bajo tak berkutik di hadapan Gibran-Teguh. Tidak ada partai yang mengusung calon alternatif; PKS bahkan angkat bendera putih sebelum bertarung. Di Semarang kota, seluruh partai mendukung calon tunggal. Lah, apa ini yang disebut pesta demokrasi—pestanya rakyat?

Tanpa kompetisi, apa yang dipestakan? Apa lagi dengan hanya calon tunggal, ibaratnya rakyat hanya diminta membubuhkan stempel ‘Oke kamu resmi terpilih oleh rakyat jadi bupati, walikota, atau gubernur.’ Kepala daerah yang terpilih melalui pilkada sebagai calon tunggal sayangnya tidak sadar atau malah tidak peduli bahwa dengan hanya calon tunggal, maka kualitas demokrasi mengalami kemerosotan. Bagi mereka, satunya suara partai politik adalah soliditas dukungan dan kepercayaan elite politik, selanjutnya tinggal meminta stempel peresmian oleh rakyat di TPS. Rakyat hanya menjadi sumber legitimasi yang pasif, nrimo atas apa yang dipilihkan oleh elite politik.

Mengapa pilkada kemarin lebih layak disebut pestanya kaum elite politik? Pertama, calon-calon alternatif tidak muncul atau tidak bisa muncul, di antaranya karena rintangan sistemik, misalnya harus dicalonkan oleh parpol dengan sekian kursi atau jika lewat jalur independen harus didukung warga sekian puluh ribu. Akibatnya, sirkulasi kepemimpinan berputar di antara orang-orang yang didukung elite partai. Sebagian calon ini bahkan ada yang bukan kader partai tulen alias kader dadakan yang direkrut karena popularitas, kapital, atau kedekatannya dengan elite partai, khususnya ketua umum partai.

Kedua, calon-calon yang maju ke palagan pilkada sudah dipilih oleh partai politik—lebih tepat oleh elite politik penguasa partai—sementara rakyat hanya menjadi alat pemberi keabsahan atau legitimasi melalui pencoblosan di TPS. Seperti di Solo, dengan dukungan mayoritas partai, sebelum hari pencoblosan pun Gibran secara kalkulatif sudah terpilih, dan pencoblosan hanya bentuk stempel pengesahan. Para elite politik bersekongkol mengelabui rakyat seolah-olah inilah demokrasi yang sejati, padahal banyak rintangan yang menghalangi calon yang tidak dikehendaki elite partai untuk ikut berkompetisi. Bahkan calon pilihan warga partai sendiri bisa dibatalkan jika tidak sesuai dengan kehendak elitenya.

Ketiga, tidak ada kompetisi gagasan yang ditawarkan kepada masyarakat sebab calonnya hanya satu. Lha apa menariknya pilkada tanpa kompetisi gagasan? Dengan calon tunggal, gagasan pun hanya tunggal, tidak ada gagasan alternatf yang bisa dipertimbangkan oleh pemegang hak suara. Rakyat diminta nrimo secara sistematis melalui calon tunggal. Meskipun pemegang suara alias rakyat berduyun-duyun mendatangi TPS, mereka lebih terlihat sebagai sekedar menunaikan hak suara sekedarnya, nyoblos tanpa kesadaran politik yang memadai.

Jadi, pilkada kemarin sungguh lebih sebagai pestanya elite politik. Pilkada ini juga merupakan anomali dalam praktik demokrasi yang jamak terjadi, karena ternyata calon tunggal meraih kemenangan mutlak di wilayah pemilihan yang jumlah pemilihnya besar di dalam sistem multipartai. Namun barangkali inilah wujud nyata hasil permusyawaratan para elite untuk menetapkan kepala daerah agar semua pihak merasa tenang dan senang. Perkara apakah ini sehat bagi pendewasaan demokrasi kita, tampaknya para elite politik tidak begitu mempedulikan. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler