x

Iklan

Faqih usman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Januari 2020

Selasa, 22 Juni 2021 12:27 WIB

Sejarah Singkat 'Sang Pencerah' Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah

Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah pemilik nama kecil Muhammad Darwis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Muhammad Darwis atau yang biasa dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama dengan pemikiran tajdid atau pembaharuan. Anak keempat dari tujuh bersaudara, putra dari K.H. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman dan Siti Aminah binti almarhum K.H. Ibrahim ini lahir di kampung Kauman, Yogyakarta, di bawah naungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 1 Agustus 1868 M.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa ia merupakan keturunan dari Ki Ageng Gribig (salah satu ulama pada zaman Mataram) dan Maulana Ibrahim (Sunan Gresik). Silsilahnya adalah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, K. H. Muhammad Sulaiman, K. H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan). Nama Ahad Dahlan didapat setelah pulang dari menunaikan haji, nama yang disematkan oleh para Kyai pada jaman itu. Dan mendapat kepercayaan dari Kesultanan Yogyakarta menjadi Khatib Amin.

Fakta unik yang jarang diketahui oleh masyarakat adalah dia satu guru dengan pendiri Nahdatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari yang juga merupakan seorang pendiri pesantren Tebuireng. Ahmad Dahlan pernah menjadi santri dari Kiai Sholeh Darat selama dua tahun bersama dengan K. H. Hasyim Asy'ari yang sebelumnya, keduanya sudah saling mengenal ketika belajar di sebuah pesantren di Madura di bawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekembalinya kedua kyai besar ini ke tempat tinggal masing-masing datang kesempatan dari  Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang mengutus Raden Ngabei Ngabdul Darwis (panggilan Kraton terhadap Ahmad Dahlan) untuk menuntut ilmu di Makkah. Di sana, ia berjumpa kembali dengan kawan lamanya, Hasyim Asy'ari dan berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy.

Di Makkah inilah, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah.

Berbekal ilmu yang sudah didapat saat di Makkah, sekembalinya dari sana pada tahun 1909 bergabung dengan organisasi Budi Oetomo. Organisasi yang pada zamannya sudah melahirkan banyak tokoh-tokoh bangsa.

Lalu tiga tahun setelahnya, tepatnya pada 18 November tahun 1912 M Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Berangkat dari dasar pemikirannya tentang gagasan dasar pemikirannya yang dilatarbelakangi oleh beberapa hal, diantaranya: (1) Keprihatinan terhadap umat Islam pribumi, (2) Kesenjangan pendidikan, dan (3) Pertarungan melawan Kristen.

Ahmad Dahlan kiprah dalam dakwahnya fokus mendirikan amal usaha seperti mendirikan rumah kesehatan, rumah sakit, panti asuhan, pengasuhan fakir miskin, sekolah, dan madrasah. Pada awal pendiriannya beliau menjual beberapa barang di rumahnya agar amal usahanya tetap berjalan.

Selama merintis amal usahanya, banyak sekali tantangan dan celaan dari masyarakat sekitar. Dalam film Sang Pencerah diceritakan beliau pernah dianggap kafir karena mendirikan sekolah dengan cara Belanda yaitu menggunakan meja, kursi dan papan tulis. Diceritakan juga beliau dianggap kafir karena merubah arah kiblat yang menurut ilmu astronomi yang dikuasainya arah kiblat pada zaman itu melenceng dari ka’bah.

Celaan dan hinaan tersebut dating dari masyarakat yang kolot tentang perkembangan ilmu dan penuh dengan TBC (tahayul, bid’ah, churafat). Hinaan yang tidak menyurutkan semangat berdakwah beliau malah menjadi pecut agar semakin bersemangat mengentas kebodohan dan kesesatan masyarakat pada zaman itu.

Karena kegiatannya yang sangat sibuk, Ahmad Dahlan menderita gangguan kesehatan sejak tahun 1922. Atas saran seorang dokter, pada tahun 1923 ia harus beristirahat di Gunung Tretes, Malang, Jawa Timur, sebelum akhirnya kembali ke Yogyakarta untuk menghadiri pertemuan tahunan Muhammadiyah.

Kesehatannya terus menurun hingga akhirnya Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta, dan diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden nomor 657 tahun 1961.

 

Salah satu kalimat yang terkenalnya adalah: Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari Hidup di Muhammadiyah.

Ikuti tulisan menarik Faqih usman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu