x

Situs Kerajaan Mengwi (Dokumentasi Pribadi)

Iklan

Tatang Hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 3 Agustus 2021 16:11 WIB

Napak Tilas Dakwah Islam di Bali: Utang Budi Umat Islam Bali Kepada Palestina

Saat itu diriwayatkan ada seorang raja bawahan dari Majapahit, namanya Raja Kresna Kapakistan dari Kerajaan Gel Gel, yang sekarang di Kabupaten Karang Asem. Dalam kitab yang disebut sejarah Dalem Waturenggong dijelaskan ketika Raja Kresna Kapakistan melakukan kunjungan menghadap Majapahit, dan ketika mau pulang oleh Raja Majapahit dia dikasih hadiah, hadiahnya berupa 60 prajurit terbaik untuk mengawalnya ke Bali dan 60 prajurit terbaik ini dalam sejarah Dalem Waturenggong di Bali disebutkan semuanya nyamaselam, nyama artinya saudara, selam artinya Islam. Inilah 60 muslim pertama di Bali, prajurit terbaik Majapahit yang dihadiahkan semuanya didikan Maulana Utsman Haji. Dengan riwayat ini dapat dinyatakan sebenarnya Umat Islam di Bali memiliki hutang sejarah dan hutang budi kepada Palestina.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Napak Tilas Dakwah Isla di Bali : Utang Budi Umat Islam Bali Kepada Palestina

Oleh : Tatang Hidayat (Pegiat Student Rihlah Indonesia)

Senin (1/7/2019) malam menuju Shubuh kala itu baru saja mata saya terpejam, tak lama ketika saya terlelap, seketika terbangun karena telingaku mendengar kumandang suara adzan Shubuh yang mengguncang sunyinya malam di Bali yang mendapat julukan Pulau Dewasa. Malam ini saya bermalam di lingkungan masyarakat Pasundan yang ada di Tabanan Provinsi Bali, otomatis mayoritasnya adalah muslim sehingga adzan Shubuh bisa terdengar dengan jelas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan suasana yang masih ngantuk karena 2 jam yang lalu baru saja mataku terpejam dan diri ini terlelap, saya segera menuju masjid yang ada di kawasan Tabanan. Masyarakat muslim di sana tua, muda, pemuda, dan anak-anak berbondong-bondong menuju masjid untuk melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah. Setelah selesai shalat, saya kembali ke tempat saudara dan ternyata saudara yang menjemputku sudah berangkat bekerja, kemudian saya menyempatkan diskusi dengan saudara yang lain.

Tak terasa karena asyiknya diskusi, langit Pulau Dewata mulai cerah, saya harus segera siap-siap untuk berangkat ke Gianyar, karena disana saya sudah ditunggu berhubung ada mau mengantarkanku menyusuri sudut-sudut kota di Pulau Dewata sekalian saya napak tilas ke tempat dimana ibu saya pernah menjalani waktu kecilnya di Bali. Namun sebelum berangkat, saya disediakan sarapan terlebih dahulu oleh saudara saya, setidaknya sarapan pagi itu bisa menegakkan punggungku dan mengisi energi yang sudah terkuras selama perjalanan kemarin.

Setelah selesai baru saya pamit kepada saudara saya yang sangat baik, yang telah menyambut bahkan rela malam-malam menjemputku di pelabuhan. Dari perkampungan masyarakat Pasundan, saya segera berangkat ke Gianyar. Di sana saya sudah ditunggu oleh saudara saya yang lain, sesampainya di rumah saudara saya, saya sejenak beristirahat sebentar, karena mataku masih terasa ngantuk sebab perjalanan malam yang melelahkan.

Setelah semuanya siap, saya segera bangun dan berangkat bersama saudara saya sekeluarga berikut istrinya pun ikut padahal ia sedang mengandung 9 bulan. Saya di ajak ke Pantai Kuta salah satu pantai yang sangat terkenal di Bali. Akses jalan menuju Pantai Kuta sangat macet, maklum pantai tersebut menjadi destinasi wisata andalan Bali. Sesampainya di Pantai Kuta, kami memarkirkan mobil terlebih dahulu di salah satu mall, kemudian shalat Dzuhur terlebih dahulu di salah satu mushola yang ada di mall tersebut, saya melanjutkan shalat Ashar jama takdim secara qashar, tak disangka di mall yang ada di Pantai Kuta ada mushola yang lumayan cukup besar, bersih, sejuk, nyaman dan wangi, meskipun lokasinya berada di basement.

Mushola ini bagaikan kilauan cahaya tersembunyi yang menyinari Pantai Kuta, Bali. Shalat Lima waktu diselenggarakan di mushola ini, adzan dan iqomah berkumandang, sehingga kalimat-kalimat tauhid setidaknya bisa mewarnai kawasan Pantai Kuta, Bali. Setelah selesai shalat dan berdo’a, saya diajak berolah alih sejenak menikmati setiap sudut Pantai Kuta.  

Bali tentu identik dengan pantainya, sejarah salah satu pantai terkenal di Bali, yakni Pantai Kuta. Pantai ini terletak di sebelah selatan Denpasar, ibu kota Bali. Sejak tahun 1960-an daerah ini sudah menjadi tujuan wisata mancanegara, dan telah menjadi objek wisata andalan. Daerah ini menjadi tempat wisata yang sangat sibuk di Bali. Pantai Kuta mulai dikenal sejak 1336 M, dimana Gajahmada dan pasukannya dari Majapahit, mendarat di bagian selatan pantai ini. Karena sering menjadi lokasi persinggahan, pelan-pelan daerah ini menjadi pelabuhan kecil. Warga pun menyebut kawasan di Banjar Segara Kuta ini dengan nama Pasih Perahu yang berarti pantai perahu (sejarahbali.com, 28/8/2017).

Sebelum menjadi kawasan wisata, Pantai Kuta merupakan sebuah pelabuhan dagang. Pada abad ke-19, salah seorang pedagang warga Denmark, Mads Lange, datang ke Bali untuk mendirikan basis perdagangan di Kuta. Mads Lange terkenal pandai bernegosiasi sehingga bisa merebut hati raja-raja Bali dengan Belanda. Salah saeorang penulis, Hugh Mahbett, juga menerbitkan sebuah buku berjudul “Praise to Kuta” yang berisi ajakan kepada masyarakat setempat untuk menyiapkan fasilitas akomodasi wisata. Buku ini bertujuan untuk mengantisipasi ledakan wisatawan yang berkunjung ke Bali. Buku tersebut kemudian menginspirasi banyak orang untuk membangun fasilitas wisata seperti penginapan, restoran dan tempat hiburan (sejarahbali.com, 28/8/2017).

Setelah saya bandingkan dengan pantai-pantai yang ada di Lombok yang mendapat julukan pulau seribu masjid, kalau boleh jujur menurut pendapat saya sebenarnya masih indah dan alami pantai-pantai yang ada di Lombok. Namun karena belum terkenal, pantai-pantai di Lombok belum menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Tak lama saya menghabiskan waktu di Pantai Kuta, karena hari itu matahari terik dan cuaca sangat panas, akhirnya kami pulang kembali untuk melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya.

Sesampainya di rumah, perjalananku di lanjutkan memakai motor, saya diajak menyusuri setiap sudut kota Badung dan Gianyar, menjelang sore hari saya diajak ke situs kerajaan Mengwi, salah satu situs kerajaan yang ada di Pulau Dewata. Diajaknya aku berolah alih di kawasan peninggalan kerajaan tersebut.

Nampak bangunan candi masih tersisa, dan kawasan tersebut dikelilingi oleh parit yang sangat indah. Saking asyiknya kami menikmati suasana di kawasan tersebut, tak terasa waktu segera menuju Maghrib, kami harus segera melanjutkan ke tempat berikutnya. Selanjutnya kami berangkat ke tempat penangkaran monyet, sungguh sangat banyak monyet yang ada di tempat itu. Seolah layaknya kerajaan monyet yang ada di Bali.

Ketika kami sedang berada di tempat penangkaran monyet, senja mulai terlihat itu tandanya Maghrib akan segera tiba. Oleh karena itu kami memutuskan untuk menghentikan perjalanan dan segera kembali pulang untuk melaksanakan shalat Maghrib. Kami melaksanakan shalat di salah satu masjid termegah dan terindah di Gianyar, Masjid Agung Al A’la, ya masjid ini bagaikan surga tersembunyi di Gianyar, Bali.

Masjid Agung Al A’la merupakan masjid yang dibangun di ibukota Kabupaten Gianyar. Masjid ini dibangun diatas tanah wakaf kemudian direnovasi secara total oleh Departemen Agama Kabupaten Gianyar. Fungsi utama masjid ini sebagai tempat ibadah para umat Islam yang berada di sekitar kabupaten Gianyar. Arsitektur masjid ini bergaya modern dengan desain minimalis tanpa memiliki cirikhas bangunan rumah di Bali. Masjid Agung Al A’la terletak di Jalan Kesatrian No.16 Lingkungan Candi Baru, kelurahan Gianyar, kecamatan Gianyar, kabupaten Gianyar, Bali 80511 (teamtouring.net).

Lokasi Masjid Agung Al A’la berada di pusat ibukota Kabupaten Gianyar. Posisi masjid ini berada di sebelah selatan Jalan Ngurah Rai Gianyar yang berada di jantung kota Gianyar. Cukup mudah menemukan masjid ini karena bangunan masjid ini merupakan bangunan masjid terbesar yang berada di pusat kota Gianyar. Masjid Agung Al A’la berdiri pada tahun 1967 M diatas tanah wakaf dengan nama Masjid Jami’ Al-A’la. Pada tahun 1983 dilakukan renovasi bangunan masjid meliputi perbaikan pintu, jendela, dan lantai masjid. Pada tahun 1992 dilakukan pelebaran area serambi masjid kemudian dilanjutkan pada tahun 1995 dengan renovasi masjid secara total. Perkembangan selanjutnya masjid ini ditetapkan dengan nama Masjid Agung Al A’la Gianyar (teamtouring.net).

Bangunan Masjid Agung Al A’la Gianyar terdiri dari dua lantai dimana bagian dasar digunakan sebagai kantor dan lantai dua digunakan sebagai tempat beribadah. Masjid ini menggunakan arsitektur modern dengan kubah besar berwarna hijau pada bagian atapnya. Arsitektur khas Bali hanya tampak pada bagian gapura dan pagar yang mengelilingi kawasan masjid ini. Fasilitas pendukung masjid cukup lengkap dan terawat dengan baik mulai tempat berwudlu, kamar mandi, wc, area parkir, dan kipas angin. Masjid Agung Al A’la menjadi salah satu pilihan umat Islam untuk beribadah di sekitar Gianyar. Agama Islam di wilayah Gianyar merupakan agama minoritas dengan jumlah pemeluk cukup sedikit. Pengunjung masjid ini sebagian besar merupakan umat Islam yang tinggal di sekitar Gianyar dan sisanya merupakan musafir termasuk wisatawan yang kebetulan melewati daerah ini (teamtouring.net).

Masjid itu lokasinya samping jalan dan bangunannya memang indah, maka nampak masyarakat yang ikut shalat di sana dari berbagai daerah, ada juga wisatawan sepertiku yang menyempatkan shalat di masjid itu. Awal mulai adanya cahaya Islam di Bali tidak bisa dilepaskan dengan peran dakwah Walisongo, bahkan dalam konteks ini umat Islam Bali mempunyai hutang budi kepada Baitul Maqdis (Palestina). Tepatnya sejak abad 15 M ketika mulai masifnya Islamisasi Nusantara masa Walisongo.

Diriwayatkan dalam beberapa sumber yang masyhur, ketika masifnya dakwah Islam masa Walisongo abad ke 15 M, saat itu ada seorang ulama dari Baitul Maqdis yang kita kenal sekarang Palestina, namanya Maulana Utsman Haji atau yang dikenal Sunan Ngudung datang mengarungi samudera sehingga sampai ke Ampel Denta, Surabaya.

Maulana Utsman Haji adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha yang berhijrah fii sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kesultanan Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak.

Maulana Utsman Haji adalah seorang Imam Masjid Agung Demak. Dikarenakan Maulana Utsman Haji ini adalah seorang yang pandai berperang, oleh Maulana Rahmat Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) direkomendasikan kepada raja Majapahit untuk menjadi pelatih tentara Majapahit.

Salim A Fillah (2020) menjelaskan Maulana Utsman Haji berangkat ke Raja Majapahit atas rekomendasi Maulana Rahmat Ali Rahmatullah. Kemudian Maulana Utsman Haji diangkat menjadi pelatih militer tentara kerajaan Majapahit. Hasil didikan Maulana Utsman Haji sangat luar biasa, didikannya menjadi tentara yang hebat semua.

Saat itu diriwayatkan ada seorang raja bawahan dari Majapahit, namanya Raja Kresna Kapakistan dari Kerajaan Gel Gel, yang sekarang di Kabupaten Karang Asem. Dalam kitab yang disebut sejarah Dalem Waturenggong dijelaskan ketika Raja Kresna Kapakistan melakukan kunjungan menghadap Majapahit, dan ketika mau pulang oleh Raja Majapahit dia dikasih hadiah, hadiahnya berupa 60 prajurit terbaik untuk mengawalnya ke Bali dan 60 prajurit terbaik ini dalam sejarah Dalem Waturenggong di Bali disebutkan semuanya nyamaselam, nyama artinya saudara, selam artinya Islam.

Inilah 60 muslim pertama di Bali, prajurit terbaik Majapahit yang dihadiahkan semuanya didikan Maulana Utsman Haji. Dengan riwayat ini dapat dinyatakan sebenarnya Umat Islam di Bali memiliki hutang sejarah dan hutang budi kepada Palestina.

Ba’da shalat maghrib, saya melanjutkan melaksanakan shalat Isya jama takdim secara qashar. Setelah itu baru saya pulang ke rumah saudara dan beristirahat untuk menyiapkan kepulanganku besok pagi. Alhamdulillah sementara dalam kunjungan pertama ke Bali saya bisa sedikit napak tilas dakwah Islam di Bali. 

Sebelum tidur, saya menyempatkan diskusi dengan saudara saya sekeluarga, dan mengucapkan terima kasih atas sambutan dan penerimaan yang baik sehingga saya bisa menyusuri beberapa sudut-sudut kota Gianyar, Badung hingga Denpasar . Ketika kantuk mulai menyerang, saya harus segera tidur dikarenakan besok Shubuh harus segera berangkat ke Bandara untuk mengejar keberangkatan pesawat.

Pukul 03.00 WITA saya segera bangun, ternyata saudara saya sudah menyediakan makanan untukku, meskipun malu malu, karena perut sudah keroncongan akhirnya saya memakan makanan tersebut, setidaknya itu bisa mengurangi kelaparanku sebelum naik pesawat. Setelah selesai, baru saya segera berangkat menuju Bandara Internasional Ngurah Rai International.

Tepat sebelum adzan Shubuh saya sudah sampai di bandara, suasana bandara masih sepi, saya menyempatkan shalat Shubuh di Mushola Bandara. Suasana Bandara Ngurah Rai sangat baik dan bersih, sehingga saya nyaman shalat di musholanya. Ketika saya hanyut dalam dzikir setelah shalat, tak terasa waktu keberangkatan pewasat  segera tiba. Tepat hari itu Selasa (2/7/2019) pukul 06.00 WITA adalah jadwal keberangkatanku. Setelah melewati chek in, saya menunggu take off pesawat di boarding pass.

Sebenarnya tujuan rute waktu itu saya sudah memesan tiket pesawat jauh hari adalah dari Bali ke Bandung, namun karena waktu itu tepat diberlakukannya penerbangan yang tujuan Bandung selain dari Pulau Jawa dipindahkan semuanya ke Bandara Kertajati Majalengka, akhirnya mau tidak mau saya harus rela diturunkan di Majalengka. Tepat pukul 06.00 WITA maskapai yang saya naiki baru saja take off meninggalkan Bandara Ngurah Rai.

Saat pesawat baru saja meninggalkan Bandara, saya melihat dengan jelas wonderfull Indonesia, pemandangan Pulau Dewata yang dikelilingi laut begitu sangat indah dan jelas di hadapanku, sembari mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta atas kesempatan yang mulia dan berharga saya pun tak hentinya bertasbih atas  keindahan ciptaan Sang Pencipta. Saya pulang kembali  ke tanah pasundan tepat diiringi matahari terbit dari timur.

Perjalananku di udara menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam 10 menit. Sebelum landing di Bandara Kertajati, saya melihat keindahan bumi Majalengka yang dikelilingi pesawahan meskipun sawahnya saat itu begitu kering bagaikan savana. Pilot maskapai kali ini begitu baik dan apik mengendarakan pesawatnya sehingga perjalananku kali ini begitu lancar. Setibanya di Bandara Majalengka, nampak suasana bandara yang berbeda dengan bandara bandara-lainnya di Indonesia. Suasana beda karena bandara Majalengka begitu sepi berbeda dengan bandara lainnya yang ramai.

Saya disambut oleh petugas bandara dan sesekali diiringi oleh musik khas dari tanah pasundan dengan suling sebagai ciri khasnya. Setelah ini saya harus menempuh perjalanan 3 jam menuju Bandung, entahlah karena kebijakan seperti ini apakah efektif atau efisien dengan dipindahkannya penerbangan dari dan tujuan luar Pulau Jawa yang menuju Bandung.

Alhamdulillah dengan proses yang tidak mudah, saya bisa selamat sampai kembali ke Bandung. Perjalanan sejak Rabu, 26 Juni 2019 hingga Selasa, 2 Juli 2019 begitu sangat mengesankan bagiku. Tentunya saya sangat berhutang budi kepada Asy Syahid KH. Zainal Musthafa dan para syuhada Sukamanah, Asbab perjuangan mereka, saya mendapatkan kesempatan yang mulia dan berharga berolah alih di Indonesia bagian tengah. Meskipun melelahkan tetapi mengasyikan.

Setelah perjalanan tersebut, saya semakin yakin untuk terus mengkhidmatkan diri kepada para ulama, mau sendiri atau ada teman saya akan terus menguak para tokoh-tokoh pejuang yang ada di Nusantara. Ini merupakan sebuah ikhtiar yang ku lakukan, untuk mengenalkan nusantara kepada dunia melalui para tokoh pejuang, khususnya tokoh tokoh pejuang yang ada di Jawa Barat. Saya pun akan terus menjaga komitmen keumatan dan perjuangan para ulama pendahulu ku dalam usahanya untuk meninggikan kalimatullah di bumi ini. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

 

Ikuti tulisan menarik Tatang Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler