Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Jenius, Otentisitas, Hasil Hari Karya dan Paradigma Sendiri
9 jam lalu
***
Ahmad Wansa Al-faiz.
Pernyataan ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap pandangan umum yang sering menilai jeniushanya dari reputasi atau pengakuan eksternal. Padahal jeniusyang sejati terletak pada otentistas alias kemampuan individu melahirkan karya, sistem berpikir, dan paradigma baru yang lahir dari dirinya sendiri, bukan sekadar mengikuti standar sosial atau selera mayoritas.
Dalam filsafat, Martin Heidegger menyebut otentistas sebagai keberadaan yang setia pada “ada”-nya sendiri, bukan sekadar ikut arus das Man (massa). Dalam konteks ini, seorang genius bukanlah orang yang hanya pandai menyesuaikan diri, melainkan yang berani mengekspresikan keunikan eksistensialnya melalui karya.
Hal ini sejalan dengan pandangan Immanuel Kant tentang jenius sebagai bakat bawaan yang memberikan aturna pada seni. [1]. Jenius ukan tentang sekadar berbeda, melainkan tentang menciptakan standar baru dari dalam dirinya.
Bukan Subyektivitas
Perlu dibedakan antara subyektivitas dan paradigma otentik. Subjektivitas bisa sekadar opini pribadi tanpa daya universal. Tetapi paradigma otentik lahir dari proses refleksi mendalam, lalu diwujudkan dalam karya yang memiliki daya jelajah lebih luas.
Misalnya:
- Einstein tidak sekadar “beropini” bahwa waktu relatif, ia membangun paradigma baru tentang ruang-waktu melalui teori relativitas.
- Raden Saleh tidak hanya “berbeda gaya” dalam melukis, melainkan menciptakan jembatan paradigma seni modern di Indonesia dengan teknik Eropa yang dipadukan dengan sensibilitas lokal.
Dengan kata lain jenius adalah otentisitas yang produktif. Ia mengubah cara pandang, membuka kemungkinan baru, dan meninggalkan jejak nyata dalam sejarah pemikiran maupun seni.
Psikologi Habitus
Jika ditinjau dari psikologi kognitif, genius bisa dipahami sebagai hasil interaksi antara core behavior (bakat dasar), habitus (disposisi sosial), dan kreativitas individu yang melampaui habitatnya. Ia lahir bukan karena seseorang dipaksa menyesuaikan diri, melainkan karena ia berani mengekspresikan inti kognitifnyasecara otentik.
Di sinilah perbedaan penting dengan pintas atau dungu yang fiktif dan kontekstual. Genius bukan soal label, tetapi soal kapasitas otentik untuk melahirkan karya dan paradigma baru.
Penutup.
Jenius sejati adalah otentisitas yang mewujud dalam karya, bukan sekadar subjektivitas atau label sosial. Ia berdiri pada fondasi internal, --paradigma sendiri-- yang kemudian membentuk ruang baru dalam ilmu, seni, atau pemikiran. Dengan demikian, genius bukan pintar yang diakui orang lain, melainkan asli, kreatif, dan transformasional, meski kadang baru dipahami setelah ia tiada.
[1]: Immanuel Kant, Critique of Judgment (1790), terj. J. H. Bernard (New York: Hafner, 1951).

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler