x

cover buku Mincuk

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 6 Agustus 2021 07:48 WIB

Mincuk - Kumpulan Cerpen Bakdi Soemanto

Dalam cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku ini, Bakdi Soemanto melakukan kritik yang sangat halus tentang kehidupan. Kritiknya begitu halus dan penuh humor, sehingga mereka yang dikritik pun bisa ikut tersenyum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Mincuk

Penulis: Bakdi Soemanto

Tahun Terbit: 2004

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gama Media  

Tebal: x + 106

ISBN: 979-9552-58-3

 

Membaca kesebelas cerita pendek Bakdi Soemanto yang terhimpun dalam buku ini sungguh mengasyikkan. Saya tak perlu menekuk wajah dan mengerutkan dahi karena topik-topik yang dibawakan oleh Bakdi Soemanto adalah topik yang saya kenal sehari-hari. Saya tak perlu menggali pengetahuan yang khusus, apalagi membuka referensi supaya mengerti apa yang beliau kisahkan.

Cerpen-cerpen di buku kumpulan cerpen ini berisi kritik-kritik yang menggelitik. Bakdi Soemanto tidak secara terbuka mengecam atau mengancam terhadap hal-hal yang dirasa tidak benar dalam kehidupan. Ia memakai sindiran halus yang bahkan orang yang disindirnya akan ikut tersenyum. Ia menggunakan tema-tema sederhana. Namun ia memakai tokoh-tokoh yang lintas benua dan lintas budaya. Ia membawa nama Mincul, nama yang umum dipakai di kalangan perempuan Jawa. Tetapi dia juga menggunakan nama Diana Stephanie yang sangat barat. Ia memakai nama Kastawa, Parta nama-nama lelaki di budaya Jawa, tetapi juga memakami nama Zadok, Hushai, Kaleb dan Nadab nama-nama orang Yahudi dan de Fits serta Alex yang umum dipakai orang Eropa.

Dari judul yang dipilih pun saya paham. Mincuk sangat familiar bagi orang yang hidup di Jawa, apalagi yang lahir sebelum tahun 1980 dan pernah tinggal di desa. Muncuk adalah makan dengan menggunakan selembar daun pisang yang dibentuk segitiga, sehingga mampu menjadi wadah bagi makanan yang akan kita santap. Pincuk – kata benda, adalah pengganti piring yang dibuat dari daun pisang. Namun Mincuk dalam cerpen ketiga di buku ini, bukanlah selembar daun pisang yang menjadi piring. Mincuk adalah sosok perempuan pekerja keras yang berhasil dalam karir di Negeri Belanda. Namun kisah yang diunjukkan oleh Bakdi Soemanto bukanlah tentan si Muncuk itu sendiri. Tetapi ia membahas prasangka tentang seorang lelaki yang tinggi besar dan berwajah jelek senantiasa jahat. Prasangka yang demikian tentu saja salah besar. Sebab, si Tapir yang berwajah jelek dan berbadan tinggi besar ternyata adalah orang yang suci.

Cerpen pertama adalah cerpen yang sangat menarik bagi saya. Judulnya Kartu. Entah mengapa Bakdi Soemanto tidak memilih judul cerpen ini sebagai judul bukunya. Padahal cerpen ini sangat bagus untuk menyindir birokrasi Indonesia yang mbulet. Bukankah birokrasi yang mbulet ruwet ini belum berhasil terurai, meski Indonesia sudah berusia hampir 10 windu? Saya suka cerpen ini karena ceritanya renyah. Panjang cerpennya pun benar-benar pendek, sesuai dengan genrenya cerita pendek. Myong Dhut, seorang miskin tetapi tak mau dibantu secara cuma-Cuma memerlukan pekerjaan supaya mendapat imbalan untuk mengurus sebuah kartu. Katu tersebut dibutuhkan sebagai syarat melamar kerja. Namun ternyata untuk mengurus kartu tersebut, bukan hanya biaya yang diperlukan. Melainkan kartu-kartu lain yang Mying Dhut belum punya. Jadilah untuk mendapat sebuah kartu anda harus mempunyai kartu lainnya. Bukankah Bakdi Soemanto sedang menyindiri birokrasi yangblulet karena hanya melangkah dari sebuah kart uke kartu lainnya?

Di cerpen berjudul Minten, Bakdi Soemant sekalilagi menggugat tentang stereotipik. Kali ini yang digugat adalah orang-orang yang disangkakan terlibat kepada sebuah pengkhianatan kepada negara. Masyarakat melabelinya sebagai orang jahat. Bahkan keluarga dekat ikut-ikutan membenci. Sang mertua perempuan membujuk Minten, anaknya supaya melupakan suami yang dicintainya. Jadilah Minten yang tahu betul siapa suaminya dan sangat mencitainya menjadi bingung dan tertekan akibat semua tuduhan yang diarahkan kepada suami tercinta. Pada cerpen Wajah, kisah yang setipe dibabar oleh Bakdi Soemanto. Muhdin yang wajahnya mirip dengan Kobra, merasa bersalah karena Kobra yang disangkanya adalah ayahnya adalah orang jahat.  Muhdin yang dibesarkan oleh ayah tirinya sampai berhasil menjadi orang alim dan berguna bagi desanya, akhirnya bunuh diri dengan menabrakkan diri di jalan yang berlalulintas padat. Sementara hanya sang ibu yang tahu bagaimana sesungguhnya hubungan Kobra dan Muhdin.

Dalam cerpen berjudul Bau dan Ketiak, Bakdi Soemanto mempersoalkan bau. Kalau di cerpen Bau ia berkisah kepada sebuah bau yang menyengat yang ada di kantor desa, di cerpen Ketiak, ia berkisah pertengkaran suami istri karena ketiak yang basah dan bau. Abugail yang terpilih menjadi Lurah diganggu dengan bau. Hanya Pak Lurah dan Cecep sang pengelola majalah dinding yang tahu tentang bau ini. Segala upaya telah dilakukan untuk menghilangkan bau. Tetapi tidak membawa hasil. Ternyata bau itu bersumber dari hidung Abugail sendiri. Memang ada kebusukan dalam diri pejabat yang kadang tak diketahui bahwa itu berasal dari dirinya. Dalam cerpen Kacamata pun Bakdi Soemanto mengkritik ketumpulan seseorang untuk melihat diri sendiri. Kadang kita perlu alat dari luar, seperti kacamata yang bisa membuat kita memeriksa diri sendiri. Bisa melakukan mulat salira hangrasa wani – berani melihat dan memeriksa diri sendiri. 613

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB