x

Sawah di Kampung Halaman. Foto oleh Heri Wiranata (Pixabay.com)

Iklan

Gadis Desa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Kamis, 16 September 2021 13:55 WIB

Bambang Irianto: Membangun Kampung, Membangun Manusia

Bambang Irianto, adalah penerima penghargaan Kalpataru. Dia membangun Kampung Glintung Go Green (3G) di Malang, hingga berkiprah di Tangerang sejak 2017 lalu. Dia ibaratnya adalah Sang Donatur Tetap Oksigen

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Oleh : Maulana Yusuf

Rabu, 15 September 2021, seperti biasa, matahari terbit tak pernah ingkar waktu. Ya, hari yang cerah di pertengahan bulan September ini saya sudah terikat janji dengan seorang yang sangat istimewa. Bambang Irianto namanya. Bagaimana tidak, saya berkesempatan mengunjungi dan berbincang langsung dengan beliau di Karawaci, Kota Tangerang, Jawa Barat. Pria kelahiran 65 tahun lalu tersebut bukan sosok sembarang, terlahir dari rahim seorang ibu asal Malang, Bambang Irianto adalah sosok pria penerima penghargaan Kalpataru. Yup, kalau boleh saya katakan, beliau adalah donatur tetap oksigen bagi masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Betul sekali, penghargaan tertinggi di Tanah Air bagi sosok ataupun kelompok yang berjasa dalam melestarikan lingkungan di Indonesia. Bagi pegiat lingkungan hidup khususnya, Bambang adalah pahlawan lingkungan. Berangkat dari Bogor, saya langsung bergegas dengan semangat 45 karena akan bertemu dengan orang istimewa. Tak lupa, saya terlebih dahulu menjemput pengabadi momen, Wawan si fotografer berbadan tambun di bilangan Gandul, Depok.

Tepat pukul 11:00 WIB, saya tiba di Posko Dinas Pak Bambang, para pengurus dan sesepuh di sana bahkan membanggil Pak Bambang sebagai Bapak Guru. Mengenakan kaos berkerah warna putih, lengkap dengan jam tangan klasik serta  mengenakan blangkon. Bapak Guru langsung menyambut saya dan tim dengan hangat. Oiya, rasa nasionalisme Bapak Guru ini sangat tinggi, itu saya lihat dari lambang Garuda yang tersemat di dada bagian kiri kaos yang dikenakan beliau.

Cengkok Malang, saat menyapa masih sangat kental. Tak perlu waktu lama, saya langsung diajak ke kampung binaan beliau, tepatnya di Kampung Anggur, RW03, Uwung Jaya, Cibodas, Kota Tangerang. Letaknya tak terlalu jauh, dari pos dinas Bapak Guru, hanya beberapa menit saja, kami sudah sampai di sana.

Selama di perjalanan dengan mobil dinas, Bapak Guru bercerita banyak hal, mulai dari kisah membangun Kampung Glintung Go Green (3G) di Malang, hingga sampai ke Tangerang pada 2017 lalu. “Untuk mengubah sebuah kampung yang kita inginkan, yang pertama adalah merubah pola pikir masyarakatnya terlebih dahulu, itu prinsip,” begitu nasehat Bapak Guru kepada saya.

Sembari memperhatikan rambu lalu lintas, beliau sangat fasih menceritakan detil yang harus dilakukan dalam menyulap sebuah lingkungan. Saya yang duduk sedari awal di sebelah beliau terus mengangguk, mengaminkan apa yang dikatakan Bapak Guru. Intonasi saat bercerita sangat ramah, mudah dipahami dan runut.  Banyak pelajaran yang saya petik dari beliau, salah satunya, untuk merubah sebuah kampung menjadi lebih baik, membutuhkan tahapan – tahapan yang harus dilewati. Saya terus mengangguk dan memastikan alat rekam di handphone saya bekerja sesuai tugasnya. Menangkap setiap kata yang dilontarkan Bapak Guru.

Sesampainya di Kampung Anggur yang merupakan akronim dari “Anggota Masyarakat Gemar Bersyukur” kami langsung disambut para tokoh dan pengurus Kampung Anggur. Sambil menyeruput teh hangat yang disediakan, Bapak Guru kembali melanjutkan, nasehat dalam membangun sebuah lingkungan. Sesekali membetulkan letak blangkonnya, beliau mengingatkan untuk membangun sebuah kampung, harus bedasarkan potensi di lingkungan tersebut, mungkin potensinya di lingkungan hidup, UMKM, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

“Tapi harus dikolaborasikan dengan potensi-potensi yang lain,” sebuah rumus awal saya dapatkan dari beliau. Dalam membangun kampung, bukan hanya membangun lingkungan tok, membangun kampung adalah membangun manusia seutuhnya, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja. Pertama, dengan nada tegas, identifikasi potensi dan masalah sebuah lingkungan. Kalau kita tahu potensi dan masalahnya, setelah itu susunlah cita – cita membangun kampung, cita – cita ini harus menjadi milik warga. Konsultasikan dengan berbagai pihak terkait masalah-masalah yang ada di lingkungan. Kolaborasikan, kerjasamakan dengan berbagai stakeholder baik pemerintah kota, perguruan tinggi, media massa bahkan hingga TNI – Polri.

“Setelah itu semua dilakukan, mengubah mindset warga,” begitu beliau menjelaskan. Setelah itu, kampung harus masuk pada tahap, Green Business agar kampung ini menjadi produktif dan mandiri tergantung dari potensi. Semua proses membangun kampung harus dipublikasikan, before – after. “Dulu seperti ini, sekarang bisa begini,” tutur Bapak Guru. Tahap terakhir setelah berhasil, adalah reflikasi. Kampung itu harus direflikasikan dengan daerah-daerah lain.

Setelahnya baru kemudian dibentuk sebuah lembaga. Bisa berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), koperasi, kelompok tani untuk menjamin keberlanjutan kampung. “RT dan RW mungkin bisa berganti, namun konsep kampungnya harus tetap abadi dari generasi ke generasi,” . Duar.., penulis merasa terperangah dengan penjelasan Bapak Guru yang sangat gamblang.

Di akhir, pebincangan, beliau berpesan, sebuah kampung harus mempunyai nilai-nilai edukasi. Orang datang mendapat ilmu, bukan hanya sekedar selfie-selfie saja. “Maka semua kampung tematik, harus bernilai edukasi,”. Panjang umur Bapak Guru, panjang umur untuk hal –hal baik. Dari kampung untuk negeri.

 

Tangerang, 15 Sep. 21

Ikuti tulisan menarik Gadis Desa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler