Punya Anak itu Berat Jika Salah Orientasi

Jumat, 1 Oktober 2021 17:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbahagialah kita yang telah dikaruniai anak dan yang belum bersiaplah untuk menyambut datangnya amanah dari Sang Maha Daya Cinta. Anak itu bukanlah beban karena mereka tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa.

Sosok anak bisa jadi momok menakutkan bagi para menganut Childfree ataupun waithood ;betah melajang saat ini. Tidak mau punya anak jikalau nantinya anaknya akan sepertinya yang memiliki trauma masa kecil ataupun khawatir menjadi toxic parents jika menjadi orang tua. 

Banyak alasan punya anak itu berat dari menurunnya quality time pasangan, faktor finansial, ketidaksiapan emosional dan lain-lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara faktanya, mempunyai anak membuat kualitas waktu berdua terganggu .Biasanya beberapa pasangan ketika punya anak merasakan ada perubahan kualitas untuk menikmati waktu berdua. Kadang tangisan atau permintaan anak membuat suasana romantis menjadi buyar. Apalagi jika semua pekerjaan rumah dikerjakan sendiri.

Belum lagi masalah finansial. Kekhawatiran finansial, bagi Pasangan yang menikah  memilih untuk belum mau punya anak didasari oleh faktor ekonomi. Mereka ingin membangun rumah tangga yang stabil dari segi finansial terlebih dahulu barulah program untuk punya anak. Terlebih jika pasangan tersebut lebih mementingkan karir,  fokus pada impiannya dan memiliki tabungan yang cukup untuk pendidikan anaknya kelak.

Di benaknya terlintas mau kasih makan apa jikalau hidup masih pas-pasan. Apalagi kebutuhan anak bukan hanya makan tapi butuh juga pakaian, mainan, rumah yang nyaman, hiburan, jalan-jalan, belum lagi jikalau anak sakit, ditambah biaya sekolah berkualitas yang tak murah di zaman sekarang.  Ini bisa membuat pasangan yang menikah menunda punya anak bahkan enggan punya anak.

Ditambah secara emosi dan mental  belum siap. Menjadi orang tua zaman sekarang tak bisa terhindar tingkat stress tertentu. Berdasarkan data NICHD Study of Early Child Care and Youth Development (SECCYD), menjadi orangtua berarti kita harus memfokuskan pada aspek kesehatan mental, menangani konflik antara pekerjaan dan keluarga, terlibat dalam perkembangan anak di sekolah, dan sensitivitas lain mengenai parenting. Jika tingkat emosi orang tua belum siap, ini akan sangat berpengaruh pada perkembangan intelejensi dan kognitif anak. Maka memilih untuk tidak memiliki anak mungkin  menjadi landasan menunda atau enggan punya anak.

Memang menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah, atau bukan hal yang bisa dilakukan dengan asal-asalan. Banyak yang perlu dipersiapkan dan diperhatikan. Namun sadarkah kita bahwa anak  adalah pemberian dari Sang Maha Daya Cinta?

Anak merupakan pemberian Allah SWT kepada manusia. Allah menciptakan apa-apa yang Ia kehendaki dan memberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. 

Allah SWT  berfirman  yang Artinya: Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi. Ia menciptakan apa-apa yang Ia kehendaki. Ia memberikan kepada siapa yang Ia kehendaki anak-anak perempuan dan Ia memberikan kepada siapa yang Ia kehendaki anak-anak laki-laki. Atau (Ia memberikan kepada siapa yang ia kehendaki) anak-anak laki-laki dan perempuan. Dan Ia jadikan siapa yang Ia kehendaki mandul (tidak dapat mempunyai anak). Sesungguhnya Ia Maha Mengetahui (dan) Maha Berkuasa (TQS. Asy-Syuura : 49-50)

Ayat ini menunjukkan bahwa anak adalah kehendak Allah SWT. Allah SWT bisa memberikan anak perempuan saja, laki-laki saja, atau keduanya bahkan tidak berikan anak sama sekali. Anak adalah pemberian Sang Pencipta bagi kita agar hidup kita bermakna. Allah SWT menitipkan anak-anak dalam tanggung jawab kita agar kita dapat mengembangkan dan memberikan kasih sayang dan perhatian kita kepada buah hati. 

Seharusnya ketika kita diberikan kepercayaan oleh Sang Maha Daya Cinta membuat kita bahagia dan bangga. Karena yang memberikan kepercayaan adalah Allah SWT. Bayangkan jikalau yang memberikan kepercayaan atau amanah adalah kepala negara atau pejabat pasti kita senang dan bangga bukan main.  Ada hikmah diberikan anak yaitu memanfaatkan waktu dengan aktivitas mengurus, mengasuh dan mendidik anak. Sehingga waktu pun tak terbuang sia-sia karena banyak yang harus diurus dan itupun mendapatkan pujian dan pahala dari Allah SWT. Memang lelah namun kebahagiaan yang akan diraih jauh lebih besar.

Anak-anak sesungguhnya amanah dari Allah SWT, anugerah luar biasa. Sejatinya anak adalah milik Allah SWT. Kita hanya dititipkan untuk mengasuh dan membesarkan mereka. Di tangan kita tanggung jawab itu diberikan. Mereka bagaikan tunas yang diserahi kepada kita untuk dikembangkan dan dibesarkan. Bagaimana anak-anak ini kelak, itu adalah tanggung jawab kita sebagai orang-orang yang dititipkan. Tanggung jawab itu akan kita pertanggung-jawaban kelak di hadapan Sang Pemilik kehidupan.

Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim)

Namun kini di zaman yang serba dihitung dengan kepuasan materi. Maka memiliki anak menjadi beban Ordinary people, akan perhitungan untung-rugi memiliki anak. Jika ada keuntungan dan manfaat maka ia akan melakukannya. Namun jika banyak kerugian, membuat stress bahkan beban maka ia enggan melakukannya.

Inilah corak yang dimiliki kalangan milenial dan sebagian kalangan kolonial di peradaban Kapitalisme liberal. Kepuasan materi sangat dipuja. Kesuksesan hanya di nilai dari bergelimang harta, tahta,  prestisius dan kesenangan. Memisahkan agama dari kehidupan menjadi landasannya. Peran Sang pencipta dinafikan dan merasa aturan manusia adalah aturan yang paling terbaik. Sehingga memiliki anakpun menjadi beban bukan membuatnya bahagia.

Kesalahan orientasi hidup inilah yang menyebabkan segalanya berakhir pada kebingungan. Pro kontra standar nilai menjadi berkembang. Lihat saja ketika ada orang yang memiliki banyak anak, ada yang melotot keheranan tapi ada juga yang takjub bisa memiliki banyak anak. Para bidan pun kesal kenapa lagi-lagi si ibu hamil dan melahirkan. Padahal yang mengandung bukan si bidan. Begitu penganut Childfree dan waithood yang masih dinilai tabu di tengah masyarakat.

Berat punya anak ini tidak dirasakan oleh pasangan asal India, Daljinder Kaur (73 tahun) dan Mohinder Singh Gill (80 tahun). Ibu ini melahirkan anak saat 72 tahun. Fisik yang tidak sebugar ibu muda memang dirasakan Kaur, tapi hal ini tidak membuatnya menyesal memiliki Armaan. Yang Kaur lakukan sekarang adalah menjaga kesehatan dirinya dan Arman. Bayi mungil tersebut lahir dalam kondisi amat kecil, yakni hanya 1,7 kg. Kini, saat usianya hampir satu tahun beratnya 6 kg.

Bagi Kaur dan suami, Mohinder Singh Gill, kehadiran Armaan merupakan sesuatu yang mereka nantikan selama 46 tahun. Armaan hadir dalam kehidupan Kaur dan Singh lewat program bayi tabung.

Lalu, bagaimana bila Kaur dan suaminya meninggal padahal Armaan masih kecil? Gill tidak membuat hal ini menjadi sesuatu yang menyeramkan, semua diserahkan pada Tuhan.

"Saya punya keyakinan penuh pada Tuhan. Tuhan itu Maha Kuasa dan ada Dia dimana-mana, Ia akan membantu melancarkan segalanya," kata Gill penuh keyakinan saat diwawancarai oleh seorang wartawan. 

Dari fakta di atas menunjukkan bahwa anak bukanlah beban. Malah pasangan asal India ini meyakini adanya campur tangan Tuhan dalam melancarkan Segalanya termasuk perkara membesarkan anak. Tuhan Maha Kuasa dan ada dimana-mana, Siapakah Dia? Siapa lagi kalau bukan Allah SWT Sang Pencipta lagi Maha Kuasa.

Allah SWT Yang menciptakan manusia berikut dengan Rizkinya. Dialah sebaik-baiknya Pemberi Rizki. Jangan sampai kita merasa yang memberikan rizki untuk anak kita adalah kita tanpa campur tangan Allah SWT di sana. Bukankah itu adalah sifat sombong yang menghantarkan kita kepada kebinasaan seperti layaknya iblis?.

Allah SWT berfirman yang artinya:
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah" (TQS. Saba’: 24)

Bukankah anak akan menjadi investasi kita di akhirat kelak? Ketika kita sudah berpulang ke Rahmatullah, siapakah yang akan meminta ampun atas dosa-dosa kita? Siapa yang akan mengalirkan pahala dan penerang di alam barzah? Bukan hidup kita tak selamanya di dunia? Bukankah anak bisa jadi syafaat orang tuanya di Yaumil akhir?

Rasulullah Saw bersabda: 
Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seoang hamba sholeh di surga, lalu ia berkata: Wahai Tuhanku, darimana aku dapatkan semua ini? Kemudian Allah menjawab: Dengan sebab istighfar anakmu untuk dirimu. (HR. Ahmad)
Akhir Kalam
Ketika menanggung kesusahan dalam membesarkan anak-anak kita harusnya bukan menjadi beban. Namun sebaliknya menyadari bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Butuh Sang Maha Kekal lagi Maha Perkasa. Selalu bersandar pada Yang Maha Kuat. Selalu bertawakal dan ikhlas menjalani kehidupan. Sehingga yang akan diraih adalah Ridho Allah SWT. 

Berbahagialah kita yang telah dikaruniai anak dan yang belum bersiaplah untuk menyambut datangnya amanah dari Sang Maha Daya Cinta. Anak itu bukanlah beban karena mereka tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa.

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Alin FM

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Masjid Sejatinya Milik Allah SWT

Jumat, 31 Maret 2023 13:54 WIB
img-content

Ibu Sang Santan kehidupan

Rabu, 15 Desember 2021 12:56 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler